Umar Mahdlor (Umar Sholeh) adalah anak ketiga dari pasangan KH Harun Sholeh bin K Mustam (Kedondong, Cirebon) dan Ny. Mutimah binti KH Nawawi (Babakan, Ciwaringin, Cirebon), dilahirkan di lingkungan Pondok Pesantren Kempek, Kecamatan Gempol (dahulu Palimanan), Kabupaten Cirebon, pada tanggal 12 Februari 1922. Sejak kecil Umar diasuh oleh kedua orang tuanya di pesantren berciri khas Al-Qur’an dan ilmu alat hingga usia sekitar 25 tahun. Setelah itu KH Umar Sholeh melanjutkan pendidikan di luar pesantren orang tuanya, seperti ke Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Hidup berkeluarga mulai dirajut KH Umar Sholeh pada usia hampir 35 tahun bersama Ny. Hindun binti KH Munawwir bin Abdullah Rosyad (PP Krapyak, Yogyakarta) dan tidak dikaruniai anak, namun di pernikahannya yang kedua bersama Ny ‘Aisyah binti KH Ahmad Syathori (PP Arjawinangun, Cirebon) dikaruniai seorang anak bernama Muhammad Nawawi Umar.
KH Umar Sholeh tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Pendidikan yang dijalaninya hanya pendidikan informal (dalam keluarga) dan pendidikan nonformal (pesantren). Selain mempelajari kitab di beberapa pesantren, dia pun belajar Al-Qur’an, namun ketertarikannya lebih kepada proses belajar bin-nazar, bukan bil-gaib. Ketekunan dan semangat yang tinggi dalam belajar Al-Qur’an menjadikannya memperoleh sanad (syahadah) sampai kepada Rasulullah (dengan mata rantai sebanyak 36 sanad). Meskipun sudah menjadi kiai dan berumah tangga, semangat KH Umar Sholeh dalam menuntut ilmu tetap tinggi, dan tetap mengaji kitab Ihya Ulumuddin kepada Habib Syekh Syarif (PP Jagastru, Cirebon).
Dalam keluarganya, KH Umar Sholeh dikenal sebagai sosok suami, orang tua dan kakek yang penyayang. Kasih sayangnya saat mengasuh istrinya sesekali dibumbui dengan senda gurau, baik di lingkungan rumahnya maupun di luar rumah. Rasa kasih sayang KH Umar Sholeh terhadap anak semata wayangnya (M. Nawawi Umar) tidak membuatnya sungkan untuk memberlakukan sanksi jika anaknya melanggar peraturan di pesantrennya. Demikian seterusnya, rasa kasih sayang yang diiringi dengan disiplin dan ketegasan dapat dilihat saat KH Umar Sholeh berperilaku kepada cucu dan menantunya.
Kondisi politik dan ekonomi semasa hidup merupakan dua faktor yang sangat mempengaruhi sikap dakwah KH Umar Sholeh. Dakwah bil-hal lebih diutamakannya daripada dakwah bil-lisan. Kondisi politik yang pada saat itu sedang hangat dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), sementara jalan-jalan rusak serta listrik belum tersebar luas, adalah dua alasan mengapa KH Umar Sholeh lebih nyaman berdakwah dari pintu ke pintu (door to door) daripada berdakwah secara terbuka.
Sebagai seorang kiai yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal, KH Umar Sholeh termasuk salah satu kiai yang cukup produktif dalam menulis buku. Dalam perjalanan hidupnya sudah tujuh buku berisi penjelasan dari berbagai masalah keilmuan yang ditemukannya saat membaca kitab. Salah satu buku penjelasan tersebut ada yang memuat catatan-catatan hasil telaahnya terhadap 14 kitab. Catatan-catatan itu jika diterbitkan tentu akan menjadi karya besar seorang alim Cirebon, namun karena keterbatasan dana, catatan-catatan tersebut belum diterbitkan. Sampai akhir hayatnya (1998), baru dua buku karya KH Umar Sholeh yang berhasil diterbitkan. Buku pertama membahas tentang qiraat Al-Qur’an dan buku kedua tentang soal-jawab yang ditulis dalam bahasa Jawa.
(Harits Fadlly – Diringkas dari buku Para Penjaga Al-Qur'an, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2011)