Selain ulama yang terkenal pada abad ke-18 di Sukabumi, Ajengan Ahmad Sanusi adalah seorang yang mampu membangun konstruksi pemikiran sekaligus penulis yang produktif dalam karya-karya keagamaan. Ajengan Ahmad Sanusi adalah salah seorang tokoh yang berpengaruh dalam arsip pendaftaran orang Indonesia Jang Terkemoeka jang ada di Djawa pada 1942. Ajengan Ahmad Sanusi merupakan tokoh produktif karena keluasan pemikiran dan wawasannya dalam berbagai disiplin keilmuan, khususnya keagamaan. Tercatat tidak kurang dari 400an judul kitab yang pernah ditulis olehnya, baik yang menggunakan bahasa Sunda maupun Indonesia/Melayu. Kitab-kitab tersebut mencakup berbagai bidang disiplin ilmu seperti akidah, fiqih, tasawuf, akhlaq, tata bahasa Arab, bahkan politik dan ekonomi Islam. Di antara pemikiran keagamaan Ajengan Ahmad Sanusi yang terungkap adalah mengenai pentingnya mendalami dan mempelajari hakikat, syariat, dan tarekat bagi kaum muslimin, khususnya yang akan mendalami tasawuf.
Nama Ajengan Ahmad Sanusi memang tidak setenar Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari, K.H. Ahmad Dahlan, Ahmad Hassan Bandung, bahkan K.H. Zaenal Mustofa Singaparna. Namun, kualifikasi keilmuannya yang mendalam sebagai ulama sudah tidak dapat diragukan lagi.
Ajengan Ahmad Sanusi adalah putera Ajengan Haji Abdurrahim bin Yasin, pendiri pesantren Cantayam di Sukabumi. Sejak masih usia kanak-kanak, Ajengan Ahmad Sanusi telah belajar langsung ilmu-ilmu agama kepada ayahnya dan beberapa pesantren di Jawa Barat. Memasuki usia 20 tahun, Ajengan Ahmad Sanusi menikah dengan Siti Juwariyah binti Haji Affandi dari Kebonpedes, Baros, Sukabumi. Setelah menikah, ia pergi ke Mekah selama tujuh tahun dan memperdalam ilmu-ilmu keagamaan kepada Syekh Ali al-Maliki, Syekh Ali at-Thayyibi al-Madani, Syekh Junaidi Garut, Haji Abdullah Jawami, Syekh Saleh Bafadhil, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Mukhtar at-Tarid, Syekh Said Jawani (seorang mufti Syafi’i), serta Syekh Mahfud Termas.
Pada 1915, ia pulang dan membantu mengajar di pesantren ayahnya di Cantayam. Kemudian, ia merintis pembangunan pesantren sendiri di Kampung Genteng, sehingga dikenal dengan sebutan Ajengan Genteng. Dan, pesantrennya tersebut diberi nama Pondok Pesantren Babakan Sirna Genteng.
Selama di Mekah, Ajengan Ahmad Sanusi telah mengenal ide-ide pembaharuan yang sedang tren pada saat itu seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rasyid Ridha, dan Syekh Jamaluddin al-Afghani. Kendati demikian, Ajengan Ahmad Sanusi tetap keukeuh tidak meninggalkan tradisi Mazhab Syafi’i sebagaimana guru-gurunya di Mekah.
Ajengan Ahmad Sanusi memulai kiprahnya sebagai penulis sejak berada di Mekah. Karya-karya Ajengan Ahmad Sanusi menggunakan bahasa Melayu dan bahasa Sunda. Di antara karya-karyanya di bidang Al-Qur’an adalah Raudlat al-‘Irfan fi Ma’rifat Al-Qur’an; Tamsyiyyat al-Muslimin fi Tafsir Kalam Rabb al-‘Alamin; Tafsir Maljau at-Thalibin; Tijan al- Ghilman (Ilmu Tajwid); Hilyat al-Lisan; dan, Siraj al-Mukminin.
Di bidang tasawuf, Ajengan Ahmad Sanusi sangat terpengaruh oleh pandangan Imam Al-Ghazali, terutama dalam matan dan syarah teks kitab Siraj al-Adzkiya fi Tarjamah al-Azkiya. Di dalam kitab tersebut, Ajengan Ahmad Sanusi menyatakan pentingnya menelaah kitab Ihya Ulumid al-Din yang mengutamakan ekses-ekses tasawuf akhlaqi. Ajaran tasawuf yang mempelajari kesempurnaan dan kesucian jiwa melalui proses pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku secara ketat. Untuk mencapai kebahagiaan yang optimal, seseorang harus mengidentifikasi eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan, melalui pensucian jiwa raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna, dan berakhlak karimah melalui pola pensifatan sifat-sifat Allah. Disamping itu pula terdapat ekses-ekses tasawuf ‘amali yang ditandai dengan pembahasannya mengenai tarekat. Hal tersebut dinyatakan dalam sembilan sifat (wasiat) yang perlu dimiliki bagi seorang salik dalam laku tarekat, fase-fase pendidikan jiwa dan seni menata hati melalui takhalli, tahalli dan tajalli.
Tafsir karya-karya Ajengan Ahmad Sanusi lebih bersifat kontekstual. Dalam arti, sebagaimana Tafsir Malja’ at-tālibin dan Tafsir Tamsyiyyat al-Muslimin mempunyai kesamaan, keduanya diterbitkan secara berkala (bulanan), yang membedakan terletak pada tahun, tempat terbit, serta isi dan sasaran konsumenya. Kedua tafsir tersebut menggunakan metode ijmali di samping memperlihatkan adanya proses perkembangan wacana pada awal periode sejarah Indonesia modern._Seri Tafsir Nusantara (Sakdul & Must)