Gelombang pembaharuan yang dikumandangkan oleh Syekh Muhammad Abduh dan muridnya, Syekh Muhammad Rasyid Ridha, melalui risalah-risalah Tafsir al-Manar telah merambah ke berbagai belahan dunia. Hal ini dapat dilihat dari berbagai faktor latar belakang sejarah, terutama sentimen emosional “Persatuan Islam” setelah kekalahan Turki Utsmani pada Perang Dunia I. Sentimen ini dibutuhkan sejalan dengan gelora nasionalisme yang bertentangan dengan gelora Persatuan Islam yang mengusung jargon “Kembali kepada Al-Qur’an dan hadis”. Sentimen Persatuan Islam tersebut sangat berpengaruh besar bagi ulama-ulama dan tokoh-tokoh bangsa dalam menggalang kekuatan untuk merebut kemerdekaan dari kolonialisme Pemerintah Hindia Belanda. Sehingga Ahmad Hassan dalam kapasitasnya sangat menekankan pentingnya posisi Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber pemikiran agama Islam.
Bagi Ahmad Hassan, hubungan manusia dengan Tuhan sangat tergantung pada interpretasi dan implementasi yang benar terhadap agama. Hukum agama hanya bersumber dari Al-Qur’an dan sunah Nabi. Kedua sumber tersebut menyajikan Islam murni yang dapat dipraktikkan sesuai dengan segala situasi dan kondisi. Dengan kata lain, segala permasalahan dapat dipecahkan dengan merujuk pada kedua sumber agama tersebut, karena itulah tafsir Al-Qur’an sangat dibutuhkan.
Ahmad Hassan atau lebih dikenal dengan A. Hassan Bandung dilahirkan di Singapura pada 1887, dari pasangan Ahmad yang berasal dari India dan Muznah yang berasal dari Palekat Madras, India. Ahmad Hassan mengawali karirnya sebagai seorang jurnalis dan pemimpin surat kabar “Nurul Islam” yang terbit di Singapura. Dalam surat kabarnya, ia membahas masalah bahasa dan agama serta mengadakan tanya-jawab dalam surat kabarnya.
Riwayat pendidikannya diawali sejak berumur tujuh tahun. Ia belajar belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu dasar agama kepada ayahnya. Kemudian, ia belajar bahasa Arab, Melayu, Tamil, dan Inggris di sekolah Melayu. Ahmad Hassan tidak pernah menamatkan sekolah formalnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah bekerja di toko. Di sela kegiatannya, ia belajar mengaji pada Haji Ahmad di Bukittiung dan Muhammad Thaib belajar ilmu nahwu dan sahraf. Di samping itu, ia juga belajar agama kepada Abdul Latif, seorang yang terkenal di Malaka dan Singapura. Ia juga belajar kepada Syekh Hassan dan Syekh Ibrahim. Ia selesai mengaji hingga berumur 23 tahun. Dengan ilmu tersebut Ahmad Hassan memperdalami ilmu yang lainnya, seperti fiqih, faraid, dan mantiq.
Ahmad Hassan juga menjadi guru pada tahun 1910 di Madrasah orang-orang India sampai tahun 1913. Pada tahun yang sama, ia menulis di majalah “Utusan Melayu” yang diterbitkan oleh Singapore Press. Ia sering menulis tentang nasehat-nasehat agama. Tulisan pertama Ahmad Hassan mengenai kecamannya terhadap jaksa yang memeriksa suatu perkara dengan mencampurkan tempat duduk antara laki-laki dan perempuan.
Pada tahun 1921, ia mulai berhijrah ke Surabaya untuk berdagang di sebuah toko milik pamannya dan gurunya, Abdul Latif. Ketika itu di Surabaya sedang terjadi perselisihan pemikiran antara golongan tua yang digawangi oleh kelompok NU dan golongan muda digawangi oleh kelompok Muhammadiyah. Kelompok muda dipimpin oleh Faqih Hasyim dan golongan tua dipimpin oleh salah satu pendiri NU, KHA Wahab Chasbullah. Dalam perjalanannya, Ahmad Hassan lebih berpihak kepada golongan muda yang cenderung berpikiran modern dan bersandar pada Al-Qur’an dan hadis.
Pada tahun 1924, Ahmad Hassan berhijrah ke Bandung, disebabkan oleh mundurnya perdagangan di Surabaya. Ia sempat membuka bengkel tambal ban mobil, namun tidak lama kemudian tutup. Akhirnya, ia mempelajari tenun di Kediri, tetapi ia tidak berani membuka pertenunan sendiri. Ia melanjutkan belajar pertenunan di Bandung dan tinggal di rumah salah satu tokoh PERSIS, Muhammad Yunus. Pada akhirnya A. Hassan mendirikan pabrik tenun di Bandung dan menjadi anggota PERSIS pada tahun 1926.
Secara umum, pendapat dan pandangan Ahmad Hassan cenderung tegas dan terlalu keras. Pendapatnya yang dituangkan selalu dikemukakan dengan argumentasi yang akurat dan meyakinkan. Ahmad Hassan mengemukakan pentingnya berijtihad dan memberikan contoh: bagaimana berijtihad yang benar tanpa mengikatkan diri pada satu mazhab, tetapi langsung kepada Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber utama ijtihad.
Tafsir al-Furqan merupakan buah karya Ahmad Hassan dalam merespon pertanyaan-pertanyaan yang datang kepadanya. Metodenya cukup unik. Ia banyak menggunakan tafsir kata demi kata secara ijmali. Ia menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara umum atau global. Dalam melakukan penafsirannya, Ahmad Hassan menggunakan unsur bi ar-ra’y dengan corak lughawi. Misal, penafsirannya terhadap surah an-Nas, Ahmad Hassan menggunakan ijtihadnya, tanpa didasari hadis Rasullullah Saw dan sebagainya.
Memang, kadar penafsirannya cukup memuaskan di kalangan pembaca, mudah dipahami, dan tidak bisa diabaikan begitu saja oleh para cendikiawan. Pada dasarnya, metode yang digunakan Ahmad Hassan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tidak memiliki kecenderungan khusus pada satu metode saja, tetapi ijmali dan tahlili juga. Bahkan, corak penafsirannya bisa meluas pada persoalan-persoalan fiqih dan filsafat. Misal, sebagaimana yang terdapat dalam surah ar-Rahman ayat 6: “Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya ‘tunduk’ kepadanya.” Ahmad Hassan menafsirkan kata “sujud” pada ayat tersebut dengan makna tunduk/merendah diri. Maksudnya, matahari, bulan, bintang, dan segala macam tumbuh-tumbuhan menuruti perintah Allah dengan tidak mencampuri kedurhakaan seperti yang dilakukan manusia kepada Allah Swt._Seri Tafsir Nusantara (Sakdul & Must)