Tadabur Mushaf “Al-Qur’an Pusaka”: Refleksi 79 Tahun Kemerdekaan RI

Tadabur Mushaf “Al-Qur’an Pusaka”: Refleksi 79 Tahun Kemerdekaan RI

17 Agustus 2024, genap 79 tahun usia kemerdekaan Indonesia sejak diproklamasikan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Proklamasi ketika itu sebenarnya tidak serta-merta langsung menjadikan Indonesia merdeka secara faktual. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) atau pemerintahan sipil Hindia Belanda mencoba menguasai Indonesia lagi, membonceng Sekutu yang masuk pada 29 September 1945 untuk melucuti militer Jepang. Invasi militer, manuver politik, dan propaganda Hindia Belanda langsung mengancam Indonesia hanya sebulan setelah proklamasi.

Sejarah mencatat apa yang kemudian dilalui oleh bangsa Indonesia pasca kedatangan NICA. Diplomasi luar negeri untuk menggalang pengakuan kedaulatan, berbagai pertempuran militer (di antaranya Peristiwa 10 November Surabaya, Bandung Lautan Api, Agresi Militer Belanda I, Agresi Militer Belanda II, Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta, dan lain-lain), perundingan-perundingan (Linggarjati, Renville, Roem-Royen, dan Konferensi Meja Bundar) dan beragam diplomasi dalam negeri untuk mencegah disintegrasi republik.

Mungkin belum banyak yang tahu, jika salah satu upaya diplomasi mempertahankan kemerdekaan Indonesia diwujudkan melalui pembuatan mushaf Al-Qur’an yang diberi nama “Qur’an Pusaka” (seperti inilah penamaannya ketika itu; tanpa memakai kata “mushaf” dan tanpa penanda isim makrifah “al”). Beberapa peristiwa terkait dan penjelasan soal penulisan mushaf ini terekam dalam beberapa arsip terbitan pers dan publikasi risalah.

Aboebakar, dalam Al Mashaf: Risalah Chusus Mengenai Al Qur’an (1952), yang diterbitkan oleh Yayasan Bangsal Penglaksanaan Quran Pusaka Republik Indonesia, menuliskan, “Cita-cita membuat Qur’an Pusaka ini timbulnya dalam masa revolusi di Yogyakarta. Dalam daerah-daerah yang diduduki Belanda dijalankan propaganda hendak menarik hati ummat Islam dengan memberikan gambaran, seakan-akan Belanda betul-betul hendak membantu memajukan agama Islam dengan kebudayaannya. Banyak diantara bangsa kita yang tertarik dengan gambaran itu. Kedudukan Republik sangat genting. Tidak saja Republik dalam pengepungan Belanda itu dapat memperlihatkan pembangunan, tetapi dengan propaganda Belanda diberikan gambaran bahwa Republik itu tidak mempunyai minat sesuatu apa tentang pembangunan Islam.”

Peluncuran pembuatan mushaf Al-Qur’an Pusaka dilakukan pada peringatan Nuzulul Qur’an tahun 1948 (tanggal 23 Juli malam) di Istana Kepresidenan Yogyakarta. Presiden Soekarno menuliskan huruf ba dan Wakil Presiden Mohammad Hatta menuliskan huruf mim pada tulisan bismillahirrahmanirrahim Surah Al-Fatihah. Peristiwa ini terdokumentasikan dalam majalah Mimbar Indonesia yang terbit pada 17 Agustus 1948.

Bahan-bahan pembuatan mushaf yang semula ingin didatangkan dari Singapura, sayangnya gagal masuk akibat terdampak Agresi Militer Belanda II. Bahan pembuatan mushaf akhirnya didatangkan dari Mesir pada tahun 1951, dengan peran bantuan masyarakat muslim di Aceh. Situasi Republik Indonesia yang samgat dinamis ketika itu menyebabkan proses pembuatan mushaf Al-Qur’an Pusaka berlangsung lama. Hingga akhirnya pada peringatan Nuzulul Qur’an tahun 1960 (tanggal 15 Maret malam hari), di Istana Negara, dilakukan peresmian dan penyerahan mushaf Al-Qur’an Pusaka dari Menteri Agama, K.H. Wahib Wahab, kepada Presiden Soekarno. Informasi peristiwa ini tercatat dalam koran Duta Masyarakat terbitan 11 Maret 1960, dan majalah Staar Weekly terbitan 19 Maret 1960.

Meskipun baru diresmikan pada 1960, peran mushaf Al-Qur’an Pusaka dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia tak dapat dipungkiri. Setidaknya ada tiga “kontribusi” mushaf Al-Qur’an Pusaka. Pertama, kehendak pemerintah untuk membuat mushaf Al-Qur’an Pusaka menjadi simbol pesan tentang kepedulian Indonesia terhadap umat Islam dan kebudayaannya. Ini pesan penting di tengah situasi di mana propaganda NICA dalam upaya meraih dukungan umat Islam di Indonesia demikian gencar, melalui kampanye janji dan opini yang mendiskreditkan pemerintah Indonesia. NICA, misalnya, menggaungkan janji kelancaran ibadah haji jika NICA berkuasa penuh, dan pengopinian bahwa pemerintah Indonesia tidak peduli pada kemajuan umat Islam dan kebudayaannya. Kedua, pembuatan mushaf Al-Qur’an Pusaka turut menggugah semangat patriotisme masyarakat sehingga tidak jatuh terbujuk propaganda NICA. Pembuatan mushaf Qur’an Pusaka disambut antusias oleh masyarakat. H. Aboebakar menceritakan perihal antusiasme masyarakat ini dalam risalah Al Mashaf, dengan menuliskan, “Upacara (peluncuran pembuatan mushaf Al-Qur’an Pusaka, red.) yang disertai dengan pertunjukan poster-poster dan bermacam-macam model Al-Qur’an … mendapat sambutan yang sangat mengharukan dari kaum muslimin. Radio San Francisco dan Delhi memberi komentar atas kejadian ini.” Ketiga, proses pembuatan mushaf Al-Qur’an Pusaka yang penuh rintangan menjadi penguat pesan tentang keseriusan pemerintah Indonesia dalam mewujudkan mushaf Al-Qur’an Pusaka, yang kemudian memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Ini terlihat dari dukungan besar masyarakat muslim di Aceh dalam mendatangkan bahan-bahan dari Mesir pada tahun 1951 untuk pembuatan mushaf Al-Qur’an Pusaka. Sebelumnya, pada tahun 1950, Menteri Agama K.H. Wahid Hasyim memerintahkan pembentukan Yayasan Bangsal Penglaksanaan Quran Pusaka Republik Indonesia, sebagai lembaga yang ditugaskan mengawal pembuatan mushaf Al-Quran Pusaka.

Rakyat Indonesia sepatutnya tahu, bahwa selain Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih (Bendera Merah Putih pertama yang dikibarkan saat proklamasi kemerdekaan Indonesia), ada mushaf Al-Qur’an yang diberi nama resmi “Pusaka” oleh Pemerintah Republik Indonesia, yang turut “terlibat” dalam perjalanan bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan. Sebagaimana patutnya kita tidak boleh lupa bahwa kemerdekaan Republik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari faktor “Berkat Rahmat Allah”, seperti dinyatakan pada Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

Setelah diresmikan, mushaf Al-Qur’an Pusaka ditempatkan di Masjid Baiturrahim Istana Negara. Akan tetapi, sejak tahun 1997 mushaf Al-Qur’an Pusaka berumah di Bayt Al-Qur’an & Museum Istiqlal (BQMI), Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur. Tiga puluh juz mushaf Al-Qur’an Pusaka terbagi dalam tiga jilid. Jilid kedua dan ketiga disimpan dalam ruangan penyimpanan koleksi BQMI. Adapun jilid pertama, yang memuat Surah Al-Fatihah (dengan bacaan basmalah yang ba-nya dituliskan Soekarno, dan mim akhirnya ditulis oleh Mohammad Hatta), dapat kita saksikan di ruang pamer Bayt Al-Qur’an. (AB)

Kontak

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an
Gedung Bayt Al-Qur`an & Museum Istiqlal
Jalan Raya TMII Pintu I Jakarta Timur 13560
Telp: (021) 8416468 - 8416466
Faks: (021) 8416468
Web: lajnah.kemenag.go.id
Email: lajnah@kemenag.go.id
© 2023 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an. All Rights Reserved