Manat (مَنَاة manāt) adalah nama salah satu berhala yang terletak di Musyallal yang termasuk wilayah Qudaid, suatu tempat antara Makkah dan Madinah. Berhala ini merupakan sembahan kabilah Huzail, Khuza’ah, Aus, dan Khazraj pada masa jahiliah. Mereka memulai ibadah haji dari tempat berhala ini sampai ke Ka’bah. Berhala yang terbuat dari batu dan berupa sesosok perempuan ini bersama al-Lata dan al-Uzza dipersonifikasikan oleh para penyembahnya sebagai anak perempuan Allah. Berhala ini dihancurkan oleh Ali bin Abi Thalib atas perintah Nabi saw pada tahun 8 H.
Kata manat adalah isim ‘alam murtajal atau nama diri yang tidak pernah digunakan untuk yang lain kecuali nama diri. Kata ini terbentuk dari kata maniya yang tersusun dari huruf mim, nun, dan satu huruf illat asli yang memiliki makna ‘menentukan’ atau ‘menakdirkan’. Dari kata ini terbentuk kata maniy (منيّ) ‘sperma’ karena sperma menentukan sifat tubuh bayi yang akan dilahirkan. Kata bentukan lainnya adalah maniyyah (منيّة) yang bermakna ‘maut (kematian)’ karena kematian sudah ditentukan bagi semua makhluk. Oleh karena itu, para penyembahnya meyakini bahwa berhala inilah yang memberi mereka rezeki, menakdirkan sesuatu untuk mereka, atau menjadi penyebab dari rezeki yang mereka dapatkan atau takdir sesuatu untuk mereka.
Ibnu al-Kalbiy menyebutkan bahwa berhala paling kuno yang disembah masyarakat Arab jahiliah adalah Manat. Mereka dulu menamai anak mereka dengan Abd Manat atau Zaid Manat. Masyarakat Arab jahiliah memuliakan berhala ini dengan melakukan tawaf mengelilinginya dan memotong hewan kurban yang dipersembahkan baginya. Sebuah wilayah di dekat Kota Makkah dinamakan Mina karena ditentukan untuk menyembelih hewan kurban di wilayah ini ketika musim haji.
Pemujaan berhala di kalangan bangsa Arab jahiliah, menurut Philip K. Hitti tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kebudayaan sebelumnya. Menurutnya, berhala Manat sudah muncul dalam tulisan Nabatea di al-Hijr. Manat diasosiasikan dengan Żū asy-Syarā atau Dushara, dewa utama bangsa Nabatea di Petra. Begitu juga dengan penyembahan terhadap Al-Lata yang bermakna ‘tuhan perempuan’. Berhala ini juga dikenal oleh bangsa Nabatea dengan sebutan Alilat. Ketika mendapat pengaruh dari Yunani, berhala ini diasosiasikan dengan Athena. Demikian juga, ketika mendapat pengaruh Romawi, berhala ini dianggap sejajar dengan Minerva.
Sedangkan al-Uzza yang menurut Hitti bermakna ‘yang paling agung’ diwujudkan dalam bentuk patung obeliks atau tiang batu berdampingan dengan obeliks Manat atau Dushara di Kota Petra. Dalam peradaban Yunani, al-Uzza dikenal dengan nama Aphrodite. Adapun peradaban Romawi menyebutnya dengan Venus, bintang pagi.
Kata Manat hanya sekali disebut dalam Al-Qur’an, yaitu surah an-Najm/53: 20. Terdapat perbedaan ulama qiraat dalam membaca kata. Imam Ibnu Kaṡīr membacanya manā’ata (مناءة) dengan menambahkan hamzah berfathah setelah alif dengan tetap membaca nun dengan mad ‘panjang’. Sedangkan imam qiraat lainnya membacanya manāta (مناة) dengan tanpa menambahkan hamzah. Ketika waqaf pada kata manāt, jumhur ulama membacanya dengan ta mengikuti rasm penulisannya. Mereka menganggap huruf ta di sana sebagai bagian dari kata, bukan sebagai tanda kata benda perempuan (mu’annaṡ), sebagaimana huruf ta pada kata al-Lāta. Akan tetapi, al-Kisai, Ibnu kasir dan Ibnu Muhaisin waqaf dengan huruf ha pada kata tersebut. Mereka beralasan bahwa kata manat adalah isim alam (kata benda nama diri) yang tidak menerima hukum sharf dan merupakan kata benda perempuan.
Penyebutan kata Manat dalam Al-Qur’an bersamaan dengan dua berhala lainnya yang disebut dalam ayat sebelumhya, yaitu al-Lata dan al-Uzza. Di samping ketiga berhala ini, masyarakat Arab jahiliah sebetulnya memiliki banyak berhala dan tempat pemujaan lainnya. Penyebutan ketiga berhala ini dalam Al-Qur’an menandakan bahwa ketiganya merupakan berhala termasyhur di kalangan masyarakat Arab jahiliah.
Ketiga berhala ini diyakini masyarakat Arab jahiliah sebagai anak perempuan Allah di samping para malaikat. Ibnu Ishak mengatakan bahwa masyarakat Arab jahiliah menganggap ketiga benda ini, selain Ka’bah, sebagai benda sembahan mereka. Mereka memuliakan ketiga berhala ini sebagaimana mereka memuliakan Ka’bah yang dianggap sebagai rumah dan masjid Nabi Ibrahim. Ketiga berhala ini dibuat seperti bangunan Ka’bah yang mempunyai tabir dan mereka bertawaf padanya seperti tawaf pada Ka’bah serta memotong binatang kurban di sampingnya.
Disebabkan tradisi bertawaf di sekitar Manat ini pada zaman jahiliah, kaum Anshar merasa enggan untuk melakukan sai di antara bukit Safa dan Marwah. Mereka khawatir hal tersebut menyerupai perbuatan ketika masih berada pada masa jahiliah. Terkait hal ini, Allah lalu menurunkan surah al-Baqarah/2: 158 yang menerangkan kebolehan untuk melakukan sai di antara Safa dan Marwah. Melalui ayat itu juga, Allah menyatakan bahwa sai merupakan bagian dari syiar yang dilestarikan pelaksanaannya. [JS]