Para mufasir sepakat memasukkan surah al-Buruj ke dalam kategori Makiyah. Hal ini dinyatakan, misalnya, oleh al-Bagawi, Ibnu ‘Atiyyah, ar-Razi, al-Qurtubi, al-Khazin, Ibnu Kasir, dan as-Suyuti. Surah yang terdiri atas 22 ayat berdasarkan kesepakatan para ulama ini menempati urutan turun ke-27, yakni setelah surah asy-Syams dan sebelum surah at-Tin. Tidak dijumpai riwayat yang menjelaskan latar belakang turunnya surah ini.
Surah ini berisi permisalan orang-orang yang menyiksa kaum mukmin di Mekah bagaikan kaum pada zaman dahulu yang menceburkan kaum mukmin ke dalam parit berapi. Tujuannya adalah mengajak kaum mukmin Mekah bersabar menghadapi cobaan yang mereka terima. Dengan permisalan tersebut, Allah hendak mengisyaratkan betapa Dia Mahakuasa. Dia akan menimpakan azab kepada kaum musyrik dan menganugerahkan nikmat yang abadi dan kemenangan kepada kaum mukmin. Pada surah ini pula disebutkan akhir kisah kaum Samud dan kaum Firaun agar menjadi peringatan bagi kaum musyrik Mekah yang menyiksa kaum mukmin.
Al-Buruj adalah kata yang terpilih menjadi nama bagi surah yang menempati urutan ke-85 dalam susunan mushaf Al-Qur’an. Nama ini digunakan baik oleh Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia maupun sejumlah mushaf Al-Qur’an dari luar negeri, seperti Libya, Maroko, Tunisia, Mesir, dan Saudi Arabia. Kebanyakan kitab tafsir dan hadis menggunakan nama ini untuk surah tersebut. Berbeda dari para pakar tafsir lainnya, as-Sa‘alibi dalam tafsirnya menamai surah ini was-Sama’i zatil-Buruj, sama persis dengan keseluruhan redaksi ayat pertamanya.
Nama al-Buruj bagi surah ini diambil dari kata terakhir pada ayat pertamanya. Al-Buruj adalah bentuk jamak dari al-burj. Makna aslinya adalah ‘sesuatu yang tidak terhalang’. Dengan demikian, apa saja yang tampak jelas dan tinggi disebut burj. Kata burj terambil dari kata kerja baraja-yabruju. Lalu, kata ini digunakan untuk menyebut semua bangunan yang besar dan tinggi sehingga istana yang megah dan benteng yang kukuh disebut burj.
Menurut al-Mawardi, ada empat penafsiran para ulama tentang al-buruj. Pertama, bintang-bintang (an-nujum), seperti dikemukakan oleh al-Hasan, Mujahid, Qatadah, dan aḍ-Ḍahhak. Kedua, istana-istana (al-quṣur), seperti penafsiran Ibnu ‘Abbas. Ketiga, penciptaan yang baik (al-khalq al-hasan), seperti penafsiran al-Minhal bin ‘Amr. Keempat, tempat-tempat (al-manazil) bagi matahari dan bulan yang berjumlah dua belas, seperti dikemukakan oleh Yahya bin Salam.
Berbeda dari al-Mawardi, az-Zuhaili yang hidup pada masa yang lebih terkini cenderung pada dua makna yang diyakininya lebih sesuai dengan konteks ayat. Kedua makna ini didasarkan atas pengertian linguistik bahwa kata buruj bisa berarti ‘benteng’, ‘istana yang tinggi’, atau ‘tempat yang merupakan gugusan bintang’. Semuanya disebut buruj karena ketampakannya yang sangat jelas. Pertama, tempat-tempat planet (gugusan) yang berjumlah dua belas: enam di utara khatulistiwa, yakni Libra (al-mizan), Scorpio (al-‘aqrab), Sagitarius (al-qaus), Capricorn (al-jady), Aquarius (al-dalw), dan Pisces (al-hut); dan enam di selatan khatulistiwa, yaitu Aries (al-haml), Taurus (as-saur), Gemini (al-jauza’), Cancer (as-saratan), Leo (al-asad), dan Virgo (as-sunbulah). Maka, sumpah Allah Swt. demi langit yang memiliki ‘gugusan bintang’ menunjukkan betapa besarnya pengaruh gugusan-gugusan itu terhadap perubahan di Bumi. Kedua, bintang-bintang besar yang jumlahnya tidak diketahui manusia. Maka, sumpah Allah Swt. demi langit yang memiliki ‘bintang-bintang besar’ mengisyaratkan kebesaran dan keagungan Sang Pencipta.
Kata buruj atau al-buruj diulang sebanyak empat kali dalam Al-Qur’an. Tiga di antaranya, yaitu dalam surah al-Hijr/15: 16, al-Furqan/25: 61, dan al-Buruj/85: 1, berbicara mengenai eksistensi gugusan bintang di langit. Adapun kata buruj dalam surah an-Nisa’/4: 78 memiliki makna yang berbeda, yaitu ‘benteng yang kukuh’. Allah berfirman, “Di mana pun kamu berada, kematian akan mendatangimu, meskipun kamu berada dalam benteng yang kukuh ...”
Penamaan surah ke-85 dengan al-Buruj tidak disandarkan pada hadis Nabi. Al-Buruj pun bukanlah nama yang paling sering digunakan oleh para sahabat dan tabiin. Pada masa itu, surah ini biasa dinamai sesuai dengan kalimat pertamanya, (w)as-Sama’i zatil-Buruj, dengan atau tanpa prefiks waw qasam. Berikut ini beberapa riwayat yang menunjukkan hal tersebut.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: ... وَكَانَ أَوَّلُ مَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ: اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ ثُمَّ ن وَالْقَلَمِ... ثُمَّ وَالسَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوْجِ ... (رواه ابن الضريس)
“Ibnu ‘Abbas berkata, ‘... Surah-surah yang diturunkan di Mekah (secara berurutan) adalah Iqra’ bismi Rabbikal-lazi Khalaq, lalu Nun wal-Qalam, ... lalu was-Sama’i zatil-Buruj ...’” (Riwayat Ibnu aḍ-Ḍurais)
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ، وَالسَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوجِ، وَنَحْوِهِمَا مِنَ السُّوَرِ. (رواه أبو داود والترمذي والنسائي)
“Jabir bin Samurah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. dalam salat Zuhur dan Asar membaca surah as-Sama’i wat-Tariq, as-Sama’i zatil-Buruj, dan semisalnya.” (Riwayat Abu Dawud, at-Tirmizi, dan an-Nasa’i)
عَنْ عِكْرِمَةَ وَالْحَسَنِ قَالَا: أَنْزَلَ اللهُ مِنَ الْقُرْآنِ بِمَكَّةَ اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ وَن وَالْقَلَمِ ... وَالسَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوْجِ ... (رواه البيهقي)
“‘Ikrimah dan al-Hasan (al-Baṣri) berkata, ‘Allah menurunkan di Mekah sejumlah surah Al-Qur’an, yaitu Iqra’ bismi Rabbikal-lazi Khalaq, Nun wal-Qalam, ... as-Sama’i zatil-Buruj, ...’” (Riwayat al-Baihaqi)
Terkadang, surah ini disebut oleh para sahabat sebagai surah as-Sama’, atau bersama surah at-Tariq disebut sebagai as-Samawat—karena sama-sama diawali dengan kata as-sama’. Dalam dua hadis berikut disebutkan,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ بِالسَّمَاءِ، يَعْنِي ذَاتِ الْبُرُوجِ، وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ. (رواه أحمد)
“Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. dalam salat Isya’ membaca surah as-Sama’—yakni: zatil-Buruj—dan as-Sama’i wat-Tariq.” (Riwayat Ahmad)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ أَنْ يُقْرَأَ بِالسَّمَاوَاتِ فِي الْعِشَاءِ. (رواه أحمد)
“Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. menganjurkan (para sahabatnya) untuk membaca surah as-Samawat (yakni: as-Sama’i zatil-Buruj dan as-Sama’i wat-Tariq) dalam salat Isya’.” (Riwayat Ahmad)
Penyebutan surah ini dengan nama al-Buruj muncul dalam sebuah riwayat daif dari az-Zuhri, seorang pakar hadis yang masuk kategori tabiin junior (ṣigar at-tabi‘in).
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ الزُّهْرِيِّ قَالَ: ... فَأَوَّلُ مَا أَنْزَلَ اللهُ بِمَكَّةَ اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ ثُمَّ سُوْرَةُ نُوْن ... ثُمَّ سُوْرَةُ الْبُرُوْجِ ...
“Muhammad bin Muslim az-Zuhri berkata, ‘... Surah-surah yang pertama-tama diturunkan di Mekah (secara berurutan) adalah Iqra’ bismi Rabbikal-lazi Khalaq, lalu surah Nun, ... lalu surah al-Buruj ...’”
Riwayat-riwayat di atas, apabila diurutkan secara kronologis, menunjukkan adanya pergeseran penamaan surah ini. Apabila surah ini pada era sahabat hingga tabiin senior biasa disebut (w)as-Sama’i zatil-Buruj atau as-Sama’, pada era tabiin junior mulai muncul ide untuk menyederhanakan namanya menjadi al-Buruj saja. Dengan demikian, labelisasi surah ini dengan al-Buruj, sebagaimana dijumpai dalam banyak mushaf, kitab tafsir, dan kitab hadis, bersifat ijtihadi seperti halnya penamaannya dengan (w)as-Sama’i zatil-Buruj dan as-Sama’. Ijtihad yang terakhir ini tidaklah berarti memunculkan nama yang sama sekali baru, melainkan tetap menempatkan nama yang sudah masyhur pada era sahabat dan tabiin sebagai rujukan. Jadi, nama al-Buruj sejatinya hanyalah penyederhanaan dari (w)as-Sama’i zatil-Buruj. [Muhammad Fatichuddin]