Banyak kalangan yang mempresepsikan bahwa penulisan Al-Qur’an dengan rasm usmani adalah satu versi. Tidak sedikit yang hanya membatasinya dengan mushaf Madinah semata. Padahal, sejatinya rasm usmani ada beberapa versi riwayat. Karena banyaknya riwayat, maka dalam disiplin ilmu ini juga ada dua tokoh kunci yang sering menjadi penentu dalam keragaman riwayat rasm usmani. Keduanya juga dikenal dengan sebutan asy-Syaikhani fi ar-rasm.
Dalam hadis dikenal ada istilah asy-Syaikhani, yang dimaksudkan adalah Abū ‘Abd Allāh Muḥammad bin Ismā‘īl al-Bukhārī (w. 256 H/835 M) dan Muslim bin al-Ḥajjāj al-Qushairī (w. 261 H/840 M). Begitupun, dalam disiplin fikih Syafiiyah dikenal istilah yang sama untuk merujuk kepakaran an-Nawawī (w. 676 H.) dan ar-Rafi‘ī (w. 623 H.)
Dalam diskursus penyalinan Al-Qur’an dengan rasm usmani juga dikenal istilah yang sama. Term ini merujuk pada dua pakar abad kelima Hijriah, yakni ad-Dānī (w. 444 H) dan muridnya, Abū Dawūd Sulaimān bin Najāḥ (w. 496 H). Seperti halnya dalam bidang fikih, tentu di luar dua nama ini, masih banyak nama-nama besar lain yang kepakarannya dalam bidang rasm usmani juga tidak disangsikan.
Tidak ada keterangan resmi sejak kapan istilah asy-Syaikhān dalam ilmu rasm ini mulai mucul. Namun, merujuk pada tulisan al-Qāḍī (w. 1403 H), penulis menduga istilah ini mulai dipopulerkan oleh al-Mukhallalāṭī (w. 1311 H/1893 M). Hal ini mungkin dipicu juga oleh banyaknya para pengkaji rasm usmani dan penyalin mushaf kontemporer yang mengacu pada dua karya prestisius abad kelima Hijriah ini.
Dalam konteks kajian permushafan kontemporer, menurut Ṭayyār, beberapa negara yang dalam ta’rif mushafnya lebih men-tarjīḥ pendapat Abū Dawūd Sulaimān bin Najāḥ adalah Mesir, Oman, Arab Saudi, dan Kuwait. Sementara itu, mushaf-mushaf mushaf al-Jamahiriyah (Libiya), India/Pakistan, dan Indonesia memiliki kecenderungan sebaliknya, yakni merujuk pada Riwayat Abu ‘Amr ad-Dani. (znl)