Buya Hamka dan Tafsir Al-Azhar

“Al-Qur’an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut yang lain, dan tidak mustahil jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak daripada apa yang kita lihat.” Ilustrasi ini menggambarkan: Al-Qur’an sebagai sebuah teks telah memungkinkan banyak orang untuk melihat makna yang berbeda-beda di dalamnya. Dari berbagai metodologi yang disuguhkan, para mufasir kerap mempunyai corak sendiri yang menarik untuk ditelusuri. Dari mulai menafsirkan kata perkata dalam setiap ayat sampai menghubungkannya dengan fiqh, politik, ekonomi, tasawuf, sastra, kalam, dan ilmu-ilmu lainnya.

Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah, lebih dikenal dengan nama Buya Hamka, lahir di Sungaibatang, Tanjungraya, Agam, Sumatera Barat, pada 17 Pebruari 1908. Dan, meninggal pada 24 Juli 1981 di Jakarta. Ia adalah ulama modern yang multitalenta, sebagai sastrawan, wartawan, pengajar, bahkan politik sebagai kegiatan-kegiatan yang menyertai jalan hidupnya. Sebagai politisi, Buya Hamka aktif di Partai Masyumi di samping organisasi keagamaan Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Pada masa Orde Baru, Buya Hamka menjadi Ketua Umum pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI). Buya Hamka mendapat gelar “Ustadziyah Fakhriyah” (Doktor Honoris Causa) dari Universitas Al-Azhar, Mesir, sebagaimana ayahnya, Dr. H. Abdul Karim Amrullah. Buya Hamka menerima gelar kehormatan juga dari Universitas Nasional Malaysia, serta, dikukuhkan sebagai guru besar melalui Universitas Moestopo, Jakarta.

Buya Hamka termasuk dalam kategori mufasir generasi kedua di Indonesia, karena generasi pertama yang masih menggunakan bahasa Melayu, Sunda, Jawa, dan Melayu-Minang, seperti al-Kitab al-Mubin karya K.H. Muhammad Ramli dalam bahasa Sunda (1974) dan kitab Tafsir al-Ibriz oleh K.H. Bisri Mustofa dalam bahasa Jawa (1950). Sementara mufasir generasi kedua umumnya sudah menggunakan huruf Latin dan bahasa Indonesia.

Buya Hamka terlahir dari dunia penuh gejolak pada zamannya. Pertama, masa Revolusi Kemerdekaan R.I. dan, kedua, karena faktor modernisasi atau pembaharuan sistem pendidikan di Indonesia. Ayahnya sendiri adalah tokoh pembaharu yang memperkenalkan sistem pendidikan modern dan organisasi Muhammadiyah di Minangkabau.

Dr. H. Abdul Karim Amrullah yang dikenal dengan nama lain Haji Rasul adalah termasuk keturunan Abdul Arif yang bergelar Tuanku Pauh Pariaman Nan Tuo, salah seorang Pahlawan Paderi, dikenal dengan sebutan Haji Abdul Ahmad. Dr. H. Abdul Karim Amrullah adalah salah satu ulama terkemuka yang termasuk dalam tiga serangkai: Syekh Muhammad Jamil Djambek, Dr. H. Abdullah Ahmad, dan Dr. H. Abdul Karim Amrullah sendiri. Ia menjadi pelopor gerakan “Kaum Muda” di Minangkabau setelah kembali dari Mekah pada 1906 sekaligus teman dekat pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan.

Buya Hamka menjalani masa pendidikan sekitar tujuh tahun lebih antara 1916 hingga 1924. Menginjak usia 29 tahun, Buya Hamka memulai aktivitas kerjanya dengan menjadi guru agama di perkebunan Tebing Tinggi. Buya Hamka meneruskan karirnya sebagai pengajar di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Padang Panjang dari tahun 1957 sampai 1958. Setelah itu, dia dilantik sebagai Rektor Perguruan Tinggi Islam Jakarta dan menjabat sebagai Guru Besar di Universitas Moestopo, Jakarta. Di samping, sebagai pegawai tinggi agama yang dilantik oleh Menteri Agama Republik Indonesia sejak 1951 sampai 1960. Buya Hamka meletakkan jabatannya setelah Presiden Soekarno memberinya pilihan untuk tetap menjabat sebagai petinggi negara atau melanjutkan aktivitas politiknya di Masyumi. Di bidang keilmuan, Buya Hamka lebih banyak melakukan studi mandiri seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, dan politik. Beliau adalah seorang penulis yang banyak menghasilkan karya, hasil-hasil karya tulisnya baik yang berhubungan dengan sastra dan agama semuanya berjumlah sekitar 79 karya. Diantara karya-karyanya tersebut adalah Khatib Ummah, Layla Majnun, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tasawuf Modern, Islam dan Demokrasi, Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad, Mengembara di Lembah Nil, Di Tepi Sungai Dajlah, Islam dan Kebatinan, Ekspansi Ideologi, Falsafah Ideologi, Urat Tunggang Pancasila, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Muhammadiyah di Minangkabau, dan karyanya yang termasyhur adalah Tafsir al-Azhar Juz 1-30.

Dinamakan Al-Azhar karena serupa dengan nama masjid yang didirikan olehnya di Kebayoran Baru. Nama yang diilhami dari Syekh Mahmud Syalthuth dengan harapan agar benih keilmuan dan pengaruh intelektual tumbuh di Indonesia. Buya Hamka awalnya mengenalkan tafsirnya tersebut melalui kuliah subuh pada jama’ah masjid al-Azhar Kebayoran Baru, Jakarta. Penafsirannya dari Surah al-Kahf, Juz XV. Catatan yang ditulis sejak 1959 tersebut telah dipublikasikan dalam majalah ‘Gema Islam’ yang terbit pertama pada 15 Januari 1962 sebagai pengganti majalah “Panji Masyarakat” yang dibredel oleh Presiden Soekarno tahun 1960.

Ketika Buya Hamka ditangkap penguasa Orde Lama dengan tuduhan berkhianat pada negara dan dipenjara selama 2 tahun 7 bulan; ia pun memanfaatkan waktunya untuk menulis dan menyempurnakan tafsirnya. Ia menyatakan rasa syukur kepada para ulama, para utusan dari Aceh, Sumatera Timur, Palembang, ulama dari Mesir, ulama di Al-Azhar, Syekh Muhammad Al-Ghazali, Syekh Ahmad Sharbasi, dari Makassar, Banjarmasin, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan lain-lain. Pada 1967, Tafsir Al-Azhar pertama kali diterbitkan. Tafsir tersebut menjelaskan latar hidup penafsirnya secara lugas. Ia menggambarkan watak masyarakat dan sosio-budaya yang terjadi saat itu. Selama 20 tahun, tulisannya mampu merekam kehidupan dan sejarah sosio-politik umat yang getir dan menampakkan cita-citanya untuk mengangkat pentingnya dakwah di Nusantara. Tafsir Al-Azhar ditulis berasaskan pandangan dan kerangka manhaj yang jelas dengan merujuk pada kaedah bahasa Arab, tafsiran salaf, Asbab an-Nuzul, Nasikh-Mansukh, ilmu hadis, ilmu fiqih dan sosial-budaya masyarakat Indonesia. Dari sini, penafsiran Buya Hamka di samping menggunakan metode tahlili secara umum juga melakukan perbandingan-perbandingan (muqaran) terhadap realitas sosialnya._Seri Tafsir Nusantara (Sakdul & Must)

Kontak

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an
Gedung Bayt Al-Qur`an & Museum Istiqlal
Jalan Raya TMII Pintu I Jakarta Timur 13560
Telp: (021) 8416468 - 8416466
Faks: (021) 8416468
Web: lajnah.kemenag.go.id
Email: lajnah@kemenag.go.id
© 2023 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an. All Rights Reserved