Quraish Shihab adalah pakar tafsir Al-Qur’an kontemporer. Kepakarannya dalam bidang ini diakui dan dibuktikan dengan terbitnya Tafsir al-Misbah sejumlah 15 jilid. Karya lainnya yaitu Al-Qur’an dan Maknanya.
Karya yang disebut terakhir menggunakan diksi ‘makna’, bukan ‘terjemah’ atau ‘terjemahan’. Hal ini sebuah penegasan bahwa usaha yang ia lakukan adalah menerjemahkan Al-Qur’an secara maknawi, bukan lafdzi.
Karya ini menjadi menarik, karena penulisnya adalah salah satu anggota Tim Penerjemah Al-Qur’an Kementerian Agama (dulu Depag). Mungkin ada yang bertanya kenapa masih menerbitkan terjemahan (Al-Qur’an) lainnya. Berikut urian Quraish Shihab tentang pendiriannya dalam penerjemahan Al-Qur’an yang tertuang dalam karyanya. Dikutip secara utuh agar bisa dirujuk.
“Yang sedang anda baca ini adalah Al-Qur’an dan maknanya yang diharapkan dapat membantu siapapun untuk memahami sekelumit dari makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat Al-Quran. Iya bukan terjemahan Al-Qur’an karena pada hakekatnya, sebagaimana ditegaskan oleh banyak ulama, Al-Qur’an tidak dapat diterjemahkan dalam arti dialihbahasakan.
Paling banter yang dapat dihidangkan hanyalah sebagian maknanya, bukan seluruhnya, dan makna itu pun adalah menurut sudut pandang manusia, bukan makna Hakiki yang dimaksud Tuhan. Memang, setiap kalimat bahkan kata yang diucapkan ditulis oleh siapapun, lebih-lebih firman Allah, hanya pengucap atau penulisnya yang mengetahui secara pasti maksudnya, sedang pemahaman pendengar atau pembacanya bersifat relatif, tidak pasti.
Setiap kata merupakan wadah yang menampung makna. Pengalih bahasa seharusnya mengetahui secara baik dan benar apa saja kandungan dari wadah kata (dalam bahasa Asal) itu, lalu memilih kata yang sepadan dengan kandungannya dalam bahasa yang dialihkan kepadanya (baca: bahasa sasaran). Kalau tidak, maka terjemahannya menjadi kurang, atau berlebih, bahkan salah.
Kesulitan akan bertambah jika bahasa yang akan dialihkan lebih kaya daripada bahasa yang dialihkan kepadanya (Bahasa sasaran). Dalam konteks ini semua menyadari bahwa bahasa Al-Qur’an sangat kaya, banyak kata yang tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia, bahkan dalam bahasa-bahasa lainnya.
Di samping itu, pengalihan bahasa juga harus waspada memakai kata yang ambigu, metaforis, dan semacamnya, apalagi tidak semua kata yang sama dalam Al-Qur’an mempunyai makna yang sama pula. Ada bahasan tertentu menyangkut hal ini-dinamai oleh pakar-pakar Al-Qur’an ilmu al-Wujuh wa an-Nada’ir. Pengalih bahasa atau penjelas makna dapat terjerumus dalam kesalahan akibat lengah dari hal di atas.
Mereka yang memaknai ayat-ayat Al-Qur’an, termasuk menulis, lebih-lebih pengalih bahasa, seringkali sulit menggambarkan kandungan makna ayat-ayat yang kalimatnya berbentuk jumlah ismiyah (nominal sentence) dengan yang berbentuk jumlah fi'liyah (verbal sentence) sebagai contoh firman Allah:
Waja’ala kalimatal-ladzīna kafaru as-sufla wa kalimatullāhi hiya al-ulyā (Surah at-Taubah/9: 40). Ada yang memaknai ayat ini dengan menyatakan: “Allah swt selalu menempatkan orang-orang kafir itu di tingkat yang rendah dan selalu salah, dan kalimat Allah yaitu agama yang didasarkan atas tauhid, jauh dari syirik, selalu ditempatkan di tempat yang tinggi”.
Pemaknaan di atas tidak sepenuhnya memperlihatkan perbedaan antara ‘kalimat orang kafir’ dan ‘kalimat Allah’. Keduanya menurut pemaknaan di atas ‘ditempatkan Allah’, padahal ayat tersebut bermakna menggambarkan perbedaan antara keduanya: yang satu ditempatkan Allah di bawah sedangkan kalimat-Nya tidak ditempatkan-Nya di atas, tetapi ia selalu di atas- bukan karena ditempatkan Allah.
Kalimat Allah demikian disebabkan oleh karena substansinya sendiri, bukan karena campur tangan Allah meletakkannya di atas. Perbedaan ini dipahami dari perbedaan penggunaan jumlah fi'liyah dengan jumlah ismiyah. Perbedaan itu juga dapat dipahami dari adanya kata ja'ala/menjadikan pada kalimat ‘al-ladzina kafaru’. Sedang pada ‘kalimat Allah’ kata tersebut tidak ditemukan. [AHS]