Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata terjemah berarti menyalin atau memindahkan suatu bahasa ke bahasa lain. Dalam definisi tersebut setidaknya ada dua unsur utama yang harus diperhatikan dalam menerjemah yaitu bahasa sumber dan bahasa sasaran. Dalam konteks penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia yang berposisi sebagai bahasa sumber adalah bahasa Arab, sedangkan bahasa Indonesia menduduki posisi sebagai bahasa sasaran.
Dari kedua unsur tersebut muncullah sebuah persoalan, apakah sebuah kata atau ungkapan dalam bahasa sumber memiliki padanan kata atau ungkapan yang kandungan maknanya sepadan dalam bahasa sasaran? Seorang pakar bahasa bernama as-Sairafi pernah mengatakan bahwa setiap bahasa tidak mungkin dapat dipersamakan dengan bahasa lain dari segala aspeknya: sifat susunan, bentuk metafora, kosakata, kata kerja dan lainnya. Ragam perbedaan bahasa-bahasa manusia menjadi problem utama dalam penerjemahan, sehingga seorang ulama bernama al-Jahiz menyatakan, sebuah terjemahan tidak mungkin dapat menjangkau seluruh makna yang dimaksud oleh pengucap dalam berbagai aspeknya; kekhasan makna, arah pembicaraan, dan pesan-pesan yang tersembunyi di dalamnya.
Prolematika itu menjadi semakin rumit manakala yang diterjemahkan adalah teks ayat-ayat suci Al-Qur’an. Sebagai sebuah ilustrasi, bila seorang penerjemah sering kali kesulitan menangkap ruh atau spirit teks susastra karya manusia seperti syair, sajak, atau puisi untuk dituangkan ke dalam bahasa sasaran, lalu bagaimana dengan penerjemahan Al-Qur’an: sebuah kitab suci yang bukan karya atau kreasi manusia, tetapi kalam Allah yang memiliki kekhasan gramatika bahasa dan kedalaman makna yang tidak terbatas? Tentu saja, hal itu, menambah lagi beban tugas seorang penerjemah Al-Qur’an.
Oleh sebab itu, dari semula harus dimaklumi bahwa terjemahan tidak sepenuhnya mewakili makna teks sumber, akan tetapi lebih merupakan pemahaman atau pilihan terhadap sebagian maknanya yang dituangkan ke dalam bahasa sasaran. Selain itu, dalam proses penerjemahan, seorang penerjemah selalu dihadapkan pada keadaan di mana ia harus memilih satu atau dua kata yang sepadan dari bahasa sasaran, yang mana kesapadanan makna antar bahasa adalah sesuatu yang sulit (untuk tidak mengatakan ‘tidak mungkin’ seperti pendapat al-Sairafi). Sehingga, selalu saja ada keterbatasan dalam penerjemahan Al-Qur’an, sesempurna apapun hasil terjemahan itu. Wadah bahasa Indonesia, sebagai bahasa sasaran, tidak cukup menampung makna dari setiap istilah, kosakata, kalimat, terlebih ruh yang dikehendaki Al-Qur’an. Maka, sedari awal juga harus dimaklumi, bahwa terjemahan Al-Qur’an, sama sekali tidak bermaksud mengangkut seluruh makna dari Al-Qur’an, baik makna dasar maupun makna turunannya. Diantara problem yang muncul dalam terjemah Al-Qur’an Kemenag edisi tahun 2019 adalah padanan makna, contohnya pada surah al-Qalam;
نۤ ۚوَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُوْنَۙ
“Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan,” (Al-Qalam: 1)
Dalam ayat ini kata يسطرون diterjemahkan dengan “yang mereka tuliskan.” Bila merujuk pada Raghib al-Ashfahani makna kata سطر adalah الصف من الكتابة yaitu “menulis barisan kata” bukan sekadar “menulis”. Dalam Bahasa Indonesia tidak ada satu kata yang kandungan maknanya sepadan dengan kandungan makna kata سطر. Jika ditelusuri, dalam hasil terjemahan Al-Quran 30 Juz, barang kali kita akan temukan banyak lagi ketidak-sepadanan dalam penerjemahan kata perkata dari bahasa Al-Qur’an ke dalam Bahasa Indonesia. Posisi penerjemah dalam hal ini sekadar mengupayakan dengan sungguh-sungguh memilihkan satu padanan kata yang paling mewakili makna teks dari Bahasa sumber.
Hal seperti ini bukanlah suatu kesalahan, tetapi harus dimakumi bersama, bahwa terjemahan Al-Qur’an, seringkali hanyalah pilihan terhadap sebagian makna Al-Qur’an, sama sekali tidak bermaksud mengusung seluruh kandungan makna Al-Qur’an. (BP)