Polemik faham keagamaan antara “Kaum Tuo” yang dimotori oleh Syekh Sulaiman Arrasuli cukup marak ketika terjadi benturan dengan “Kaum Mudo” yang diwakili oleh Dr. Haji Abdul Karim Amrullah. Pada kesimpulannya, Syekh Sulaiman Arrasuli berpendapat, “Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah”. Upaya damai yang ditawarkan olehnya dalam mengantisipasi gerakan pembaharuan yang cenderung membid’ahkan tradisi dan adat.
Ranah Minangkabau adalah salah satu wilayah yang memiliki tradisi intelektual yang berpengaruh di Nusantara, selain Aceh dan Jawa pada umumnya. Kehidupan sosial di sana pada awalnya berasal dari tradisi surau yang dikenal dengan istilah “Siak” atau “Kaum Siak”. Pengajaran dan pendidikan ilmu-ilmu agama diajarkan oleh seorang guru yang rata-rata pernah belajar di Mekah dan Madinah. Di antara wilayah yang memiliki tradisi Siak tersebut adalah Canduang, tempat kelahiran Syekh Sulaiman Arrasuli. Demikian, Syekh Sulaiman Arrasuli pun dikenal di kemudian hari dengan panggilan “Inyiak Canduang”, sesepuh dari Canduang.
Syekh Sulaiman Arrasuli lahir pada 1871 di Canduang. Ayahnya adalah Angku Muhammad Rasul, seorang ulama terkenal pada masanya. Ia hidup sezaman dengan ulama-ulama terkenal pada masanya yang berpegang teguh pada tradisi dan adat seperti Haji Abdul Latif Syakur, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Haji Abdul Latif Pahambatan, Syekh Abbas Abdullah, dan Syekh Ibrahim Musa. Kelompok yang di kemudian hari membentengi diri dengan tradisi Mazhab Syafi’i melalui lembaga pendidikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MIT) di Surau Baru Canduang pada 1907. Bersama Syekh Ladang Lawas dan Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Sulaiman Arrasuli mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) pada 1928 yang berpengaruh hingga Bengkulu, Medan, Jambi, Riau, Tapanuli, dan Malaysia.
Pendidikan dasar Syekh Sulaiman Arrasuli diperoleh dari lingkungan keluarganya di Canduang. Ia memperoleh ilmu dari guru-gurunya seperti Syekh Muhammad Arsyad (Batu Hampar), Tuanku Sami’ Ilmiah (Baso), Tuanku Kolok (Batusangkar), Syekh Abdussalam (Banuhampu), dan Syekh Abdullah (Halaban).
Pada 1903, Syekh Sulaiman Arrasuli pergi menunaikan ibadah haji. Kesempatan itu digunakan olehnya untuk menimba ilmu kepada mufti Mazhab Syafi’i, Syekh Muhammad Sa’id Ba Bashil, Syekh Utsman as-Sarawaki, Syeikh Wan Ali Abdur Rahman al-Kalantani, Syeikh Muhammad Ismail al-Fathani, Syeikh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani, Sayyid Ahmad Syattha al-Makki, Syekh Mukhtar at-Tarid as-Shufi, dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Di Mekah, ia satu angkatan dengan Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari, pendiri NU, dan Syekh Hasan Maksum. Ia mempelajari ilmu-ilmu alat selama tiga tahun seperti nahwu, sharaf, balaghah, dan mantiq; serta, ilmu hadis, ilmu tafsir Al-Qur’an, fiqih, tasawuf, dan tauhid. Di bidang tasawuf, Syekh Sulaiman Arrasuli adalah pengamal tarekat dan mursyid an-Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Dalam lapangan organisasi dan pendidikan, Syekh Sulaiman Arrasuli memiliki banyak peran dalam melakukan kegiatan merebut kemerdekaan dan politik. Syekh Sulaiman Arrasuli wafat dalam usia 85 tahun pada 28 Rabi‘ul Akhir 1390 H/1 Agustus 1970 dan dimakamkan di Kompleks Madrasah Tarbiyyah Islamiyah, Candung, Bukittinggi, Sumatera Barat.
Sebagai ulama as-Syafi’iyyah, Syekh Sulaiman Arrasuli sangat berpegang teguh pada tradisi ilmiah umat Islam yang memiliki sanad keilmuan. Pada umumnya, ulama-ulama di Nusantara bersandar teguh pada kitab Tafsir al-Jalalain, sebuah kitab tafsir Sunni standar kosakata bahasa Arab yang ditulis oleh Imam Jalaluddin al-Mahalli pada 1459 dan muridnya, Imam Jalaluddin as-Suyuthi, pada 1505. Karir kepenulisan Syekh Sulaiman Arrasuli dapat dijumpai dari beberapa karyanya yang berbentuk nadham syair berbahasa Minang. Di bidang tafsir, Syekh Sulaiman Arrasuli mengawali tafsir Al-Qur’annya melalui penulisan ulang syarah (penjelasan) Tafsir al-Jalalain dengan berbahasa Arab. Teks naskah tersebut menggunakan bahasa Arab, aksara Arab, dan jenis khat naskhi. Penulisan teks naskah menggunakan tinta berwarna hitam, yang dilengkapi pula dengan tinta berwarna merah sebagai rubrikasi atau penekanan suatu redaksi kata tertentu. Tafsir al-Jalalain memang memiliki ciri khas penguatan pada tafsiran perkata, ketika seseorang telah selesai mempelajarinya, maka ia telah mempunyai kosa kata yang kaya dan memiliki kemampuan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih lanjut. Di Minangkabau, Tafsir Al-Jalalain karya Syekh Sulaiman Arrasuli ini sangat populer, sebab pemahamannya yang mudah dan sifatnya sangat membantu dalam mengasah dan mendalami bahasa Arab, terutama tafsir Al-Qur’an.
Al-Qaulul Bayan fi Tafsir Al-Qur’an karya Syekh Sulaiman Arrasuli merupakan sebuah kitab tafsir juz terakhir dari Al-Qur’an yang diterbitkan oleh Mathba’ah Islamiyah Bukittinggi pada 1929. Kitab tafsir tersebut menjelaskan adanya permintaan dari masyarakat untuk membuat tafsir Al-Qur’an. Permintaan masyarakat tersebut ditanggapi dengan ragu oleh Syekh Sulaiman Arrasuli sehingga ia memberi penegasan: kitab tafsir tersebut tidak diperuntukkan untuk memutuskan sebuah produk putusan hukum. Namun, untuk menjelaskan ketegasan di dalam melaksanakan salat, karena surah-surah terakhir dari juz Al-Qur’an tersebut sering digunakan secara sendirian. Kitab tafsir tersebut ditulis dengan menggunakan tulisan Arab-Melayu-Minang yang mudah dimengerti kaum awam.
Sebagai contoh diungkapkan oleh Syekh Sulaiman Arrasuli; tafsir surah an-Naba’ ayat 1-7. Syekh Sulaiman ar-Rasuli menjelaskan dengan metode syair an-Naba’. “Ayat ini diturunkan sebelum Nabi kita hijrah dari Mekah ke Madinah, oleh karena itu disebut Makiyah, jumlahnya 40 ayat dan 173 kalimat dan 97029 huruf.” Penjelasan Syekh Sulaiman Arrasuli cukup menarik karena telah menonjolkan huruf pada jumlah kata dan jumlah huruf. Hal ini jarang menjadi perhatian para mufasir._Seri Tafsir Nusantara (Sakdul & Must)