Penyebaran Islam dan pengaruhnya terhadap batik di Nusantara

Penyebaran Islam melalui jalur maritim telah membawa pengaruh besar tidak hanya bagi perkembangan Islam di daerah pesisir pulau-pulau di Nusantara, namun juga perkembangan di sektor lainnya, semisal perniagaan kain batik.

Saudagar batik di pesisir utara Pulau Jawa umumnya adalah santri. Kontak budaya dengan bangsa lain memberikan wawasan lebih luas kepada para pengusaha ini. Mereka mengenal perkembangan teknologi cetak kain dari India (Gujarat) yang menggunakan media cetak tinggi, terbuat dari kayu. Mereka mengetahui proses pewarnaan tekstil yang banyak dikembangkan oleh bangsa muslim, seperti zat pemadu warna (mordant) untuk memperkuat ikatan warna pada serat, yang berasal dari Yaman. Mereka pun berhubungan dengan bangsa-bangsa muslim lain yang mengembangkan tekstil, seperti Cina Selatan, Koromandel, Mesir, Persia, dan Turki.

Peran pengusaha santri dalam perkembangan batik tidak diragukan lagi. Etos dagang santri yang kuat telah mendorong mereka lebih aktif, dinamis, dan inovatif dalam menjalankan usaha batik. Secara alami, faktor lingkungan pesisir juga membentuk budaya yang dinamis.

Etos dagang santri ternyata juga mempunyai pengaruh pada desain batik pesisiran. Hal ini terlihat antara lain pada penggunaan ragam hias seperti kaligrafi Arab, motif geometris, flora, pola diagonal, ceplok, pemandangan alam, alam benda, mitologi, tambal, dan sekarjagat.

Ragam hias kaligrafi Arab bisa berupa ayat Al-Qur’an, kalimat zikir, tasbih, takbir, tahmid, asma’ul husna, atau kalimat thayibah lainnya. Motif kaligrafi kadangkala berbentuk “Macan Ali”, “Pedang Ali” yang bercabang dua, burung atau binatang lain, serta monogram.

Batik “Asma’ul Husna”, koleksi BQMI.

Batik berkaligrafi Arab antara lain dipakai untuk ikat kepala, selendang, penutup jenazah, hiasan dinding, dan pataka. Kain yang dipenuhi dengan ragam hias kaligrafi Arab disebut kain besurek atau ‘kain bersurat’ yang terkenal di Jambi, Palembang, Minangkabau dan Bengkulu. Tetapi kain berkaligrafi Arab juga dibuat di Cirebon, yang dikenal sebagai pusat kerajaan Islam tertua di Jawa Barat. Kain yang dijadikan ikat kepala seringkali dihiasi dengan kalimat tauhid dipadu dengan rajah dan isim. Meski dibuat di Cirebon, ikat kepala ini ternyata banyak dipasarkan di Aceh dan Bugis.

Peci kain atau “destar kain besurek” ini dipakai oleh pengantin pria pada upacara perkawinan adat Bengkulu. Koleksi BQMI.

Selain kaligrafi Arab, alam benda juga menjadi ragam hias. Alam benda yang menarik untuk dijadikan ragam hias antara lain kapal atau perahu. Pada zaman dahulu, bahkan sampai sekarang, perahu adalah wahana laut yang sangat penting, menghubungkan suatu pulau dengan pulau lain. Karena itu, beragam jenis kapal pun menjadi motif hias batik yang populer, seperti kapal kandas, kapal keruk, kapal angkut, dan lain-lain.[Ida]

Batik dengan ragam hias “kapal sanggat” khas Jambi. (http://fitinline.com/article/read/batik-jambi)

Kontak

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an
Gedung Bayt Al-Qur`an & Museum Istiqlal
Jalan Raya TMII Pintu I Jakarta Timur 13560
Telp: (021) 8416468 - 8416466
Faks: (021) 8416468
Web: lajnah.kemenag.go.id
Email: lajnah@kemenag.go.id
© 2023 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an. All Rights Reserved