Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ; selanjutnya disebut Lajnah) sebagai sebuah Unit Pelaksana Teknis di Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama telah berdiri sejak 5 Februari 1957, yaitu dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Agama No. 1 Tahun 1957 tentang Lajnah Pentashih Mashaf Al-Qur’an (tanpa akhiran ‘-an’ pada Pentashih dan menggunakan huruf ‘a’ pada ‘Mashaf’). Keanggotaan Lajnah terdiri dari para penghafal Al-Qur’an, para peneliti, dan para pakar ilmu Al-Qur’an. Salah satu tugas dan fungsi Lajnah adalah mentashih (mengoreksi dan memperbaiki kesalahan) mushaf Al-Qur’an yang akan beredar di Indonesia. Sejak berdirinya tahun 1960-an, tim Lajnah terus-menerus mentashih mushaf Al-Qur’an, baik yang akan dicetak oleh penerbit Indonesia ataupun yang telah dicetak oleh penerbit luar negeri lalu akan diedarkan di Indonesia.
Kegiatan pentashihan oleh tim Lajnah dilakukan dengan saksama. Apabila ditemukan hal-hal yang meragukan, tim Lajnah tidak segan untuk membuka berbagai literatur tentang masalah tersebut. Dalam perjalanannya, keanggotaan tim Lajnah berganti secara berkala dan tidak jarang terjadi pada anggota yang baru menemukan permasalahan yang pernah ditemukan oleh anggota yang lama. Akan tetapi, solusi pembahasan atau kitab referensi keagamaan yang pernah ditemukan oleh anggota Lajnah yang lama dalam permasalahan yang sama tersebut tidak tersimpan dengan baik, sehingga tidak jarang anggota Lajnah yang baru kembali kesulitan dalam mencari literatur/kitab tersebut. Hal inilah yang mendasari munculnya ide tim Lajnah periode 1972/1973 yang beranggotakan 15 orang untuk menyusun Pedoman Kerja Lajnah dalam melakukan tugasnya.
Implementasi ide tersebut tertuang pada Rapat Kerja Lajnah Pentashih Mashaf Al-Qur’an, Lembaga Lektur Keagamaan (LEKA), Departemen Agama pada Sabtu—Ahad, 16—17 Desember 1972 di Gedung Yayasan Pembangunan Islam (Y.P.I) Ciawi, Bogor. Rapat Kerja dilaksanakan dalam sidang pleno dan tiga sidang komisi, yaitu 1) komisi pedoman kerja Lajnah, 2) komisi khat usmaniy, dan 3) komisi tata tertib. Selain dihadiri oleh 11 anggota teknis Lajnah dan 3 orang tenaga pembantu, rapat kerja dihadiri pula oleh 2 orang undangan dari PT. Al-Ma’arif Bandung dan 1 orang dari Firma Sumatera Bandung. Rapat kerja tersebut melahirkan tiga keputusan, yaitu 1) tata tertib Lajnah Pentashih Mashaf Al-Qur’an, 2) draf pedoman kerja Lajnah Pentashih Mashaf Al-Qur’an, dan 3) (surat) permohonan kepada Menteri Agama untuk dilakukan penyempurnaan hasil rapat. Sebagai sebuah catatan, tata tertib yang dimaksudkan pada poin kesatu adalah khusus untuk Lajnah, sedangkan pedoman kerja yang nanti disempurnakan sedianya akan menjadi pedoman Lajnah dalam mentashih mushaf Al-Qur’an serta akan dikirimkan ke seluruh perwakilan Departemen Agama di daerah untuk dijadikan pedoman pentashihan di masing-masing daerah.
Draf Pedoman Kerja yang telah disusun pada Rapat Kerja Lajnah perlu dilakukan penyempurnaan, sehingga dibentuklah sebuah tim penyempurnaan Pedoman Kerja yang diketuai oleh K.H. Syukri Ghazali. Pada pertengahan Juli 1973 Pedoman Kerja Lajnah yang merupakan hasil rapat kerja pun selesai disusun. Sebelum Pedoman Kerja Lajnah ini disahkan oleh Menteri Agama, terlebih dahulu dibahas dan ditelaah dalam suatu Musyawarah Kerja (Muker) Ulama Al-Qur’an. Rencananya Musyawarah Kerja Ulama Al-Qur’an ke-1 akan dilaksanakan pada bulan Oktober/November 1973, tetapi karena suatu hal yang salah satunya adalah keputusan tentang anggaran kegiatan, Musyawarah Kerja Ulama Al-Qur’an ke-1 baru terlaksana pada Selasa—Sabtu, 05—09 Februari 1974 M atau bertepatan dengan 12—16 Muharam 1394 H di Gedung Yayasan Pembangunan Islam (Y.P.I) Ciawi, Bogor.
Muker ke-1 dihadiri oleh 8 orang utusan ulama dari berbagai provinsi dan 15 anggota Lajnah. Selain itu dihadiri pula oleh peserta Muker yang lainnya hingga berjumlah 45 orang, sesuai dengan Surat Keterangan Kepolisian NOPOL: SK/A/PKN/21/I/1974. Atas dasar rasa tanggung jawab terhadap kemurnian dan kesucian mushaf Al-Qur’an, Muker ke-1 ini telah mencapai tiga keputusan; 1) mushaf Al-Qur’an yang dikenal dengan nama Mushaf Bahriyah cetakan Instanbul, Turki dan menggunakan riwayat Imam Hafs sepakat dijadikan pegangan (referensi) untuk penyalinan mushaf Al-Qur’an di Indonesia; 2) mushaf Al-Qur’an dilarang disalin menggunakan rasm selain Rasm Usmaniy, kecuali dalam keadaan darurat; dan 3) naskah pedoman penulisan dan pentashihan mushaf Al-Qur’an yang disusun oleh Lembaga Lektur Keagamaan Departemen Agama menurut rasm Usmaniy dijadikan pedoman penulisan dan pentashihan mushaf Al-Qur’an di Indonesia.
Muker ke-2 dilaksanakan di Cipayung, Bogor, pada tanggal 21—24 Februari 1976 M atau bertepatan dengan tanggal 20—23 Safar 1396 H. Muker kali ini membahas tentang tanda-tanda baca pada mushaf Al-Qur’an untuk orang awas, tanda-tanda baca pada mushaf Al-Qur’an Braille, pentashihan terhadap audio rekaman Al-Qur’an di kaset atau piringan hitam, serta ketentuan tentang pentashihan ulang terhadap mushaf Al-Qur’an yang dicetak ulang. Pembahasan pada Muker kedua ini merupakan respon positif ulama Indonesia terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan teknik percetakan dan perangkat audio visual menuntut para ulama Al-Qur’an untuk meninjau ulang Pedoman Kerja Lajnah yang telah disusun pada Muker kesatu.
Pokok pembahasan pada Muker ke-3 (1977 M/1397 H di Jakarta) dan ke-4 (1978 M/1398 H di Ciawi Bogor), selain membahas beberapa hal tentang Mushaf Bahriyah, seperti penetapan penggunaan mushaf Al-Qur’an terbitan Departemen Agama tahun 1960 sebagai referensi serta penambahan tanda-tanda baca yang dipandang perlu agar memudahkan pembaca, pada Muker ini dibahas pula secara mendalam tentang tanda-tanda baca mushaf Al-Qur’an Braille. Sebagai bahan acuan penulisan mushaf Al-Qur’an Braille digunakan mushaf Braille dari tiga negara, yaitu Pakistan, Yordania, dan Mesir. Pada Muker ketiga dibahas pula tentang rekaman bacaan Al-Qur’an yang mengacu pada bacaan Syekh Mahmud Khalil al-Husariy serta dibentuknya tim penyeragaman mushaf Al-Qur’an Braille yang (berjumlah 6 orang dan masing-masing unsur berjumlah 3 orang) terdiri dari unsur Lajnah Pentashih Mashaf Al-Qur’an Jakarta, Yayasan Kesejahteraan Tuna Netra Islam Yogyakarta, serta Lembaga Pendidikan dan Rehabilitasi Tuna Netra Wyata Guna Bandung. Tim inilah yang berhasil merumuskan mushaf Al-Qur’an Braille hingga juz 10 di Muker keempat Ciawi, dan tim ini pula yang ditugaskan untuk menyempurnakan mushaf Al-Qur’an Braille hingga 30 juz.
Pembahasan Muker ke-5 (1979 M/1399 H di Jakarta) dan ke-6 (1980 M/1400 H di Ciawi Bogor) fokus pada tanda wakaf dalam mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia. Walaupun mushaf bahriyah yang disepakati menjadi pedoman Lajnah dalam mentashih, tetapi Lajnah tetap diwajibkan untuk meneliti konsistensi penempatan dan pelaksanaan selanjutnya. Khusus pada Muker kelima muncul usulan pembentukan tim ahli untuk meneliti terjemahan Al-Qur’an, sedangkan pada Muker keenam terdapat penyetujuan terhadap Pedoman Membaca Al-Qur’an Braille yang telah disusun oleh Yaketunis Yogyakarta dan Wyata Guna Bandung. Pada Muker keenam terjadi penyeragaman dan penyederhanaan tanda wakaf yang sebelumnya (mushaf Depag 1960) berjumlah 12 tanda wakaf menjadi 7 tanda wakaf, dan ini diberlakukan untuk Mushaf Standar Usmaniy dan Bahriyah. Adapun Mushaf Standar Braille ada pengecualian dua tanda wakaf, yaitu (صلى) menggunakan tanda wakaf (ص) dan tanda wakaf (قلى) menggunakan tanda wakaf (ط).
Pokok pembahasan tentang rasm, syakl dan tanda baca pada ketiga varian Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia (Usmaniy, Bahriyah, dan Braille) menjadi topik utama ketiga Muker selanjutnya, yaitu Muker ke-7 (1981 M/1401 H di Ciawi Bogor), Muker ke-8 (1982 M/1402 H di Tugu Bogor), dan Muker ke-9 (1983 M/1403 H di Jakarta). Selain itu, ada catatan khusus Muker ketujuh yang menyinggung masalah penulisan Al-Qur’an dalam huruf latin serta penyusunan pedoman penulisan dan pentashihan Al-Qur’an Braille. Meskipun draf pedoman penulisan mushaf Al-Qur’an Braille Standar telah disusun di Muker kedelapan dan hanya memerlukan penyempurnaan dari Lajnah, tetapi penulisan Mushaf Al-Qur’an Braille yang telah mencapai juz ke-10 di Muker keempat ternyata masih tersisakan juz ke-21 hingga juz ke-30 di Muker kedelapan. Pada Muker kesembilan dibubuhkan tanda tashih untuk Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia versi usmani dan bahriyah, serta penyerahan Mushaf Al-Qur’an Standar Braille Indonesia 30 juz kepada Menteri Agama.
Dengan demikian, pada Muker ke-10 kesepakatan tentang Mushaf Standar Indonesia telah disetujui. Implementasi dari hasil Muker tersebut adalah hadirnya Mushaf Standar Indonesia (Usmaniy, Bahriyah, dan Braille) di tengah-tengah masyarakat muslim Indonesia. Mushaf-mushaf ini dikatakan standar karena telah dibakukan sesuai dengan hasil Musyawarah Kerja Ulama Al-Qur’an yang ditetapkan oleh Pemerintah dan dijadikan pedoman dalam penerbitan Mushaf Al-Qur’an di Indonesia. Begitulah ketentuan umum Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 44 Tahun 2016 tentang Penerbitan, Pentashihan, dan Peredaran Mushaf Al-Qur’an. [Harits Fadlly]