Memaknai Keberlangsungan Sebuah Tradisi: Sebuah Pendekatan Antropologi Qur’an

[Catatan: Artikel ini merupakan pembanding atas tulisan “Mushaf Al-Qur’an Kuno-kunoan” yang ditulis oleh Ali Akbar di http://lajnah.kemenag.go.id/artikel/49-feature/124-mushaf-al-quran-kuno-kunoan.html beberapa waktu lalu].

“Qur’an ini saya jual 3 juta. Yang daun lontar saya jual 5 juta. Kalau di Malaysia biasanya laku 15 juta sama yang bawa. Kalau ada yang ngaku ini Qur’an tua terus minta dibeli miliaran, ‘nipu itu dia”. (Pak Haji Ihsan, Madura, Juli 2011)

Mushaf RaksasaKetika ada orang datang ke Bayt al-Qur’an & Museum Istiqlal (Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an) membawa mushaf Al-Qur’an besar dan menawarkannya dengan harga selangit, beberapa teman yang memiliki pengetahuan kodikologis membisiki bahwa itu bukan mushaf lama. Saya pun mengamini. Namun, ketika kejadian itu berulang beberapa kali, saya mulai bertanya, siapa yang menulisnya, dari lokal kebudayaan mana berasal, dan motivasi apa yang mendorongnya menulis Al-Qur’an itu?

Pada waktu itu saya berpikiran bahwa menulis Al-Qur’an membutuhkan keahlian dalam menulis Arab. Keahlian tersebut hanya dimiliki komunitas tertentu, yaitu santri. Untuk melihat di daerah mana Al-Qur’an itu diproduksi, bisa dilihat dari bahannya, daun lontar. Pohon ini banyak tumbuh di daerah Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Pilihan kemudian mengerucut menjadi dua, yaitu Jawa Timur dan NTB, karena Bali, tradisi Islamnya terbilang kecil dan tidak menyebar luas.

Seorang kawan dari Museum Mpu Tantular, Sidoarjo, memberitahu bahwa dia memiliki informasi alamat pembuat “Al-Quran Cinderamata” dari Kabupaten Pamekasan, Madura. Berbekal informasi dari kawan itu, dan kebetulan saya ada tugas kantor ke Sumenep, sayamencari rumah pembuat Al-Qur’an cinderamata itu, di Jl. Balekambang, Kab. Pamekasan.

Sampai di Sumenep, saya pergi ke Museum Kraton. Di museum ini terdapat Al-Qur’an raksasa, berukuran 4 x 3 m. Tulisannya mirip dengan Al-Qur’an hadiah dari Menteri Agama di Bayt Al-Qur’an & Museum Istiqlal, hanya saja ukurannya lebih besar. “Mushaf ini tidak boleh dibawa keluar, karena ada kalimat yang salah. Sudah diperiksa oleh MUI Sumenep. Dibuat beberapa tahun lalu ketika ada MTQ Provinsi Jawa Timur,” kata penjaga museum.

Singkatnya, saya berkenalan dengan Sekretaris Dinas Kebudayaan, Pariwisata dan Olahraga (Budpora) Kabupaten Sumenep, Pak Junaidi. Kami lama berbincang, salah satu topiknya tentang Al-Qur’an besar yang ada di museum. Dia menyebutkan bahwa Al-Qur’an itu dibuat oleh seorang perempuan di Kecamatan Bluto. Pak Junaidi hanya menyebutkan kecamatan, dan tidak hafal nama desanya, karena terletak di perbukitan. Dia menawarkan, kalau mau bikin bisa lewat dirinya. Harganya 1,5 juta untuk Al-Qur’an daun lontar ukuran 40 x 60 cm.

Berdasarkan informasi Pak Junaidi, saya tertarik memesan sekaligus bersilaturahmi dengan pembuatnya. Atas kebaikan seorang kawan, saya akhirnya berhasil menemukan lokasi pembuatan Al-Qur’an tersebut, di sebuah desa di Kecamatan Bluto. Sepanjang jalan setapak ditumbuhi pohon siwalan (lontar).

Pak Haji Ihsan, begitu dia memperkenalkan diri, seorang kolektor benda antik. Setelah saya ungkapkan maksud kedatangan, ia mengeluarkan sejumlah Al-Qur’an dari dalam rumahnya. Dia memberitahu mana yang kuno dan mana yang baru. Kemudian “Ji Ihsan” (begitu ia biasa dipanggil) mengambil sebuah Al-Qur’an. “Yang ini kuno, tapi bagian Surah al-Fatihah dan al-Baqarah serta sampulnya baru, karena tadinya rusak,” ujarnya sambil menunjukkan bagian yang lama dan baru. Pada sudut ruangan teronggok beberapa Al-Qur’an besar sudah selesai, tetapi belum disampul.

Ji Ihsan lalu memanggil anaknya, Usmaniyah. Ia memperkenalkan bahwa dialah yang menulis mushaf-mushaf Al-Qur’an yang tersebar itu, bersama lima penulis lainnya. Ia memegang beberapa spidol. Sambil duduk, tak sungkan ia memperlihatkan bahwa spidol yang dipegangnya itulah yang digunakan sebagai alat tulis. Adapun Al-Qur’an daun lontar ditulis menggunakan semacam bor kecil. Di sekitar rumah Ji Ihsan banyak tumbuh pohon ta’al (siwalan, lontar).

Saya ceritakan bahwa kantor kami, Bayt Al-Qur’an & Museum Istiqlal, beberapa kali didatangi orang yang membawa mushaf seperti yang ada di rumah itu. Seorang kawan dari Makassar juga pernah mengabarkan ada seseorang yang membawa Al-Qur’an lontar ke kantor BP3 dengan menawarkan harga selangit. Seorang kawan peneliti juga pernah memperlihatkan sebuah foto Al-Qur’an di Amuntai yang semula diduga kuno. Bahkan ada kawan dari Fakfak, Papua, yang datang ke kantor meminta penjelasan tentang Al-Qur’an “tua” yang ada di sana. Berdasarkan foto yang dibawanya, dapat dipastikan bahwa itu mushaf baru. Semuanya dengan ukuran besar.

Qur’an ini saya jual 3 juta. Yang daun lontar saya jual 5 juta. Kalau di Malaysia biasanya laku 15 juta sama yang bawa. Kalau ada yang ngaku ini Qur’an tua terus minta dibeli miliaran, ‘nipu itu dia,”kata Pak Haji Ihsan. Ia menuturkan bahwa yang datang kepadanya tidak hanya dari Indonesia. Hal ini diakui oleh Pak Junaidi, Sekretaris Dinas Budpora Kabupaten Sumenep.

Haji Ihsan juga salah seorang pengrajin keris Madura. Ia juga menceritakan bagaimana dia bisa mengirimkan satu mobil pick-up naskah Madura setiap minggu ke Jakarta, kemudian dikirimkan ke luar negeri seperti Yaman dan Yordania.

Di akhir pertemuan, Haji Ihsan memberikan nomor handphone-nya, sambil menitip pesan, “Kalau ada yang mau beli Qur’an tulis tangan, suruh ke sini saja. Cukup bagus buat hiasan di rumah ...

Mengarifi Tradisi

Terkait maraknya Al-Qur’an tulisan tangan dengan harga miliaran, ada tiga unsur yang dapat kita uraikan, yaitu pembuat (pemroduksi), penjual, dan Al-Qur’an itu sendiri. Pemilahan ini perlu, agar tidak terjadi lekji lekbe, elek siji elek kabeh (jelek satu jelek semua). Ketika ada orang membawa Al-Qur’an ‘lama’ tapi baru, dan bermaksud menipu, kita jangan serta merta menyalahkan penyalinnya. Apalagi sampai gegabah mengatakan bahwa itu Al-Qur’an palsu, sehingga kita merasa berhak merampas untuk kemudian memusnahkannya.

Tetapi, meminta si penyalin instrospeksi diri bahwa karyanya dijadikan alat menipu, atau bahkan memintanya menuliskan ‘Qur’an baru’ di karyanya, merupakan hal yang lucu. Sama lucunya, ketika pengrajin patung di Muntilan, yang sudah dari nenek moyang membuat patung, diminta memahatkan tanda bahwa patungnya bukan patung kuno. Mana ada yang mau membeli dan memajang?

Oleh karena itu, perlu melokalisasi siapa yang perlu disalahkan. Kalau tidak, bisa melebar. Kita sepakat bahwa menjual Al-Qur’an baru dengan mengatakan ‘lama’ dan harga tinggi itu tidak dibenarkan baik secara ekonomis, filologis, maupun kodikologis. Namun, di tengah perasaan tersebut, kita harus berani menghargai bahwa Al-Qur’an yang disalinnya itu sebuah karya yang mulia. Kuno atau baru, pada waktunya nanti akan menjadi kuno juga. Menghargainya berarti secara tidak langsung juga menghargai kesinambungan tradisi penyalinan Al-Qur’an yang masih berlangsung di beberapa daerah – salah satunya Pulau Madura.

Kontak

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an
Gedung Bayt Al-Qur`an & Museum Istiqlal
Jalan Raya TMII Pintu I Jakarta Timur 13560
Telp: (021) 8416468 - 8416466
Faks: (021) 8416468
Web: lajnah.kemenag.go.id
Email: lajnah@kemenag.go.id
© 2023 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an. All Rights Reserved