Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi menulis dalam otobiografinya, Hikayat Abdullah (cetakan litografi, Singapura, tahun 1849),
Sebermula adalah berbagai2 perkakas hukuman dan syeksa dalam tempat mengaji itu sedia, berbagai2 rupanya, dihukumkan atas jenis kesalahannya. Pertama2 rotan dan apit Cina. Adapun apit Cina itu diperbuat daripada rotan saga empat keping; kira2 panjangnya sejengkal2. Maka cucuk sebelah hujung dimatikan dan lagi sebelah diberi bertali panjang; demikianlah rupa gambarnya. Maka yaitu hukuman mengapitkan jari, yaitu hukuman seperti budak2 mencuri atau memukul kawan2nya.
Dan lagi kayu palat namanya, yaitu satu kayu bulat panjang sekira2 sebelah dada. Maka yaitu diberi berlubang tiga; maka dua puncah kiri kanan itu dimatikan, dimasukkan talinya itu di lubang tengahnya. Maka yaitu hukuman seperti budak2 pelari mengaji, atau memanjat pohon2, atau menendang kawan2nya; dimasukkan dua2 belah kakinya ke dalam tali itu, diputar ke atas, kemudian disesah tapak kakinya; demikianlah rupanya.
Dan lagi suatu rantai besi, kira2 panjangnya sedepa atau lebih. Maka yaitu dipakukan kepada suatu kepala balak; maka sebelah lagi itu diberi berkunci. Maka yaitu hukuman budak yang lari sebentar2 dan selalu berkelahi, atau tiada mau menengar pengajar ibu bapanya dan lambat belajar. Maka dikuncikan rantai di pinggangnya dan disuruh pikul kayu itu berkeliling tempat mengaji itu; terkadang ditinggalkan dia dengan rantai2 itu, tiada dilepas pulang, dihantar nasi ke situ.
Dan lagi singgang, yaitu hukuman budak2 yang bantahan dan jahat; yaitu suruh pegang tangan kiri ke telinga kanan dan tangan kanan ke telinga kiri, serta disuruh bangun duduk dengan tiada berhenti; demikianlah gambarnya.
Dan lagi pula adalah suatu hukuman kepada budak2 yang malas mengaji dan sebagainya; yaitu dibubuh asap dalam sabut kering banyak2 kemudian pula ditunggingkan budak itu ke atas asap itu. Maka yang ada pula dibubuhkan ladah Cina kering ke dalam api itu. Maka pedihnya asap itu bukan barang2; habis keluar air mata dan air hidung.
Dan lagi suatu hukuman budak2 barang salah dalam tempat mengaji; ada satu tali pintal, maka ditambatkan pinggang budak itu, diikatkan ke tiang, disuruhkan mengaji papan lohnya itu sampai ia dapat. Sebelum ia dapat, tiada ia dilepaskan; dihantar nasi oleh ibu bapanya di situ.
Dan lagi suatu hukuman budak2 yang sangat jahat lagi melawan, dan lagi pelari dan pencuri. Maka yaitu digantung kedua belah tangannya, tiada berjejak kakinya.
Dan lagi pula, satu hukuman budak2 yang sangat jahatnya dan pelari; maka yaitu ditiharapkan budak itu, disesah pantatnya.
Dan lagi suatu hukuman jikalau budak itu terlalu bohong dan memaki orang; maka yaitu digosok ladah Cina mulutnya.
Syahdan adapun segala hukuman yang tersebut di atas ini, bolehlah dihukumkan oleh gurunya dalam tempat mengaji. Maka jikalau anak raja atau anak orang kaya2 tiadalah peduli, bolehlah dipukul oleh gurunya dalam tempat mengaji; meski sampai berdarah, tiadalah boleh dida’wakan dia, karena ia mengajar baik.
Sebagai lagi, maka adalah ‘adat apabila seorang melepaskan anaknya mengaji, maka datanglah ibu atau bapa budak yang akan mengaji itu dahulu menyembah guru itu, serta membawakan sirih secerana dan penganan sedulang, bersama2 dengan budak yang hendak mengaji itu, serta ibu bapanya itu berkata: “Tuan atau Enci’, saya pinta dua perkara sahaja: pertama2 biji mata budak ini dan kedua kaki tangannya jangan dipatahkan, maka lain daripada itu, enci’ punya suka.” Maka disuruhnya anaknya itu menyembah kaki gurunya itu, kemudian baharulah dibacakan oleh guru itu do’a selamat. Maka segala penganan itu pun dibahagikanlah kepada segala budak2, dan wangnya diambil oleh gurunya itu dan bunga cendana semuanya dibahagikan. Maka tiadalah aku lanjutkan perkataan dan ‘adat yang dalam tempat mengaji itu, karena orang yang ber’akal itu tiada suka menengar perkataan yang lanjut, melainkan sekadar mengambil kias dan ‘ibarat sahaja adanya.
Sumber: Amin Sweeney, Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi (Jilid 3 Hikayat Abdullah), Jakarta: KPG, 2008, hlm. 254-257.