Penelitian Pengajaran Al-Qur’an bagi Anak Berkebutuhan Khusus (Tunanetra) 2016

Sebagai sumber ajaran Islam sekaligus petunjuk hidup bagi umat Islam, Al-Qur’an sudah sepatutnya dapat dibaca oleh setiap muslim, termasuk bagi anak berkebutuhan khusus (ABK), salah satunya tunanetra yang mempunyai masalah dalam penglihatan (visually impaired). Namun, kenyataannya tidak demikian. Mayoritas tunanetra muslim di Indonesia, menurut data ITMI, masih buta aksara Al-Qur’an. Kenyataan ini tentunya juga akan mempertanyakan fungsi Kementerian Agama dalam memberikan pelayanan keagamaan kepada kelompok tersebut.

Atas dasar itulah penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mendeskripsikan berbagai persoalan yang berkembang dalam pengajaran Al-Qur’an bagi tunanetra di Indonesia. Sejumlah variabel yang terkait pelaksanaan kegiatan pengajaran Al-Quran menjadi unit analisis dalam penelitian ini, baik terkait dengan kebijakan, kelembagaan, metode pengajaran, dan berbagai aspek terkait lainnya.

Penelitian ini masih bersifat eksploratif yang pelaksanaannya menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu pendekatan yang sangat menggantungkan kemampuan peneliti dalam mengumpulkan data lapangan, baik melalui metode wawancara, observasi maupun dokumentasi. Data yang berhasil dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis.   

Pengumpulan data telah dilakukan pada 12 lembaga/yayasan yang lokasinya menyebar di 12 wilayah luar Jawa, yaitu Rumoh Seujahtra Meukarya Aceh, PSTN Tebing Tinggi Sumatera Utara, Panti Rehabilitasi Penderita Cacat Netra (PRPCN) Palembang Sumatera Selatan, Yayasan Amal Mulia Bengkulu, Yayasan Pembina Pendidikan Luar Biasa Tunanetra (YPPLB-A) Sumatera Barat, Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat Tunanetra (PRSPCTN) Lampung, Panti Sosial Bina Netra Tabanan Bali, Yayasan YPTN-A Mataram Nusa Tenggara Barat, Yayasan Pembinaan Tunanetra Indonesia (YAPTI) Sulawesi Selatan, SLB ABCD Muhammadiyah Palu Sulawesi Tengah, Yayasan Ar-Rahmah Pontianak Kalimantan Barat dan PSBN Fajar Harapan Kalimantan Selatan. Lembaga/yayasan yang dijadikan sampel penelitian tersebut merupakan penampung penyandang disabilitas, khususnya tunanetra dan mempunyai kegiatan pengajaran Al-Qur’an.

 

Kesimpulan

Hasil penelitian ini telah memberikan gambaran tentang beberapa aspek dalam pengajaran Al-Qur’an yang perlu menjadi perhatian pemerintah, khususnya Kementerian Agama, sebagai bahan pengambilan kebijakan sebagaimana berikut:

  1. Pengajaran Al-Qur’an bagi tunanetra dilakukan dengan menggunakan dua metode, yaitu menghafal dan media Braille. Pengajaran Al-Qur’an dengan menggunakan media Braille (Al-Qur’an Braille) masih menjadi pilihan utama karena dapat membuat tunanetra mempunyai kemampuan literasi (baca-tulis) Al-Qur’an. Dengan kemampuan literasi Braille, mereka dapat membaca Al-Qur’an secara mandiri. Ketersediaan Mushaf Al-Qur’an Braille perlu menjadi perhatian Kementerian Agama untuk terus diupayakan ketersediaannya.
  2. Dalam pengajaran Al-Qur’an di 12 lembaga tersebut belum ditemukan metode baku yang digunakan. Masing-masing lembaga mempunyai pilihan metode sendiri sesuai dengan pengalaman para pengajarnya. Sebagian lembaga tidak mempunyai bahan ajar, sedangkan materi diberikan dengan cara didekte sesuai dengan pengalaman pengajar. Sebagian lainnya sudah menggunakan bahan ajar hasil transkrip metode Iqro ke dalam bentuk Braille dengan sejumlah modifikasi, dan didapatkan dari sejumlah yayasan tunanetra dari Jawa, sepeti Yaketunis dan Raudatul Makfufin. Sementara buku Pedoman Membaca dan Menulis Al-Qur’an Braille yang diterbitkan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an pada tahun 2013 hanya dijadikan sebagai rujukan bagi guru dalam membaca dan menulis Al-Qur’an Braille, namun belum dapat digunakan sebagai bahan pengajaran Al-Qur’an Braille. Hal ini dikarenakan disain buku tersebut memang tidak disusun sebagai metode pengajaran yang mensyaratkan adanya tahapan-tahapan materi serta dilengkapi dengan bahan latihan.
  3. Ketersediaan dan kompetensi tenaga pengajar Al-Qur’an Braille yang masih minim. Sebagian besar lembaga belum mempunyai tenaga pengajar Al-Qur’an Braille yang memadai, baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya. Dari sisi kualitas, sebagian besar tenaga guru pengajar Al-Qur’an Braille belum memenuhi standar kompetensi yang seharusnya. Pengajar Al-Qur’an setidaknya harus menguasai tiga komptensi, yaitu (a) mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar, (b) mengusai baca-tulis Al-Qur’an Braille dan (c) mempunyai pengetahuan cara menangani anak berkebutuhan khusus.  Begitu pula dari aspek kuantitas, ketersediaan guru pengajar Al-Qur’an Braille masih belum memadai jika dibandingkan jumlah murid yang harus mendapatkan pengajaran. Akibat kondisi ini, di sebagian besar lembaga, untuk mendapatkan capaian hasil pengajaran, membutuhkan waktu yang lama dan itupun tidak merata. 
  4. Penyelenggaraan pengajaran Al-Qur’an selama ini masih terpusat pada lembaga/yayasan tunanetra yang jumlahnya terbatas dan lokasinya rata-rata di pusat kota besar, sehingga banyak penyandang tunanetra yang jauh dari pusat kota belum terakomodir. Oleh karena itu, perlu ada upaya agar pengajaran Al-Qur’an Braille bisa dilakukan di berbagai tempat pengajaran Al-Qur’an pada umumnya, seperti di pesantren, majlis taklim, musola, mesjid, dan TPA. Untuk itu, sosialisasi dan pelatihan agar banyak para pengajar Al-Qur’an (Awas) mempunyai kemampuan mengajarkan Al-Qur’an Braille dan bisa menerima santri dari kalangan tunanetra.

 

Rekomendasi

  1. Kementerian Agama perlu segera melakukan kajian dan penyusunan Modul Pembelajaran Al-Qur’an Braille yang dapat diterapkan ke seluruh tunanetra muslim di Indonesia.
  2. Kementerian Agama perlu menyediakan tenaga pengajar yang memadai, serta meningkatkan kompetensinya dalam pembelajaran Al-Qur’an Braille.
  3. Kementerian Agama perlu menyelenggarakan pelatihan-pelatihan guna meningkatkan kompetensi para pengajar Al-Qur’an. Termasuk upaya yang dapat dilakukan adalah memasukkan materi pengajaran Al-Qur’an Braille dalam mata kuliah di jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI). Faktanya, guru yang mengampu pendidikan Agama Islam di sejumlah SLB berasal dari lulusan Perguruan Tinggi Islam Jurusan Pendidikan Agama Islam. Mereka mampu mengajarkan Al-Qur’an, namun tidak bisa mengajarkan Al-Qur’an Braille.
  4. Kementerian Agama perlu mengupayakan agar pengajaran Al-Qur’an Braille bisa dilakukan di berbagai tempat pengajaran Al-Qur’an pada umumnya, seperti di pesantren, majlis taklim, musola, mesjid, dan TPA.

Kontak

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an
Gedung Bayt Al-Qur`an & Museum Istiqlal
Jalan Raya TMII Pintu I Jakarta Timur 13560
Telp: (021) 8416468 - 8416466
Faks: (021) 8416468
Web: lajnah.kemenag.go.id
Email: lajnah@kemenag.go.id
© 2023 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an. All Rights Reserved