Terlepas dari adanya beberapa pakar tafsir yang meyakini ayat ke-48 dari surah ini turun setelah hijrah, sesungguhnya surah ini telah disepakati berstatus Makiyah. As-Sa‘labi, az-Zamakhsyari, Ibnu Kasir, as-Suyuti, al-Alusi, dan al-Qasimi, adalah sebagian kecil dari banyak mufasir yang menjelaskan demikian. Surah yang terdiri atas lima puluh ayat berdasarkan kesepakatan para ulama ini menempati urutan turun ke-33, yakni setelah surah al-Humazah dan sebelum surah Qaf. Tidak ada riwayat yang menyebutkan latar belakang turunnya surah ini. Hanya saja, diketahui dari riwayat Ibnu Mas‘ud bahwa surah ini turun ketika ia dan Nabi saw. sedang bermunajat di dalam salah satu gua di wilayah Mina. Dengan demikian, surah al-Mursalat turun pada awal-awal masa kenabian.
Secara garis besar, surah ini berisi penegasan Allah bahwa semua yang diancamkan-Nya pasti terjadi. Surah ini menyebutkan pula peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum hari Kebangkitan, peringatan Allah tentang kehancuran umat-umat terdahulu yang mendustakan para nabi, asal kejadian manusia, dan keadaan orang kafir dan orang mukmin pada hari Kiamat.
Al-Mursalat, tanpa awalan waw qasam, adalah kata yang paling banyak digunakan sebagai nama bagi surah yang menempati urutan ke-77 dalam susunan mushaf Al-Qur’an. Nama ini digunakan baik oleh Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia maupun sejumlah mushaf Al-Qur’an dari luar negeri, seperti Libya, Maroko, Tunisia, Mesir, dan Saudi Arabia. Kebanyakan kitab tafsir dan hadis pun menggunakan nama yang sama untuk surah tersebut. Sementara itu, at-Tabari dalam Tafsir-nya, ad-Dani dalam al-Bayan, dan al-Bukhari dalam Sahih-nya menyebut surah ini wal-Mursalat, dengan awalan waw qasam. Berbeda dari semuanya, as-Sa‘labi dalam Tafsir-nya memberi surah ini judul al-‘Urf.
Nama al-Mursalat bagi surah ini diambil dari kata pertamanya. Al-Mursalat adalah isim maf‘ul berbentuk jamak. Bentuk mufrad-nya adalah al-mursalah yang berasal dari kata kerja arsala-yursilu. Artinya beragam, bergantung pada konteksnya, mulai dari ‘melepaskan’ (atlaqa), ‘membiarkan’ (ahmala), ‘mengucurkan’ (sabaka), ‘menggerai’ (sarraha), hingga ‘mengutus’ (ba‘asa). Dalam konteks ayat pertama surah ini, kata al-mursalat lebih dekat untuk dimaknai ‘sesuatu yang diutus’. Para mufasir mengemukakan pandangan berbeda mengenai subjek yang diutus itu. Menurut sebagian mufasir, utusan itu adalah angin. Dengan demikian, makna wal-mursalati ‘urfan adalah war-riyah al-mursalah yutbi‘ ba‘ḍuha ba‘ḍa, ‘demi angin yang datang beriring-iring’ atas perintah Allah untuk menebar rahmat-Nya ke seluruh penjuru bumi. Ada pula mufasir yang meyakini bahwa yang diutus itu adalah para malaikat. Dengan demikian, makna ayat ini adalah wal-mala’ikah allati tursal bi al-‘urf, ‘demi para malaikat yang diutus untuk menyebarkan kebaikan’, baik itu berupa karunia kepada suatu kaum atau azab kepada kaum yang lain. Menurut at-Tabari, kedua makna ini sama-sama dimungkinkan. Bahkan, lanjutnya, ayat ini dapat mencakup apa atau siapa saja yang diutus dengan membawa kebaikan, baik itu malaikat, rasul, angin, maupun yang lainnya.
Kata dasar maupun kata bentukan yang berasal dari akar kata r-s-l banyak sekali tersebut dalam Al-Qur’an. Namun, kata mursalat, dalam bentuk jamak mu’annas salim, hanya dijumpai satu kali, yakni dalam awal surah al-Mursalat.
Nama al-Mursalat muncul dalam sabda Nabi berikut.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ أَبُو بَكْرٍ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَدْ شِبْتَ، قَالَ: شَيَّبَتْنِي هُوْدٌ، وَالوَاقِعَةُ، وَالمُرْسَلَاتُ، وَعَمَّ يَتَسَاءَلُونَ، وَإِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ. (رواه الترمذي)
“Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Abu Bakr berkata, ‘Wahai Rasulullah, engkau telah beruban.’ Beliau menjawab, ‘Aku telah dibuat beruban oleh surah Hud, al-Waqi‘ah, al-Mursalat, ‘Amma Yatasa’alun, dan Iżasy-Syamsu Kuwwirat.’” (Riwayat at-Tirmiżi)
Nama ini juga muncul dalam beberapa hadis yang berisi cerita sejumlah sahabat tentang surah yang dibaca oleh Nabi ketika salat. Dalam Sunan Abi Dawud disebutkan,
عَنْ عَلْقَمَةَ وَالْأَسْوَدِ، قَالَا: أَتَى ابْنَ مَسْعُوْدٍ رَجُلٌ فَقَالَ: إِنِّيْ أَقْرَأُ الْمُفَصَّلَ فِيْ رَكْعَةٍ، فَقَالَ: أَهَذًّا كَهَذِّ الشِّعْرِ وَنَثْراً كَنَثْرِ الدَّقَلِ؟ لَكِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ النَّظَائِرَ السُّوْرَتَيْنِ فِيْ رَكْعَةٍ: الرَّحْمَنَ وَالنَّجْمَ فِيْ رَكْعَةٍ، وَاقْتَرَبَتْ وَالْحَاقَّةَ فِيْ رَكْعَةٍ، وَالطُّوْرَ وَالذَّارِيَاتِ فِيْ رَكْعَةٍ، وَإِذَا وَقَعَتْ وَن فِيْ رَكْعَةٍ، وَسَأَلَ سَائِلٌ وَالنَّازِعَاتِ فِيْ رَكْعَةٍ، وَوَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِيْنَ وَعَبَسَ فِيْ رَكْعَةٍ، وَالْمُدَّثِّرَ وَالْمُزَّمِّلَ فِيْ رَكْعَةٍ، وَهَلْ أَتَى وَلَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فِيْ رَكْعَةٍ، وَعَمَّ يَتَسَاءَلُوْنَ وَالْمُرْسَلَاتِ فِيْ رَكْعَةٍ، وَالدُّخَانَ وَإِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ فِيْ رَكْعَةٍ.
“‘Alqamah (bin Qais bin ‘Abdillah an-Nakha‘i) dan al-Aswad (bin Yazid) berkata, ‘Seorang pria menghadap Ibnu Mas‘ud seraya berkata, ‘Aku membaca semua surah mufassal (dari surah Qaf atau al-Hujurat hingga an-Nas) dalam satu rakaat.’ Ibnu Mas‘ud menanggapinya, ‘(Jika demikian,) pastilah engkau membacanya dengan amat terburu (dan tanpa penghayatan) seperti membaca syair atau berentetan tanpa henti layaknya kurma-kurma kering yang berguguran (dari tandannya)! (Jangan lakukan itu!) Nabi saw. biasa membaca surah-surah yang serupa (kandungannya), dua surah saja dalam satu rakaat, yaitu an-Najm dan ar-Rahman dalam satu rakaat, Iqtarabat dan al-Haqqah dalam satu rakaat, at-Tur dan aż-Żariyat dalam satu rakaat, Iża Waqa‘at dan Nun dalam satu rakaat, Sa’ala Sa’il dan an-Nazi‘at dalam satu rakaat, Wailun lil-Mutaffifin dan ‘Abasa dalam satu rakaat, al-Muddassir dan al-Muzzammil dalam satu rakaat, Hal Ata dan La Uqsimu bi-Yaumil-Qiyamah dalam satu rakaat, ‘Amma Yatasa’alun dan al-Mursalat dalam satu rakaat, serta ad-Dukhan dan Iżasy-Syamsu Kuwwirat dalam satu rakaat.’”
Dalam Sunan an-Nasa’i juga disebutkan,
عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ الْحَارِثِ قَالَتْ: صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِهِ الْمَغْرِبَ، فَقَرَأَ الْمُرْسَلَاتِ، مَا صَلَّى بَعْدَهَا صَلَاةً حَتَّى قُبِضَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Ummu al-Faḍl binti al-Haris (istri ‘Abbas bin ‘Abd al-Muttalib; ibunda Ibnu ‘Abbas) berkata, ‘Rasulullah saw. mengimami kami salat Magrib di kediamannya. Pada saat itu, beliau membaca surah al-Mursalat. Setelah peristiwa ini, beliau tidak pernah lagi salat (mengimami kami) sampai beliau wafat.’”
Nama al-Mursalat juga muncul dalam riwayat tentang status Makiyah-Madaniyah surah-surah Al-Qur’an yang dikutip oleh Ibnu aḍ-Ḍurais dari Ibnu ‘Abbas serta al-Baihaqi dari ‘Ikrimah dan al-Hasan al-Basri.
Sementara itu, dalam beberapa hadis lain disebutkan bahwa Nabi menamai surah ini wal-Mursalat (dengan awalan waw qasam). Misalnya, riwayat Ibnu Mas‘ud dalam Sahih al-Bukhari sebagai berikut.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَارٍ بِمِنًى، إِذْ نَزَلَ عَلَيْهِ: وَالمُرْسَلَاتِ وَإِنَّهُ لَيَتْلُوهَا، وَإِنِّي لَأَتَلَقَّاهَا مِنْ فِيهِ، وَإِنَّ فَاهُ لَرَطْبٌ بِهَا إِذْ وَثَبَتْ عَلَيْنَا حَيَّةٌ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اقْتُلُوهَا، فَابْتَدَرْنَاهَا، فَذَهَبَتْ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وُقِيَتْ شَرَّكُمْ كَمَا وُقِيتُمْ شَرَّهَا.
“‘Abdullah bin Mas‘ud bercerita, ‘Tatkala kami bersama Nabi saw. di dalam sebuah gua di Mina, turunlah kepada beliau surah Wal-Mursalat. Beliau membacanya dan sungguh aku menerima surah ini langsung dari mulut beliau. Bibir beliau basah karena membaca surah tersebut ketika tiba-tiba seekor ular menghampiri kami. Nabi berkata, ‘Bunuhlah ular itu!’ Kami bergegas mengejarnya, namun ular itu sigap berlari. Nabi berkata, ‘Ular itu telah selamat dari gangguan kalian. Kalian pun telah selamat dari gangguannya.’”
Nama ini juga muncul dalam hadis riwayat Abu Dawud dan al-Baihaqi berikut.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قَرَأَ مِنْكُمْ بِـ {وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ} فَانْتَهَى إِلَى آخِرِهَا {أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ} فَلْيَقُلْ: بَلَى وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ، وَمَنْ قَرَأَ {لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ} فَانْتَهَى إِلَى {أَلَيْسَ ذَلِكَ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يُحْيِيَ الْمَوْتَى} فَلْيَقُلْ: بَلَى، وَمَنْ قَرَأَ {وَالْمُرْسَلَاتِ} فَبَلَغَ {فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ} فَلْيَقُلْ: آمَنَّا بِاللهِ.
“Abu Hurairah berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda, ‘Siapa saja di antara kalian yang membaca wat-tini waz-zaitun, lalu sampai pada akhir surah, yakni alaisallahu bi ahkamil-hakimin, hendaklah ia mengatakan, ‘bala wa ana ‘ala żalika min asy-syahidin,’ (“Tentu. Aku menjadi saksi atas hal itu.”). Siapa saja yang membaca la uqsimu bi-yaumil-qiyamah, lalu sampai pada ayat alaisa żalika bi-qadirin ‘ala an yuhyiyal-mauta, hendaklah ia mengatakan, ‘Bala,’ (“Tentu.”). Siapa saja yang membaca wal-mursalat, lalu sampai pada ayat fabi’ayyi hadisin ba‘dahu yu’minun, hendaklah ia mengatakan, ‘Amanna billah,’ (“Kami beriman kepada Allah.”).’”
Nama wal-Mursalat juga muncul dalam versi lain riwayat Ummu al-Faḍl di atas, yang disajikan oleh al-Baihaqi dalam Sunan-nya. Nama tersebut juga dijumpai dalam sebuah asar yang tercatat dalam kitab yang sama, sebagai berikut.
عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ: سَأَلْتُ أَنَسًا عَنْ مِقْدَارِ صَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: فَأَمَرَ النَّضْرَ بْنَ أَنَسٍ أَوْ أَحَدَ بَنِيهِ فَصَلَّى بِنَا الظُّهْرَ أَوِ الْعَصْرَ، فَقَرَأَ بِنَا وَالْمُرْسَلَاتِ وَعَمَّ يَتَسَاءَلُونَ.
“‘Abd al-‘Aziz bin Qais berkata, ‘Aku bertanya kepada Anas tentang kadar salat Nabi saw. Ia lalu meminta salah satu putranya, an-Naḍr, atau putranya yang lain untuk mengimami kami salat Zuhur atau Asar. Ia (an-Naḍr atau putra Anas yang lain) lalu membaca wal-Mursalat dan ‘Amma Yatasa’alun.’”
Dari riwayat-riwayat di atas diketahui bahwa kedua nama yang memiliki kemiripan amat lekat ini sudah masyhur digunakan pada masa sahabat. Di kemudian hari, nama wal-Mursalat dipilih, misalnya, oleh at-Tabari, al-Bukhari, dan ad-Dani untuk menamai surah ini dalam karya mereka. Namun, dibandingkan dengan itu, nama al-Mursalat lebih lazim digunakan dalam berbagai kitab tafsir, kitab hadis, dan mushaf Al-Qur’an.
Selain kedua nama di atas, surah ini memiliki setidaknya dua nama lain yang diambil pula dari ayat pertamanya, sebagaimana dua nama sebelumnya. Barangkali, karena nama-nama ini mempunyai kemiripan yang sangat dekat atau diadopsi dari ayat yang sama, maka as-Suyuti tidak memasukkan al-Mursalat ke dalam kategori surah-surah yang punya lebih dari satu nama. Dua nama lain bagi surah ini adalah:
- Wal-Mursalati ‘Urfa
Nama ini berasal dari ayat pertama surah al-Mursalat yang diambil sebagaimana adanya. Nama ini muncul dalam versi lain dari hadis Abu Hurairah di atas. Apabila dalam versi riwayat Abu Dawud dan al-Baihaqi surah ini disebut wal-Mursalat, dalam riwayat Ahmad surah ini disebut oleh Nabi dengan nama wal-Mursalati ‘Urfa. Nama ini juga didapati dalam beberapa riwayat lain, misalnya:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ أُمَّ الفَضْلِ سَمِعَتْهُ وَهُوَ يَقْرَأُ: {وَالمُرْسَلَاتِ عُرْفًا} فَقَالَتْ: يَا بُنَيَّ، وَاللَّهِ لَقَدْ ذَكَّرْتَنِي بِقِرَاءَتِكَ هَذِهِ السُّورَةَ، إِنَّهَا لَآخِرُ مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ بِهَا فِي المَغْرِبِ. (رواه البخاري ومسلم)
“Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Ummu al-Faḍl (ibundanya) mendengarnya membaca Wal-Mursalati ‘Urfa. Sang ibunda lantas berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, bacaanmu terhadap surah ini telah membangunkan kenanganku. Itulah surah terakhir yang kudengar dibaca oleh Rasulullah saw. pada salat Magrib.’” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Sebutan ini juga muncul dalam versi lain dari riwayat Ibnu Mas‘ud dalam Sahih al-Bukhari yang telah disebutkan sebelumnya. Riwayat yang sama dijumpai pula dalam Sahih Muslim.
- Al-‘Urf
As-Sa‘labi adalah mufasir yang dengan tegas memberi surah ini judul al-‘Urf. Nama ini juga disebutkan sebagai nama lain surah al-Mursalat oleh al-Biqa‘i, Syihab ad-Din al-Khafaji, al-Alusi, dan al-Qasimi. Berdasarkan informasi Ibnu ‘Asyur, nama ini juga dimunculkan oleh Sa‘dullah bin ‘Isa bin Amir Khan, atau yang lebih masyhur dengan nama Sa‘di Jalabi (w. 945 H.), dalam komentarnya atas Tafsir al-Baiḍawi tanpa menyebut sumbernya. Berbeda dari nama-nama sebelumnya, nama al-‘Urf tidak mempunyai sandaran riwayat, baik hadis maupun asar sahabat. Kata ‘urf bukanlah kata yang hanya dijumpai pada surah al-Mursalat. Kata ini juga ditemukan dalam surah al-A‘raf (7): 199. Dengan demikian, sangat mungkin nama al-‘Urf muncul sekadar karena keberadaannya pada ayat pertama surah al-Mursalat. [Muhammad Fatichuddin]