Al-Qur’an diturunkan sebagai kitab suci umat Islam. Kandungan ayat-ayatnya menjadi petunjuk dan pedoman bagi manusia. Umat Islam di seluruh penjuru dunia mempunyai kewajiban untuk memelihara dan menjaga kesuciannya. Banyak cara yang telah dilakukan umat Islam dalam rangka menjaga Al-Qur’an—salah satunya adalah dengan cara menghafal. Di Indonesia, lembaga-lembaga tahfizul Qur’an tersebar di berbagai daerah, di antaranya Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara.
Meski keberadaan pesantren tahfiz telah banyak dikenal masyarakat, namun kajian terhadap perkembangan lembaga, sanad, jumlah, metode tahfiz yang diterapkan, serta bidang kajian terkait, belum banyak dikaji. Oleh karena itu, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, selaku institusi pemerintah yang mengemban misi peningkatkan kualitas pentashihan dan pengkajian mushaf Al-Qur’an, melakukan serangkaian penelitian terhadap 41 lembaga tahfiz di Indonesia.
Dari hasil penelitian yang dibukukan dalam Memelihara Kemurnian Al-Qur’an: Profil Lembaga Tahfidz Al-Qur’an di Nusantara(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2011), ditemukan beberapa kesamaan yang menjadi ciri khas. Pertama, dilihat dari sisi kelembagaan. Lembaga tahfizul Qur’an yang diteliti pada umumnya berbentuk pesantren yang pengelolaannya sebagian besar dilakukan oleh keluarga dengan kyai sebagai pengasuh utama. Namun ada juga lembaga yang merupakan bagian dari pesantren salafiyah seperti PTIQ dan IIQ yang dikelola oleh badan yang berbentuk yayasan. Pembelajaran yang dilakukan, umumnya hanya melakukan tahfizul Qur’an, namun ada di antara pesantren ini yang menerapkan program wajib belajar sebagai tambahan; pesantren biasanya diikuti oleh tidak lebih dari 200 santri, kecuali PTIQ dan IIQ; sebagian besar lembaga/pesantren tahfizul Qur’an, khususnya yang dikelola oleh keluarga, belum semuanya teridentifikasi. Pesantren pada umumnya memiliki latar belakang pendirian yang hampir sama, yaitu mengembangkan pembelajaran tahfizul Qur’an dalam rangka mencetak generasi Qur’ani.
Kedua, yaitu sanad atau jaringan/silsilah seorang hafiz yang diurutkan dari Nabi saw sampai guru tahfiz yang ada. Dari penelitian yang dilakukan di Jawa, Madura, dan Bali, ditemukan lima sanad bersumber dari Mekah. Mereka adalah KH. Muhammad Sa’id bin Ismail, Sampang, Madura; KH. Munawwar, Sidayu, Gresik; KH. Muhammad Mahfuz at-Tarmasi, Termas, Pacitan; KH. Muhammad Munawwir, Krapyak Yogyakarta; dan KH. M. Dahlan Khalil, Rejoso, Jombang.
Ketiga, yaitu metode atau cara yang ditempuh oleh lembaga tahfiz. Ada dua cara, yaitu bin-nazar (dengan melihat) dan bil-gaib (dengan menghafal). Selain itu juga ada istilah-istilah lain yang lazim digunakan dan merupakan bagian dari cara atau metode dalam proses tahfiz, meliputi: nyetor, muraja’ah, mudarasah, sima’an, takraran (takrir), talaqqi, musyafahah, bin-nazar, bil-gaib.
Keempat, yaitu kurikulum yang diterapkan. Pada umumnya pembelajaran hanya dikhususkan untuk tahfiz. Program lain biasanya dilakukan setelah santri benar-benar menguasai Al-Qur’an bil-gaib. Namun, ada sebagian pesantren/lembaga tahfiz yang melakukan program tahfiz berbarengan dengan program pembelajaran ilmu lainnya, antara lain ulumul Qur’an (qira’ah, tajwid, dll.), nahwu/saraf, akhlak/tasawuf, dan tafsir.[]
Sumber : Memelihara Kemurnian Al-Qur’an: Profil Lembaga Tahfidz Al-Qur’an di Nusantara,
Jakarta: Lajnah Pentashihan Muhaf Al-Qur’an, 2011.