Al-Qur'an telah menyatakan dirinya sebagai hudan lin-nās (petunjuk bagi seluruh manusia), yang dapat menuntun umat manusia menuju ke jalan yang benar. Selain itu ia juga berfungsi sebagai pemberi penjelasan (tibyan) terhadap segala sesuatu dan pembeda (furqan) antara kebenaran dan kebatilan.
Sebagai kitab suci agama Islam, perhatian umat Islam terhadap pemeliharaan dan pemasyarakatan bacaan dan pemahaman Al-Qur’an telah dilakukan semenjak zaman Rasulullah. Setiap wahyu diturunkan, Nabi selalu mengajarkannya kepada sahabat dan menyuruh mereka untuk menuliskannya. Usaha Nabi ini dilanjutkan pada masa sahabat melalui pengumpulan dan kodifikasi Al-Qur’an, sehingga Al-Qur’an tidak hanya terpelihara dalam hafalan para sahabat, namun juga telah terjaga dalam bentuk mushaf tertulis.
Berkembangnya tafsir Al-Qur’an dengan berbagai macam corak disusul dengan munculnya percetakan Al-Qur’an dan terjemahan ke dalam bahasa lain selain bahasa Arab. Hal itu merupakan cerminan besarnya girah umat Islam dunia dalam menjaga dan memasyarakatkan kitab sucinya sebagai salah satu upaya dalam memahami dan mendalami ajaran Islam yang tertuang di dalam Al-Qur’an.
Usaha pemerintah dan perorangan dalam memasyarakatkan Al-Qur’an
Pemeliharaan atas kesucian dan kemurnian Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam pada hakikatnya merupakan kewajiban segenap umat Islam di seluruh dunia, baik individu maupun kolektif. Allah berfirman bahwa Dia-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan memeliharanya. “انا نحن نزلنا الذكر وانا له لحافظون (Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya)” (al-Hijr/15: 9). Penggunaan kata “Kami” dalam ayat di atas, menurut sebagian ulama mengindikasikan harus adanya keterlibatan manusia dalam menjaga Al-Qur’an.
Pemerintah dan umat Islam Indonesia menaruh perhatian yang besar terhadap upaya pemeliharaan Al-Qur’an melalui berbagai usaha, antara lain: melalui pembentukan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tim penerjemahan Al-Qur’an dan penulisan tafsirnya, lembaga pendidikan dan pengajaran Al-Qur’an, dan penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Qur’an.
Sejak Islam masuk ke Indonesia, jauh sebelum Indonesia merdeka telah dijumpai naskah-naskah Al-Qur’an yang ditulis (disalin) oleh masyarakat Nusantara sendiri, maupun yang dibawa oleh juru dakwah yang datang dari negara lain. Dari penelitian yang dilakukan oleh Badan Litbang dan Diklat terdapat sekitar 251 naskah Al-Qur’an kuno yang tersimpan, baik di museum-museum daerah maupun pada perorangan. Hal tersebut juga menjadi bukti bahwa Al-Qur’an akan tetap terpelihara, baik melalui hafalan para huffaz ataupun melalui upaya penulisan kembali (penyalinan) yang dilakukan secara terus-menerus tanpa henti sampai sekarang.
Untuk menjaga berbagai kesalahan dan kekurangan dalam penulisan Al-Qur’an tersebut, pemerintah Indonesia membentuk satu lembaga yang bertugas untuk mentashih setiap mushaf Al-Qur’an yang akan dicetak dan diedarkan kepada masyarakat di Indonesia. Lembaga tersebut diberi nama Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, yang bertugas mengkoreksi Al-Quran cetak dan elektronik dan melakukan kajian-kajian yang berkaitan dengan Al-Qur’an. Selain itu sebagai bentuk kecintaan terhadap kitab suci, pemerintah juga mendirikan Gedung Bayt Al-Qur’an yang berisikan koleksi Al-Qur’an, mulai dari Al-Qur’an kuno sampai Al-Qur’an yang ditulis dan dicetak dewasa ini.
Usaha pemeliharaan kemurnian Al-Qur’an juga diimbangi dengan usaha memasyarakatkan Al-Qur’an melalui lembaga-lembaga pendidikan Al-Qur’an. Di Indonesia banyak berdiri lembaga-lembaga pendidikan Al-Qur’an yang didirikan baik oleh perorangan maupun kolektif. Tidak hanya itu, dewasa ini juga banyak bermunculan lembaga-lembaga atau pesantren tahfiz. Pesantren ini melahirkan para huffaz yang keberadaan mereka sangat dibutuhkan masyarakat. Dalam menyemarakkan kesukaan membaca Al-Qur’an, pemerintah Indonesia juga membentuk Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ). Lembaga ini menyelenggarakan Musabaqah Tilawatil Al-Qur’an (MTQ) dan STQ (Seleksi Tilawatil Qur’an) setiap tahun yang diikuti oleh perwakilan dari seluruh provinsi di Indonesia.
Penerbitan Al-Qur’an yang bervariasi juga merupakan salah satu sumbangan umat Islam Indonesia dalam menyebarkan Al-Qur’an. Di Indonesia, dalam konteks memudahkan membaca Al-Qur’an secara benar sesuai dengan tuntunan ilmu tajwid, lahirlah mushaf-mushaf yang diberi warna dengan tanda baca yang benar. Al-Qur’an tidak hanya dalam bentuk mushaf saja, namun juga ada dalam bentuk kaset, CD, bahkan alat-alat elektronik seperti handphone juga telah banyak yang memuat aplikasi Al-Qur’an.
Untuk memberikan pemahaman terhadap kandungan Al-Qur’an, para ulama secara perorangan selain mengajarkan Al-Qur’an kepada umat melalui lembaga pendidikan, juga berupaya menerjemahkan atau menafsirkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa-bahasa lokal (daerah), seperti terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Aceh, bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Mandar, bahasa Madura, dan bahasa-bahasa daerah lainnya. Para ulama yang ahli di bidang Al-Qur’an juga berusaha menghadirkan tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Indonesia untuk membantu pemahaman umat terhadap Al-Qur’an sehingga di Indonesia banyak bermunculan produk tafsir yang dikarang oleh ulama Indonesia sendiri. Kemunculan tafsir dalam bahasa Indonesia ini untuk melengkapi produk-produk tafsir yang telah beredar sebelumnya dalam bahasa Arab.
Selain berupa usaha perorangan, pemerintah Indonesia juga sangat menaruh perhatian terhadap penyusunan terjemahaan dan tafsir Al-Qur’an. Sekarang ini, pemerintah melalui Kementerian Agama telah menerbitkan terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Indonesia. Dalam penyusunannya ada beberapa kata yang diterjemahkan secara harfiah dan sebagian lagi ditafsirkan, mengingat tidak semua kata-kata dalam Al-Qur’an dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia karena karakter bahasa Al-Qur’an yang khas.
Satu hal yang patut disadari, persoalan agama bukan hanya pada otentisitas atau kemurnian teks-teks keagamaan, tetapi pada pemahaman yang baik dan benar. Keaslian dan kemurnian teks Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber ajaran tidak diragukan lagi. Sejarah telah membuktikannya. Tetapi khazanah intelektual Islam menyodorkan fakta sekian banyak perbedaan menyangkut pemahaman teks-teks tersebut. Sifat Al-Qur’an yang dinyatakan banyak pakar sebagai hammâlatu awjuh mengandung kemungkinan ragam interpretasi, semuanya dapat dimungkinkan dan dibenarkan selama berpegang pada prinsip-prinsip kebahasaan dan syari`at Islam. Dari sini kita dapat berkata, titik krusial dalam tek-teks keagamaan adalah pada penafsirannya, terutama yang terkait dengan pola hubungan antara lafal dan makna.
Oleh karena itulah, pemerintah Indonesia selain menerbitkan terjemah Al-Qur’an dalam bahasa Indonesia, juga melalui Kementerian Agama menaruh perhatian yang sangat besar terhadap keberadaan tafsir Al-Qur’an dengan mengusahakan penyusunan tafsir Al-Qur’an, baik yang berbentuk tafsir tahlili maupun tafsir tematik. Keberadaan tafsir tematik diharapkan dapat memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat dengan pendekatan Al-Qur`an. Melalui tafsir tersebut diharapkan dapat menghadirkan Al-Qur`an untuk berdialog bersama umat tentang berbagai persoalan. Untuk melengkapi pemahaman umat, juga disusun tafsir ayat kauniah, sebuah tafsir yang mencoba menguak dan menjelaskan sisi ilmiah ayat-ayat Al-Qur’an.
Usaha penerjemahan atau penafsiran Al-Qur’an, baik oleh Kementerian Agama, oleh pemerintah daerah, maupun oleh lembaga lain ataupun perorangan, selain ikut berperan dalam menjaga kemurnian dan kesucian Al-Qur’an, juga turut berperan dalam meningkatkan pemahaman dan pengetahuan umat terhadap kandungan Al-Qur’an. Usaha-usahatersebut memberikan gambaran bahwa bangsa Indonesia, khususnya umat Islam bersama-sama pemerintah, telah berupaya untuk melestarikan Al-Qur’an dan menjaganya secara terus-menerus dengan berbagai cara, sehingga kemurnian dan kesucian Al-Qur’an tetap terpelihara sepanjang masa, khususnya di tanah air Indonesia ini.