Tengku Haji Umar bin Auf (lebih dikenal dengan nama Tengku Chik Umar atau Tengku Chik di Lam U) menikah dengan Hj. Shafiah dan melahirkan Tengku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri (lebih dikenal dengan panggilan Tengku Abu Indrapuri) pada tanggal 3 Juni 1888 M/23 Ramadan 1305 H di kampung Lam U, Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar. Tengku Haji Umar bin Auf termasuk salah seorang alim ternama, khususnya dalam ilmu fikih, dan seorang hafiz Al-Qur’an yang hidup pada masa Sultan Alauddin Mahmud Syah (1870-1873), sedangkan Tengku Haji Ahmad Hasballah adalah anak pertamanya. Dari ibu yang sama, Tengku Haji Ahmad Hasballah mempunyai satu adik bernama Tengku Muhammad Dahlan (lahir 1891), sedangkan dari ibu kedua (Nyak Sunteng, dari Lam U) dikaruniai adik bernama Tengku Haji Abdullah Umar Lam U (1888-1967) dan dari ibu ketiga (berasal dari Niron Aneuk Bate) dikaruniai adik bernama Tengku Abdul Hamid (dikenal dengan Tengku Aneuk Bate, lahir tahun 1894).
Sejak kecil Ahmad Hasballah mendapatkan pendidikan dari ayahnya, terutama ilmu baca Al-Qur’an. Bakat seni baca Al-Qur’an (qari) yang dimilikinya terus dikembangkan hingga ia belajar di Mekah. Selain belajar dari ayahnya, Tengku Haji Ahmad Hasballah juga belajar di Dayah Lam U, Dayah Piyeung, Dayah Samalanga, Dayah Titeu, dan Dayah Lamjabat. Pada masa hidupnya, wilayah Aceh (dan Nusantara pada umumnya) sedang dijajah Belanda sehingga gerak-gerik ulama menjadi target para penjajah. Oleh karena itu, pada sekitar tahun 1905 Tengku Haji Umar bin Auf mengajak anaknya, Tengku Haji Ahmad Hasballah, Muhammad Arsyad Ie Leubeu (Tengku Chik di Yan), dan Tengku Muhammad Saleh (Tengku Chik di Lambhuk) untuk berhijrah ke Kedah, Malaysia. Mereka bermukim dan mengajar di Dayah Yan Kedah sehingga menjadi pusat pendidikan Islam yang sangat berkembang dan jaya sebagaimana dahulu saat zaman Sultan Iskandar Muda.
Peran Abu Indrapuri dalam kancah politik tampak saat ia kembali dari Kedah ke Aceh pada tahun 1922. Saat itu ia bergabung dengan Syarikat Islam yang menjadi wadah politik sebagian besar masyarakat Aceh. Ketika Syarikat Islam dilarang Belanda pada tahun 1926, ia membentuk wadah politik baru bernama Jami‘ah al-Ataqiah al-Ukhrawiah (Perhimpunan Kemerdekaan Akhirat). Aktivitas politiknya kembali muncul pada tanggal 5 Mei 1939, yaitu ketika dibentuknya sebuah wadah politik bernama PUSA dan ditunjuk sebagai Ketua Majlis Syuranya. Sekitar awal 1942, bersama masyarakat Aceh dan para muridnya, Tengku Abu Indrapuri turut aktif mendukung Jepang untuk mengusir Belanda. Perjuangan Abu Indrapuri pun terus berlanjut hingga menjelang dan seusai kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan.
Tengku Haji Ahmad Hasballah atau Abu Indrapuri wafat di Kampung Aceh Yan Kedah, Malaysia, pada tanggal 26 April 1959 M/17 Syawwal 1378 H dan dimakamkan di Yan Kedah berdekatan dengan makam ayahnya. Abu Indrapuri wafat meninggalkan seorang istri dan sebelas putra-putri. Meskipun keahliannya dalam bidang tahsin qiraat Al-Qur’an cukup diakui secara luas, namun tidak ada informasi tentang kapan dan siapa gurunya belajar dan menghafal Al-Qur’an, sehingga sanad hafalannya maupun metode pengajaran Al-Qur’annya tidak terlacak dengan baik. Boleh jadi, Abu Indrapuri menghafal Al-Qur’an sejak kecil langsung di bawah bimbingan ayahnya yang juga seorang hafiz, kemudian dikembangkan dan diperdalam kembali ketika ia menetap selama beberapa waktu di Mekah.
(Harits Fadlly – Diringkas dari buku Para Penjaga Al-Qur'an, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2011)