Tulisan ini ingin memberikan gambaran singkat mengenai sejumlah mushaf Al-Qur’an yang disalin di beberapa istana kesultanan di Nusantara. Mushaf-mushaf tersebut sebagian kini masih tersimpan di istana atau museum istana tempat asal mushaf tersebut disalin, dan sebagian lain kini telah berpindah tangan menjadi koleksi museum, perpustakaan, atau bahkan diperdagangkan dan menjadi koleksi pribadi.
Mushaf-mushaf yang ditampilkan dalam tulisan ini berasal dari 10 istana Nusantara, yaitu Banten, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Riau-Lingga, Terengganu (Malaysia), Sumbawa, Bima, Bone, dan Ternate. Pemilihan warisan mushaf dari ke-10 istana tersebut terutama karena keindahan iluminasi, kaligrafi, dan kekhasan mushafnya. Meskipun demikian, tidak semua dari masing-masing istana tersebut melahirkan tradisi seni mushaf tersendiri yang berbeda dari istana lainnya. Sebagian dari istana-istana tersebut memiliki hubungan yang baik dengan istana lainnya, sehingga mushaf yang indah dapat berpindah dari suatu istana ke istana lainnya. Sebuah mushaf tinggalan Kesultanan Bima, misalnya, diduga kuat disalin di Kesultanan Terengganu (kini Malaysia), dan sebuah mushaf warisan Kesultanan Tidore, berdasarkan kaligrafi dan iluminasinya, diduga kuat berasal dari Patani (kini Thailand Selatan).
Mushaf-mushaf dari istana memiliki keistimewaan yang berbeda dengan mushaf-mushaf yang berasal dari kalangan masyarakat di luar istana pada umumnya. Keistimewaan itu terutama dalam hal keindahan iluminasi, kaligrafi, desain, dan kelengkapan teksnya. Dari sejumlah naskah yang ada, dapat diasumsikan bahwa istana di Nusantara merupakan pusat produksi naskah dan kajian ilmu keagamaan.
Ragam Iluminasi dan Kaligrafi
Iluminasi adalah hiasan di sekitar teks yang berfungsi untuk memperterang (illuminate) suatu teks. Dalam bahasa Arab disebut tazhīb, karena iluminasi biasanya menggunakan emas. Terkait iluminasi mushaf Al-Qur’an, biasanya hiasan yang istimewa terdapat di halaman awal, tengah, dan akhir mushaf. Ini telah menjadi semacam konvensi penyalinan mushaf Nusantara, dan berlaku di hampir seluruh wilayah Nusantara, dari Aceh, Patani, Terengganu, Filipina Selatan, hingga Ternate. Nah, siapakah gerangan para seniman hebat penghias Al-Qur’an itu?
Sedikit agak jauh ke belakang, sebenarnya salah satu tantangan (jika bukan ‘persoalan’) dalam kajian mushaf Nusantara, adalah bahwa mushaf-mushaf di Nusantara – demikian pula naskah selain mushaf – kebanyakan tidak memiliki kolofon (yaitu catatan naskah, biasanya terdapat di bagian belakang, yang berisi tentang nama penyalin, waktu dan tempat penyalinan, atau informasi lainnya). Sedikitnya kolofon dalam mushaf-mushaf Nusantara menjadikan gambaran kesejarahan mushaf tidak begitu lengkap, misalnya menyangkut nama-nama penyalin, iluminator, atau pemrakarsanya. Keadaan ini agak berbeda dengan mushaf-mushaf tinggalan beberapa kesultanan besar Islam seperti Mamluk di Mesir, Usmaniyah di Turki, Syafawiyah di Persia, serta Moghul di India, yang kebanyakan memiliki kolofon lengkap, sehingga kesejarahan naskahnya, juga tokoh-tokohnya, dapat diketahui dan ditelusuri dengan lebih baik.
Di Nusantara, dari sekian banyak mushaf dengan iluminasi nan indah, sejauh pengkajian hingga kini, belum pernah ditemukan satu pun nama seniman penghias mushaf! Nama penyalin mushaf masih muncul dalam sebagian mushaf. Namun, entah mengapa, nama pelukis iluminasi mushaf tidak pernah muncul! Apakah mereka merasa “derajat”-nya lebih rendah dibandingkan dengan seorang kaligrafer, penyalin kalam Ilahi itu? Padahal, dalam sebuah mushaf indah, iluminasi dan kaligrafi menjadi suatu kesatuan yang tak terpisahkan!
Iluminasi dalam mushaf-mushaf Nusantara memiliki kekhasan tersendiri. Agak berbeda dengan iluminasi mushaf dari wilayah dunia Islam lainnya yang banyak menggunakan unsur-unsur geometris (selain unsur floral), iluminasi mushaf Nusantara pada umumnya floral dan hanya sedikit menggunakan pola geometris. Keterpesonaan kepada motif tetumbuhan itu menjadi gejala umum dalam mushaf Nusantara.
Pola iluminasi mushaf Nusantara sangat beragam. Karena wilayah Nusantara membentang sangat luas, masing-masing istana seakan-akan mengembangkan gaya iluminasi tersendiri untuk salinan mushafnya. Kesultanan Terengganu di pantai timur Semenanjung Malaysia mengembangkan gaya iluminasi floral dengan taburan emas yang mewah (Gambar 1, 2). Agaknya, mushaf-mushaf dari Kesultanan Terengganu inilah yang terkesan paling ‘glamor’, dengan penggarapan detail yang menawan. Terengganu juga mengembangkan pola-pola desain yang beragam, seperti tampak pada kedua mushaf itu. Kemewahan itu juga tampak dalam sebuah mushaf dari Kesultanan Bima (Gambar 3), yang berdasarkan iluminasi dan kaligrafinya diduga juga berasal dari Terengganu. Kesan mewah dengan taburan emas juga tampak pada mushaf dari negeri Melayu lainnya, yaitu Kesultanan Riau-Lingga (Gambar 4, 5).