Prof. Mahmud Yunus dan Tafsir Al-Qur’an Al-Karim

Nagari Sungayang Tanah Datar dikenal memiliki tradisi ilmiah yang kuat. Hal demikian—sejak kaum muslimin pertama datang ke Nusantara—telah mendarah daging dan terasa denyut nadinya di kehidupan masyarakat Minangkabau. Sehingga wajar jika kemudian sering muncul polemik ilmiah untuk menjawab persoalan-persoalan realitas pada zamannya.

Mahmud Yunus adalah salah satu tokoh yang terlahir dari tradisi ilmiah Nagari Sungayang tersebut. Namanya telah melegenda, berkat Kamus Indonesia-Arab buah karya tangannya yang telah menjadi pegangan bagi mayoritas kaum muslimin terpelajar di Indonesia. Tidak hanya di bidang bahasa, Mahmud Yunus pun mengikuti tren dan memiliki kiprah bagi kemajuan sistem pendidikan dan keilmuan seperti literatur-literatur ilmiah yang sempat ia tulis. Pengetahuan luas dan ensiklopedik yang dimilikinya telah melahirkan karya-karya bermutu. Khusus di bidang tafsir Al-Qur’an, Mahmud Yunus menulis tidak kurang dari 15 judul karya tulis. Dengan kata lain, Mahmud Yunus dikenal sebagai intelektual multitalenta, sebagai mufasir, pelopor pembaharuan dalam bidang pendidikan seperti metode pengajaran dan pendidikan, serta pembaharuan sistem kelembagaan dan pengenalan pengetahuan umum sekaligus pengajaran bahasa Arab. Ia juga berjasa ketika memasukkan pelajaran agama ke dalam kurikulum sekolah pemerintah. Semasa hidupnya, Mahmud Yunus turut membentuk lembaga-lembaga pendidikan, seperti berdirinya Madrasah School, Normal Islam, PGAI, SMI, dan rintisan berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI).

Mahmud Yunus lahir pada 10 Pebruari 1899 di desa Sungayang, Batu Sangkar, Sumatera Barat. Ibunya bernama Hafshah dan ayahnya bernama Yunus bin Incek. Ayahnya bermarga Mandailing dan ibunya dari suku Caniago. Sejak kecil, Mahmud Yunus mendapat pendidikan agama langsung dari keluarganya, terutama dari kedua orang tuanya.

Mahmud Yunus sudah memperlihatkan kecenderungan yang kuat dalam belajar sejak dini. Ketika berusia 7 tahun, ia mulai belajar membaca Al-Qur’an dengan kekeknya, M. Thahir atau terkenal dengan nama panggilan Engku Gadang. Pada 1908, ia meminta restu kepada ibunya untuk belajar di sekolah yang baru dibuka di desa Sungayang. Sehingga pada setiap siang hari, ia belajar di sekolah dan malam harinya mengaji kepada kakeknya.

Pada 1910, Mahmud Yunus menjadi murid di Madrasah School di bawah asuhan H. M. Thalib Umar. Di Madrasah School ini, Mahmud Yunus khusus mempelajari ilmu-ilmu alat, seperti nahwu dan sharaf, berhitung menggunakan sistem hisab Arab, dan mempraktikkan percakapan bahasa Arab.

Pada 1924, Mahmud Yunus mendapat prestasi istimewa dari Universitas Al-Azhar, Mesir. Ia berhasil mengikuti uji kemampuan dalam ilmu-ilmu agama guna memperoleh syahadah ‘alimiyah, ujian akhir bagi siswi-siswa yang telah melampaui jenjang pendidikan dasar (ibtidaiyyah, tsanawiyah, dan aliyyah). Ujian tersebut diikuti dengan baik olehnya sehingga berhasil lulus serta mendapatkan ijazah. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Darul ‘Ulum ‘Ulya, masih di Mesir, pada 1925. Di sini pula, ia mempelajari ilmu pengetahuan umum. Di Darul ‘Ulum ‘Ulya, Mahmud Yunus meraih nilai tertinggi pada mata kuliah Insya (mengarang) yang membawa peran dan kiprahnya di kemudian hari. Mahmud Yunus sangat produktif dalam menghasilkan karya. Karya-karyanya di antaranya adalah tentang pendidikan, bahasa Arab, fiqih, tafsir, akhlak, sejarah Islam, dan sebagainya.

Pada awal 1970, kesehatan Mahmud Yunus mulai menurun. Ia bolak-balik masuk rumah sakit. Dan, pada 1982, Mahmud Yunus memperoleh gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu Tarbiyah di IAIN Jakarta hingga wafatnya di tahun yang sama.

Tafsir Al-Quran Al-Karim karya Mahmud Yunus menggunakan metode taḥlīlī. Metode menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkadung di dalamnya, urutannya disesuaikan dengan tertib surat pada mushaf Ustmani. Adapun corak penafsirannya bermula dari mengutip beberapa kosakata sebagai kata kunci dari ayat-ayat Al-Qur’an secara linguistik.

Di samping itu, Mahmud Yunus cenderung menggunakan model bi ar-riwayah, tafsir dengan riwayat atau disebut juga dengan tafsir bi al-manqul. Sebagaimana dalam menyingkap ayat-ayat Al-Qur’an surah al-Fath ayat 10; surat Ali-‘Imran ayat 26 dan 73; masing-masing ayat tersebut membawa pada pemahaman antropomorpisme. Mahmud Yunus mengartikan kata “yad” seperti tangan manusia, memaknai teks Al-Qur’an secara harfiah. Penafsiran ini didasarkan pada riwayah yang mengatakan: ayat ini turun ketika orang-orang bersetia kepada Nabi Muhammad, berjabat tangan dengan Nabi Muhammad, dan mengumpamakan tangan Nabi Muhammad sebagai tangan Allah, seperti yang diungkap Mahmud Yunus dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Karim. Dengan demikian, penafsiran ini menunjukkan pula model bi ar-riwayah. (Moest&Sakdul)

Kontak

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an
Gedung Bayt Al-Qur`an & Museum Istiqlal
Jalan Raya TMII Pintu I Jakarta Timur 13560
Telp: (021) 8416468 - 8416466
Faks: (021) 8416468
Web: lajnah.kemenag.go.id
Email: lajnah@kemenag.go.id
© 2023 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an. All Rights Reserved