Surah al-Kafirun, yang terdiri atas enam ayat, diturunkan sebelum hijrah Nabi ke Madinah. Surah yang menempati urutan turun ke-18 ini, menurut al-Wahidi dan aṭ-Ṭabari, dilatari turunnya oleh ajakan sejumlah pemuka kaum kafir Mekah kepada Nabi untuk bertukar sembahan selama satu tahun. Tujuannya adalah agar kedua pihak sama-sama pernah merasakan penyembahan terhadap tuhan pihak lainnya. Dalam pandangan kaum kafir, tidak peduli tuhan siapakah yang benar, pertukaran tersebut akan memberi kesempatan bagi tiap pihak untuk setidaknya pernah merasakan berada di jalan yang benar (al-Wahidi, 1412 H.: 467). Terlepas dari kualitas sanad riwayat ini, sesungguhnya surah ini berisi penegasan kepada kaum kafir bahwa Nabi tidak setuju untuk membersamai mereka dalam kekufuran, baik pada masa sekarang maupun masa mendatang. Islam yang dibawa oleh Nabi tidak memberi ruang bagi kesyirikan.
Al-Kafirun, dengan waw penanda rafa‘ pada bagian akhirnya, adalah kata yang paling lazim digunakan sebagai nama bagi surah yang menempati urutan ke-109 dalam susunan mushaf Al-Qur’an. Nama ini digunakan baik oleh Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia maupun sejumlah mushaf Al-Qur’an dari luar negeri, seperti Libya, Maroko, Tunisia, Mesir, dan Saudi Arabia. Banyak kitab tafsir juga menggunakan nama tersebut. Namun, beberapa kitab tafsir dan ilmu qiraat, seperti al-Kasysyaf dan Hirz al-Amani, menamai surah ini dengan label al-Kafirin, dengan ya’ penanda jar pada bagian akhirnya. Meskipun banyak digunakan, baik al-Kafirun maupun al-Kafirin bukanlah nama yang secara spesifik diberikan oleh Nabi dan para sahabat. Pada masa Nabi dan para sahabat, surah ini dikenal dengan sebutan surah Qul Ya Ayyuhal-Kafirun, sesuai dengan bunyi ayat pertamanya. Nama ini pula yang dipilih oleh sejumlah ulama dalam karyanya, seperti al-Bukhari dalam as-Sahih, as-Sakhawi dalam Jamal al-Qurra’, dan al-Khazin dalam Lubab at-Ta’wil.
Riwayat yang menyebut surah ini dengan nama Qul Ya Ayyuhal-Kafirun antara lain:
- Riwayat Muslim (hadis no. 726)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ.
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. membaca surah Qul Ya Ayyuhal-Kafirun dan Qul Huwallahu Ahad dalam salat sunah qabliah Subuh.”
- Riwayat at-Tirmizi (hadis no. 2895)
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِرَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِهِ: هَلْ تَزَوَّجْتَ يَا فُلَانُ؟ قَالَ: لَا وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلَا عِنْدِي مَا أَتَزَوَّجُ بِهِ، قَالَ: أَلَيْسَ مَعَكَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ؟ قَالَ: بَلَى، قَالَ: ثُلُثُ القُرْآنِ، قَالَ: أَلَيْسَ مَعَكَ إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالفَتْحُ؟ قَالَ: بَلَى، قَالَ: رُبُعُ القُرْآنِ. قَالَ: أَلَيْسَ مَعَكَ قُلْ يَا أَيُّهَا الكَافِرُونَ؟ قَالَ: بَلَى، قَالَ: رُبُعُ القُرْآنِ. قَالَ: أَلَيْسَ مَعَكَ إِذَا زُلْزِلَتِ الأَرْضُ؟ قَالَ: بَلَى، قَالَ: رُبُعُ القُرْآنِ. قَالَ: تَزَوَّجْ، تَزَوَّجْ. هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ.
“Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw. bertanya kepada salah seorang sahabatnya, ‘Wahai Fulan, sudahkah engkau menikah?’ Ia menjawab, ‘Belum, wahai Rasulullah. Aku tidak punya apa-apa sebagai mahar.’ ‘Bukankah engkau hafal Qul Huwallahu Ahad,’ tanya Rasulullah. ‘Ya,’ jawabnya. ‘(Surah ini setara dengan) sepertiga Al-Qur’an. Bukankah engkau juga hafal surah Iza Ja’a Nasrullahi wal-Fath?’ tanya Rasulullah. ‘Ya,’ jawabnya. ‘(Surah ini setara dengan) seperempat Al-Qur’an. Bukankah engkau juga hafal surah Qul Ya Ayyuhal-Kafirun?’ tanya beliau. ‘Ya,’ jawabnya. ‘(Surah ini juga setara dengan) seperempat Al-Qur’an. Bukankah engkau pun hafal surah Iza Zulzilatil-Arḍ?’ tanya beliau. ‘Ya,’ jawabnya. ‘(Surah ini pun setara dengan) seperempat Al-Qur’an. Menikahlah! Menikahlah!’ pesan Rasulullah. (Menurut at-Tirmizi,) hadis ini hasan.”
- Riwayat an-Nasa’i (hadis no. 992)
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: رَمَقْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِشْرِينَ مَرَّةً، يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَفِي الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ.
“Ibnu ‘Umar berkata, ‘Aku sudah dua puluh kali dengan saksama memperhatikan Rasulullah saw. membaca surah Qul Ya Ayyuhal-Kafirun dan Qul Huwallahu Ahad pada salat sunah bakdiah Magrib dan qabliah Subuh.’”
Riwayat-riwayat ini secara nyata menjelaskan bahwa Nabi menamai surah ini dengan surah Qul Ya Ayyuhal-Kafirun. Nama itu pula yang populer pada masa Nabi dan para sahabat. Dengan demikian, Qul Ya Ayyuhal-Kafirun itulah yang merupakan nama yang bersifat tauqifi bagi surah ini. Adapun penamaannya dengan al-kafirun atau al-kafirin, daripada disebut sebagai hasil ijtihad belaka, agaknya lebih tepat dianggap sebagai upaya penyederhanaan terhadap nama tauqifi di atas. Dibandingkan Qul Ya Ayyuhal-Kafirun, kata al-kafirun atau al-kafirin yang hanya terdiri atas satu kata tentu lebih ringkas untuk menjadi nama dan lebih sesuai dengan pola nama surah-surah lainnya.
Selain nama-nama di atas, surah ini juga mendapat sejumlah sebutan lain dari para ulama. Sebutan-sebutan ini bersifat ijtihadi dan digunakan dalam lingkup yang lebih terbatas sehingga tidak menggapai popularitas yang sama dengan nama-nama sebelumnya. Di antara sebutan-sebutan lain bagi surah al-Kafirun adalah:
- Surah al-Muqasyqisyah
Secara literal, kata al-Muqasyqisyah berarti ‘penyembuh’ atau ‘pembebas’. Ada tiga surah yang mendapat sebutan ini, yaitu at-Taubah, al-Kafirun, dan al-Ikhlas (Ibnu ‘Asyur, 1984: 579). Ketiga surah ini diyakini sebagai pembebas siapa saja yang mengimani kandungannya dari kemunafikan dan kesyirikan. Tidak ada dalil dari Nabi yang mengukuhkan penyebutan surah ini dengan nama tersebut. Ulama yang dianggap sebagai penggagas nama ini adalah Zurarah bin Abi Aufa dan Abu ‘Amr bin ‘Ala’ (as-Suyuti, t.th.: 655).
- Surah al-Ikhlas
Kata ikhlas merupakan masdar dari kata kerja transitif yang artinya ‘memurnikan’, ‘mengkhususkan’, atau ‘menjadikan sesuatu sampai ke tujuannya’. Ada dua surah yang mendapat sebutan al-Ikhlas, yaitu Qul Huwallahu Ahad dan Qul Ya Ayyuhal-Kafirun. Surah Qul Ya Ayyuhal-Kafirun mendapat sebutan demikian karena isinya berfokus pada pemurnian penghambaan dan keberagamaan, sebagaimana fokus surah Qul Huwallahu Ahad adalah pemurnian tauhid. Dengan demikian, orang yang mengimani dan mengamalkan kandungan kedua surah ini akan terbebas dari kesyirikan dan kemunafikan.
- Surah al-‘Ibadah atau al-Mu‘abadah
Kata ‘ibadah merupakan bentuk masdar yang artinya berkisar pada ‘menghamba’, ‘menyembah’, ‘tunduk’, dan ‘merendahkan diri’. As-Sakhawi adalah salah satu pakar yang menyematkan sebutan ini pada surah al-Kafirun. Pendapat tersebut kemudian dikutip oleh as-Suyuṭi dan al-Alusi. As-Sakhawi tidak menjelaskan latar belakang munculnya sebutan tersebut, namun dapat diperkirakan bahwa sebutan ini muncul karena surah al-Kafirun berisi arahan Allah agar Rasulullah menolak dengan tegas ide kaum kafir untuk saling bertukar tuhan sementara waktu, atau karena adanya perulangan kata yang terderivasi dari akar kata ‘ibadah sebanyak delapan kali.
Menurut Sulaiman al-Jamal dan Nawawi al-Bantani, surah ini juga menyandang sebutan al-Mu‘abadah. Diambil dari akar kata yang sama, kata al-mu‘abadah berarti ‘saling bertukar sembahan’. Sulaiman al-Jamal dan Nawawi al-Bantani pun tidak menjelaskan latar belakang munculnya sebutan al-Mu‘abadah. Namun, dapat diperkirakan bahwa sebutan ini berkaitan dengan sebab turun surah al-Kafirun, yaitu ajakan kaum kafir kepada Nabi Muhammad untuk saling bertukar tuhan.
- Surah al-Munabizah
Kata al-munabizah berarti ‘pelempar’, ‘pembuang’, atau ‘penolak’. Ar-Razi adalah mufasir yang mengemukakan sebutan ini bagi surah al-Kafirun, namun ia tidak menjelaskan sebab kemunculannya. Namun, agaknya sebutan ini ada kaitannya dengan kandungan utama surah al-Kafirun, yaitu penolakan tegas terhadap ajakan kaum kafir di atas.
- Surah ad-Din
Kata ad-din, berarti ‘agama’. Al-Fairuzabadi adalah pakar yang memberikan sebutan ini pada surah al-Kafirun. Nama ini diadopsi dari kata yang sama yang terletak di akhir surah.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa surah al-Kafirun berbagi sebutan al-Muqasyqisyah dengan surah al-Ikhlas dan at-Taubah, serta berbagi sebutan al-Ikhlas dengan surah al-Ikhlas (Qul Huwallahu Ahad). Selain itu, kelima sebutan di atas juga diketahui tidak mempunyai sandaran riwayat. Semuanya muncul sebagai hasil ijtihad para pakar dengan memperhatikan berbagai faktor yang melingkupi surah ini, baik sebab turunnya, kandungannya, maupun kata kunci di dalamnya. [Muhammad Fatichuddin]