Mushaf Standar Braille adalah salah satu varian Mushaf Standar Indonesia yang ditulis dengan simbol Braille dan telah dibakukan serta diperuntukkan bagi para tunanetra atau orang-orang yang mempunyai gangguan penglihatan (visually impaired people). Simbol/kode Braille terbentuk dari 6 titik timbul (six raised dots) yang tersusun dalam dua kolom berbentuk empat persegi panjang (rectangle) dan masing-masing kolom berisi 3 titik seperti susunan dalam kartu domino.
Susunan titik pada simbol Braille.
Kehadiran Mushaf Standar Braille tidak terlepas dari sejarah penyalinan mushaf Al-Qur’an Braille di Indonesia yang perkembangannya melewati beberapa fase, yaitu fase duplikasi, adaptasi dan standarisasi. Fase duplikasi dimulai setelah Supardi Abdushomad (w. 1975), seorang tunanetra asal Yogyakarta berhasil mengungkap sistem tulisan yang digunakan dalam Al-Qur’an Braille Yordan yang diterimanya dari seorang pegawai Departemen Sosial pada tahun 1963. Mushaf Braille pertama di dunia ini diperkirakan sudah ada di Indonesia sejak tahun 1954 ketika Lembaga Penerbitan dan Perpustakaan Braille Indonesia (LPPBI) yang bernaung di bawah Departemen Sosial dan berkedudukan di Bandung menerima kiriman Al-Qur’an Braille dari Unesco. Sejak saat itulah, Supardi bersama dengan para koleganya di bawah Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam (Yaketunis) mulai mengembangakan mushaf Braille dengan mengacu pada sistem yang digunakan dalam Mushaf Braille Yordan.
Fase selanjutnya adalah fase adaptasi yang menandai munculnya ragam penulisan Mushaf Braille di Indonesia. Berawal dari upaya kajian dan pengembangan yang terus dilakukan, selain tetap mengacu pada pola penulisan (rasm) imlai sebagaimana yang digunakan pada Mushaf Yordan, Yaketunis juga melakukan adaptasi sistem penulisan Mushaf Braille Pakistan yang telah mengenalkan penggunaan kode harakat isybaiyyah dan tanda waqaf. Di sisi lain, muncul pula upaya penyalinan mushaf Braille yang dilakukan oleh Yayasan Penyantun Wyata Guna (YPWG) Bandung. Berbeda dengan Yaketunis, YPWG melalui inisiatornya Abdullah Yatim Piatu menempuh cara agak berbeda dalam menyusun Mushaf Braille. Selain tetap mengacu pada sistem Braille yang telah dikembangkan oleh Yaketunis, Abdullah lebih memilih Mushaf Al-Qur’an cetak yang berkembang saat itu sebagai pedoman dalam penggunaan pola penulisan (rasm) dan penerapan tanda baca tajwid. Pada fase inilah mulai lahir dua versi Mushaf Braille di Indonesia yang perbedaan utamanya terletak pada rasm yang digunakan. Versi Yaketunis mengikuti rasm imlai sebagaimana yang digunakan dalam Mushaf Yordan dan Pakistan, sedangkan versi YPWG lebih memilih menggunakan rasm usmani seperti yang digunakan pada mushaf cetak saat itu.
Sejak dua versi mushaf Braille tersebut berkembang dan masing-masing mempunyai para pengguna setia, maka munculah polemik di kalangan tunanetra muslim. Kondisi tersebut dikuatirkan berpotensi mengancam ikatan persaudaraan dan membuat proses pengajaran Al-Qur’an Braille di kalangan tunanetra terganggu. Oleh karena itu, upaya untuk mencari titik temu (unifikasi) pun dilakukan melalui proses yang cukup panjang. Melalui Musyawarah Kerja (Muker) Ulama Ahli Al-Qur’an yang diselenggarakan oleh Departmen Agama selama 9 kali (1974-1983) serta melibatkan para ulama dan praktisi Al-Qur’an Braille akhirnya upaya penyatuan tersebut berhasil dilakukan. Setahun setelah Muker ke-9 selesai, Mushaf Standar Braille kemudian ditetapkan melalui Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 25 Tahun 1984 tentang Penetapan Mushaf Standar Indonesia. Disusul dengan lahirnya Instruksi Menteri Agama Nomor 07 Tahun 1984 tentang Penggunaan Mushaf Standar, maka sejak saat itulah seluruh penerbitan Mushaf Braille di Indonesia mengacu pada Mushaf Standar Braille.
Karakteristik Mushaf Standar Braille
Secara umum Mushaf Standar Braille mempunyai kesamaan dengan Mushaf Braille lainnya karena ditulis dengan simbol Arab Braille (Arabic Braille codes) hasil standarisasi yang dilakukan Unesco pada tahun 1951 di Beirut Lebanon. Hanya saja, dalam penerapan simbol-simbol Braille tersebut terdapat perbedaan. Misalnya dalam penggunaan rasm, Mushaf Standar Braille menggunakan rasm usmani, sedangkan mushaf Braille terbitan lainnya menggunakan rasm imlai. Bahkan bisa katakan bahwa Mushaf Standar Braille adalah satu-satunya mushaf Braille di dunia Islam yang telah menggunakan rasm usmani.
Meskipun demikian, penggunaan rasm usmani pada Mushaf Standar Braille tidak diterapkan secara utuh, melainkan dengan sejumlah pengecualian. Pengecualian dilakukan karena tidak semua penulisan berdasarkan kaidah rasm usmani bisa ditranskripkan ke dalam kode Braille, seperti penulisan nun kecil pada surah al-Anbiya’/21:88. Sistem Arab Braille tidak mengenal huruf kecil atau huruf besar, karena kode Braille yang digunakan berukuran sama.
Pengecualian juga berlaku pada kata-kata yang berpotensi menyulitkan bagi para pengguna jika ditulis dengan rasm usmani seperti kata-kata yang ditulis dengan kaidah badal, semisal kata ar-riba, as-salah atau az-zakah, sehingga keduanya tetap ditulis dengan rasm imlai.
Selain dalam penggunaan rasm, Mushaf Standar Braille memiliki karakteristik dalam penerapan tanda baca. Misalnya, Mushaf Standar Braille telah menggunakan harakat isybaiyyah, tanda mad, dan penggunaan tasydid secara ekstensif. Harakat isybaiyyah digunakan sebagai pengganti huruf alif yang dibuang (makhzuf) dan penanda mad sillah qasirah maupun tawilah pada ha’ damir. Tanda mad dipakai untuk menandakan hukum mad wajib, mad lazim dan mad jaiz. Tanda tasydid digunakan untuk menandakan hukum bacaan idgam dengan semua jenisnya. Selain itu, Mushaf Standar Braille juga menggunakan tanda waqaf seperti yang digunakan pada mushaf versi cetak yang berpedoman pada Mushaf Standar Usmani.
Mushaf Standar Braille Edisi Penyempurnaan
Sejak ditetapkan sebagai Mushaf Standar Indonesia melalui KMA No. 25 Tahun 1984, Mushaf Standar Braille belum pernah mengalami perubahan. Baru pada tahun 2010 muncul usulan dari sejumlah praktisi dan pengguna Mushaf Braille yang dipelopori oleh Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) untuk melakukan kajian ulang terhadap Mushaf Standar Braille. Usulan ini dilatarbelakangi adanya polemik yang masih terjadi di kalangan para praktisi dan pengguna Mushaf Braille. Atas dasar itulah Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMA) melakukan kajian atas Mushaf Standar Braille dengan melibatkan sejumlah kalangan, baik dari akademisi, lembaga percetakan, maupun para praktisi dan pengguna Mushaf Braille. Upaya ini telah melahirkan sebuah buku Pedoman Membaca dan Menulis Al-Qur’an Braille pada tahun 2011.
Buku Pedoman Membaca dan Menulis Al-Qur’an Braille, 2011.
Buku ini pada dasarnya merupakan hasil kesepakatan baru sekaligus bentuk revisi sejumlah kaidah penerapan rasm dan penggunaan tanda baca dalam Mushaf Standar Braille. Di antara perubahan yang cukup signifikan adalah terkait penggunaan tanda mad. Dalam kaidah penulisan Al-Qur’an Braille terbaru, tanda mad tidak lagi digunakan pada hukum bacaan mad jaiz, melainkan hanya digunakan pada bacaan mad lazim dan mad wajib. Setelah terbitnya Buku Pedoman ini, LPMA juga menyusun Al-Qur’an Braille dan Terjemahnya lengkap 30 juz yang selesai dikerjakan selama dua tahun (2012-2013). [Ahmad Jaeni]