Salah satu karya tafsir yang belakangan banyak dikaji sejumlah sarjana dan peneliti di perguruan tinggi adalah Kitab Faid ar-Rahman karya Kyai Sholeh Darat. Kitab karya Kyai Sholeh Darat ini memiliki daya tarik, diantaranya karena kitab ini disinyalir mempengaruhi secara signifikan pola pemikiran salah satu pahlawan Indonesia, RA. Kartini. Keterpengaruhan tersebut bisa dilihat pada surat menyurat RA Kartini dengan sahabatnya, Stella Zihandelaar yang kemudian berkas surat menyuratnya dikumpulkan menjadi sebuah buku oleh JH. Abendanon dengan judul “Door Duisternis Toot Licht,” yang kemudian oleh Armijin Pane diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang.”
Kyai Sholeh Darat bernama asli Muhammad Shalih ibn Umar as-Samarani, lahir di Dukuh Kedung Jumbleng, Desa Ngroto Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara. Nama Darat sendiri diambil dari nama tempat tinggal Kyai Sholeh di pantai utara Semarang yang menjadi tempat berlabuh orang-orang luar Jawa yang berlabuh (mendarat). Nama Darat ini kemudian diabadikan menjadi nama Kampung Darat yang terletak di Semarang Utara. Kyai Sholeh Darat meninggal pada 18 Desember 1903 dalam usia 83 tahun dan dimakamkan di pemakanan umum Bergota, Semarang.
Sejak kecil Kyai Sholeh Darat sudah menimba ilmu agama dari beberapa orang guru, diantaranya adalah KH. M. Syahid (cucu KH. Mutamakin) di Pati, KH. Raden Haji Muhammad Shaleh bin Asnawi, Kudus, KH. Ishak Damaran, Semarang, KH. Abu Abdullah Muhammad bin Hadi Buquni, Semarang, KH. Ahmad Bafaqih, Semarang, Mbah Ahmad, dan lainnya. Diantara murid-muridnya yang bisa disebutkan adalah KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Dahlan Tremas, KH. Amir Pekalongan, KH. Abdul Hamid Kendal, KH. Dimyati Tremas, KH. Cholil Rembang, KH. Munawir Krapyak, KH. Dahlan Watucongol, KH. Yasin Rembang, KH. Ridwan Ibnu Mujahid, Semarang, dan RA Kartini, Jepara. Selain itu, Kyai Sholeh juga pernah bermukim di Makkah dan menjadi pengajar di sana dan berkenalan dengan ulama-ulama asal Indonesia lainnya, seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Sykeh Ahmad Khatib, KH. Mahfudz at-Tirmas, dan KH. Khalil Bangkalan.
Terkait dengan paham keagamaan, Kyai Sholeh Darat adalah pendukung paham teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah yang bisa dilihat pada karyanya, Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘ala Jauhar at-Tauhid. Dalam bidang fikih, Kyai Sholeh adalah penganut mazhab Syafi’i, dan dalam bidang tarekat mengikuti Tarakat Qadiriyah. Selain Tarjamah, karya lain Kyai Sholeh yang bisa disebutkan adalah, Majmu’at Syariat al-Kafiyat li al-Awam (membahas fiqih), al-Hikam karya Ahmad bin Athaillah, tentang pelaksanaan shalat, Syarah Maulid al-Burdah, dan Faid ar-Rahman fi Tarjama Tafsir Kalam al-Malik ad-Dayyan (kitab tafsir).
Faid ar-Rahman merupakan karya terjemahan dengan muatan tafsir yang ditulis menggunakan bahasa Jawa dengan tulisan Arab Pegon. Nama Faid ar-Rahman sendiri, secara sederhana bermakna limpahan kasih sayang Tuhan yang di dalamnya tidak hanya menjelaskan makna Al-Qur’an secara eksplisit (zahir) namun juga implisit (batin). Tafsir ini ditulis sesuai dengan urutan mushaf (tartib mushaf). Tafsir ini merupakan tafsir pertama yang ditulis menggunakan Bahasa Jawa dengan aksara huruf Arab pegon.
Secara metodologis, tafsir Faid ar-Rahman dibuat menggunakan metode ijmali. Setiap surah ditafsirkan sesuai dengan urutan mushaf, kemudian diterjemahkan menggunakan Bahasa Arab pegon, dan tafsirnya ditulis menggunakan bahasa dan tulisan yang sama agar bisa difahami oleh masyarakat setempat. Bagian pertama tafsir ini diawali dengan mukadimah, selanjutnya 7 ayat surah Al-Fatihah, kemudian Al-Baqarah dan seterusnya. Kyai Sholeh Darat ingin menyelesaikan tafsirnya, namun baru sampai 6 Juz, kyai Sholeh wafat. Tahun 1893, tafsir ini dicetak pada percetakan Haji Muhammad Amin, Singapura.
Dalam konteks sosial politik Indonesia, tafsir karya Kyai Sholeh Darat ini tidak hanya difungsikan untuk memahami isi dan kandungan Al-Qur’an, namun juga sebagai bagian dari perlawanan terhadap kolonialisme. Pada masa penjajahan, menerjemahkan Al-Qur’an, termasuk ke Bahasa Jawa tidak diperkenankan. Pihak Belanda bahkan melarang menerjemahkan Al-Qur’an ke bahasa lokal pribumi karena khawatir isi dan kandungan kitab suci tersebut membangkitkan perlawanan masyarakat pada kolonialisme. Tidak berlebihan jika kemudian tafsir karya Kyai Sholeh Darat ini disebut sebagai karya yang mampu membuka cakrawala pemahaman Islam pada masyarakat dan sekaligus menjadi symbol perlawanan terhadap kolonialisme di Indonesia. _Seri Tafsir Nusantara (Must)