Syekh Ahmad Surkati (1875-1943) dilahirkan di Udfu, Dongola, Sudan. Ia diduga masih keturunan Jabir ibn Abdillah Al-Anshari, sahabat Rasulullah Saw. Ia seorang yang cerdas. Sejak kecil di dalam didikan ayahnya, kemudian menghafal Al-Qur’an di khalwah, sebuah pusat penghafal Al-Qur’an. Pada mulanya, ayahnya hendak mengirimnya ke Al-Azhar untuk melanjutkan pendidikan di sana, namun gagal karena alasan politik. Syekh Ahmad Surkati kemudian berhasil belajar di Makkah dan Madinah. Selama di Makkah, ia sempat mendirikan madrasah dan digelari “Al-’Allamah”.
Syekh Ahmad Surkati memang tidak berguru langsung kepada ulama-ulama Al-Azhar, Mesir, namun ia memiliki kebiasaan melakukan korespondensi yang berlangsung lama kepada ulama-ulama tersebut. Di samping, ia juga rajin mengoleksi dan membaca Tafsir Al-Manar, karya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha.
Karena kekurangan guru, pengurus Jamiat Kheir di Batavia (tepatnya di Pekojan) mengundang guru dari luar, terutama dari tanah Hijaz. Pada Oktober 1911, Syekh Ahmad Surkati tiba di Batavia. Tiga tahun di Batavia, ia mendapat kesuksesan, namun karena persoalan beda pandangan dengan kalangan Bani Alawiyyin yang memiliki tradisi tidak memperbolehkan seorang Arab (sayyid/sayyidah) menikahi orang di luar klan mereka, maka Syekh Ahmad Surkati kemudian mendirikan madrasah sendiri, Al-Irsyad Al-Islamiyah atau Jami’ah Al-Islam wa Al-Irsyad Al-Arabiyah, pada 11 Agustus 1915 atas dukungan Manqus, seorang Kapitein der Arabieren.
Gelombang modernisme yang digaungkan oleh Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha di Universitas Al-Azhar Mesir telah mengundang minat umat Islam untuk belajar dan mendalami Islam dengan sungguh-sungguh. Meskipun pada tahap aplikasi dan implementasinya bermacam-macam ragam dan bentuk. Namun, jargon kuat “Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah” begitu sangat efektif dan membekas, terutama bagi kalangan modernis Islam. Mereka membentuk madrasah-madrasah tersistem dan terencana, tidak sporadis dan temporal.
Implementasi utama kaum modernis adalah melalui gerakan tafsir Al-Qur’an sebagaimana Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha melakukannya. Dengan kata lain, gerakan “Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah” merupakan representasi dari reaktualisasi tafsir Al-Qur’an itu sendiri dengan cara dan metode yang berbeda. Jika ulama-ulama pada umumnya memberikan penafsiran secara harfiyah, letterlijk, kemudian baru memproduksi tafsir sendiri, tidak demikian dengan kaum modernis. Mereka cenderung lebih aplikatif pada persoalan-persoalan kekinian yang didukung oleh ilmu-ilmu di luar tradisi tafsir Al-Qur’an seperti gramatika dan sastra Arab. Itu di satu sisi. Sementara di sisi yang lain, jika kalangan umat Islam Indonesia pada umumnya memiliki kontraksi dengan tradisi dan keyakinan yang bersifat kasuistik (furu’iyyah) pada masyarakat, maka Syekh Ahmad Surkati berhadap-hadapan dengan lingkaran umat Islam Indonesia dari keturunan Arab. Sebagaimana ia menghukumi boleh untuk menikahi perempuan dari keturunan Bani Alawiyyin yang terhimpun di madrasah Jamiat Kheir.
Untuk memperkuat eksistensinya, Syekh Ahmad Surkati kemudian melakukan dialog terbuka kepada tokoh-tokoh yang terkenal di kemudian hari, seperti HOS Tjokroaminoto, Soekarno, Prof. Dr. M. Hasbi Ash Shiddieqy, A. Hassan, dan H.M. Rasjidi. Ia cukup produktif menulis di media massa sebagaimana dilakukan oleh Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha; karya-karyanya berbentuk risalah-risalah tentang persoalan dan jawaban yang berkaitan dalam banyak hal, termasuk tafsir Al-Qur’an. Di antara karya-karyanya adalah Al-Masail Ats-Tsalatsah, Surat Al-Jawab, Risalat Taujih Al-Qur’an, Adz-Dzakhirah Al-Islamiyah.
Sebagaimana kalangan modernis pada umumnya, tema tauhid menjadi program utama di dalam melakukan dakwah dan pendidikan. Syekh Ahmad Surkati seiring sejalan dengan dua koleganya, K.H. Ahmad Dahlan dan A. Hassan. Mereka sering melakukan diskusi dan dialog-dialog sosial dan keagamaan. Pada prakteknya, masing-masing mendirikan organisasi dan lembaga-lembaga pendidikan dengan corak yang berbeda. Selain tauhid, tema penting yang sering diangkat oleh Syekh Ahmad Surkati adalah bid’ah, tahayul, dan khurafat. Hal yang banyak menyinggung persoalan-persoalan tradisi dan keyakinan umum umat Islam di Indonesia.
Kekalahan Turki Usmani pada Perang Dunia I serta lahirnya negara bangsa, Israel, secara tidak langsung memengaruhi tafsir-tafsir Al-Qur’an yang dikeluarkan oleh kaum modernis. Secara politik, mereka membentuk gerakan satu suara persatuan Islam melalui Pan-Islamisme, guna membendung kolonialisme dan imperialisme yang kian massif. Sikap anti kolonialisme diperlihatkan olehnya melalui perjuangan persamaan derajat sesama manusia. Baginya, “Mencapai kebebasan dari penjajahan tidak dapat diraih dengan jiwa yang rendah.” Pada 29 Desember 1928 di Surabaya, Syekh Ahmad Surkati menekankan pentingnya ilmu dipegang oleh orang-orang yang berani. “Ilmu bagi manusia sama halnya seperti sebilah pedang, tak bisa memberi manfaat kecuali bila pedang itu ada di tangan orang yang berani mempergunakannya. Sebilah pedang dipegang oleh seorang penakut terhadap musuhnya, berarti senjata makan tuan.”
Kebencian terhadap kolonialisme secara implisit tertuang di dalam tafsir Al-Fatihah pada pokok ayat ke-7 disampaikan olehnya;
“Wahai Tuhanku! Kepadamulah kami berdoa, dengan segala pengakuan dan penuh keyakinan, bahwa jalan yang harus lurus (siratal-mustaqim) yang kami mohon dibimbingkan, yaitu jalan orang-orang yang oleh-Mu telah diberi nikmat, dari golongan para nabi, siddiqin, mereka yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Bukan jalan orang-orang yang jauh dari petunjuk, karena tingkah lakunya suka mengurangi dan meremehkan perintah-Mu, maka Engkau murkai mereka sebagaimana bangsa Yahudi. Dan bukan jalan orang-orang tidak lurus, yang gemar melebihi batas kepastian dalam penghormatannya kepada beberapa rasul sehingga mereka menjadi sesat dari jalan yang sempurna, sebagaimana halnya bangsa Nasrani.”_seri tafsir Nusantara 2 (Dila & Must)