Pada masa kejayaan Khilafah Abbasiah di Baghdad, ada seorang penyalin Al-Qur’an terkenal bernama Ibnu Bawwab (w. 413 H). Namanya lebih dikenal sebagai ‘dewa’ kaligrafi Islam gaya naskhi dibanding sebagai penyalin Al-Qur’an. Padahal, berdasar sumber sejarah, Ibnu Bawwab menulis 64 mushaf. Jumlah ini lebih banyak dari kaligrafer pendahulunya, Ibnu Muqlah yang hanya menyalin dua mushaf. meskipun begitu, masih kalah jauh dari para panyalin mushaf generasi selanjutnya dan penyalin dinasti mamluk (Mesir) yang berhasil menyalin mushaf hingga ratusan salinan mushaf.
Ibnu al-Bawwāb (w. 413) bernama asli Ali bin Hilāl al-Kātib. Kemasyhurannya dan kebehatan khatnya dikenal bukan ketika ia masih hidup tetapi lama setelah ia wafat. Tidak ada khattat yang namanya lebih populer di dunia Islam melebihinya. Ia yang mempopulerkan khat gaya lentur: tsulus dan naskhi. Sejarawan muslim Zakaria bin Muhammad al-Qazwaini dalam Ātsār al-Bilād wa Akhbār al-Ibād mengatakan tentang keajegan karya Ibnu al-Bawwab: ‘andai Ia diminta menulis satu huruf seratus kali, maka semuanya tidak akan berbeda’.
Salah satu mushaf Salinan Ibnu al-Bawwab diantara 64 mushaf karyanya tersimpan di perpustakaan Chester Beatty di Dublin. Mushaf ini ditulis di Baghdad tahun 391 H (1001 M). Pada akhir mushaf terdapat kolofon berbunyi: kataba hadha al-Jāmi’ Ali bin Hilal bi Madīnah al-salām sanah iḥdā wa tis’īna wa tsalātsa mi’atin hāmidan lillahi ta’ala ‘ala ni’amihi musholliyan ‘ala nabiyyihi Muhammad wa ala alihi mustagfiran min dhanbihi. (kitab ini ditulis oleh Ali bin Hilal di Kota as-Salam (Baghdad) tahun 391 H/ 1001 M). Mushaf ini berukuran 13,5 x 17,5 cm; setiap halaman terdiri dari 15 baris; nama surah pertama dan kedua ditulis dengan khat tsuluts beriluminasi warna emas, sedangkan nama surah lainnya ditulis dengan khat gaya berbeda. Ayatnya ditulis dengan gaya khat naskhi wādiḥ (bold naskh).
Ibnu Bawwab merupakan salah satu muara dari perkembangan khat gaya Naskhi dari ibnu Muqlah. Berdasarkan tinggalan mushaf yang ada, khat gaya Ibnu Bawwab ini terus berkembang hingga awal abad ke-7 H/ 13 M hingga muncul tokoh lain yaitu Yaqut al-Musta’shimi. Ciri utama khat Ibnu Bawwab yaitu semua ukuran huruf berpedoman pada huruf alif, dan tidak terlihat dari tulisannya ukuran huruf yang menyalahi aturan tersebut.
Mushaf yang ada di Dublin ini bisa jadi salah satu mushaf pertama Ibnu al-Bawwab yang masih ada hingga kini. Hal tersebut dilihat bahwa tahun penulisannya yaitu 14 tahun jauh sebelum dia wafat. Mushaf ini juga menarik karena dalam kolofonnya terdapat nama penyalin yang sebelumnya jarang ditulis oleh penyalin. Mushaf ini terdapat hiasan pada awal juz, tengah juz, rubuh, sepersepuluh juz dan setengah juz. hiasan yang digunakan berupa tumbuhan dari kurma (palmette), serta sulur tumbuhan anggur yang khas Arab (Arabesque).
Terkait ragam hias, hingga akhir daulah Abbasiah, hiasan mushaf dilakukan oleh para khatat sendiri. Tidak ada orang khusus yang menangani hiasan pada awal mushaf (ghurroh al-makhtutoh). Seiring zaman, terdapat orang-orang yang khusus menggarap hiasan ini. Mushaf ini juga mengabarkan pada kita bahwa Ibnu Bawwab menggunakan hiasan tiap akhir lima ayat. Serupa huruf hamzah warna emas dengan diakhir huruf Ha’ akhir. Jika sepintas dilihat, huruf tersebut menyerupai angka lima. Untuk sepuluh ayat, ia menggunakan lingkaran bulat dengan huruf ya’ kecil di dalamnya dengan khat kufi.
Hiasan juga terdapat pada ayat sajadah agar memudahkan pembaca mengenalinya. Dengan karakteristik yang tersebut di atas, ada tiga mushaf lagi dan beberapa fragmen Al-Qur’an yang dinisbatkan kepada Ibnu al-Bawwab berada di beberapa museum dan perpustakaan dunia. Mushaf yang mirip dan terdekat dengan mushaf Ibnu Bawwab disalin oleh Abu al-Qāsim Ibrahīm bin Ṣāliḥ al-Muhadhdhab pada tahun 427 H (1035 M). Tahun tersebut terpaut 12 tahun saja dari wafatnya Ibnu al-Bawwab. Ditulis di Baghdad dan tersimpan di Brithis Library London.
Perlu dicatat bahwa mushaf Ibnu Bawwab adalah salah satu mushaf yang terjaga sampai kini dengan kondisi lengkap 30 juz. Secara personal, Ibnu Bawwab adalah kaligrafer negara dan kaidahnya ditiru murid-muridnya di masa selanjutnya. Ia hidup sezaman dengan al-Bāqilāni (w. 402 H) salah seorang kadi daulah Abbasiah yang memfatwakan penyalinan mushaf dengan rasm qiyasi. Mushaf ini menggunakan rasm qiyasi. Maknanya, mushaf ini bisa dijadikan rujukan tertua sejarah penyalinan mushaf dengan rasm qiyasi.[Hakiim]