Pemindahan Arsip
Pemindahan arsip merupakan proses pemindahan arsip inaktif ke unit kearsipan (Perka ANRI nomor 37 tahun 2016). Dalam penyimpanannya, arsip inaktif harus dipisahkan dari arsip aktif. Arsip aktif adalah arsip yang masih sering digunakan dalam aktivitas organisasi, dan digunakan secara terus menerus. Sebaliknya, arsip inaktif merupakan arsip yang telah menurun frekuensi penggunaannya. Pemisahan tempat penyimpanan kedua jenis arsip tersebut bertujuan agar arsip aktif yang masih diperlukan dalam aktivitas pekerjaan mudah ditemukan jika dibutuhkan. Sedangkan arsip yang sudah jarang dipakai dapat diselamatkan ke unit kearsipan dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan referensi.
Proses pemindahan arsip inaktif ini dimulai dari penyeleksian, penataan, penyusunan daftar arsip yang akan dipindahkan, dan pembuatan Berita Acara Pemindahan. Penyeleksian arsip inaktif dilakukan dengan memperhatikan masa retensi aktif. Jika masa retensinya sudah terlewati, maka arsip tersebut dikategorikan sebagai arsip inaktif, yang ditandai dengan menurunnya penggunaan arsip tersebut. Selanjutnya adalah penataan arsip inaktif yang dilakukan dengan memperhatikan prinsip asal usul (provenance) dan aturan asli (original order). Prinsip asal usul menyatakan bahwa arsip harus dikelola dalam kesatuan pencipta arsip, agar tidak bercampur antar pencipta arsip, sehingga arsip tetap melekat pada konteks penciptanya (Pratama, 2018). Sedangkan prinsip aturan asli bertujuan untuk menjaga arsip tetap dalam pengaturan sebagaimana ketika arsip masih dipakai dalam pelaksanaan kegiatan pencipta arsip agar keutuhan dan realibilitas arsip tetap terjaga. Langkah selanjutnya adalah menyusun Daftar Arsip Inaktif yang Akan Dipindahkan. Hal ini untuk mengetahui mana arsip yang masih dipakai (aktif) dan mana arsip yang sudah jarang dipakai (inaktif). Pada tahap inilah ditentukan mana arsip yang masih dapat disimpan, dimusnahkan, atau diserahkan kepada lembaga kearsipan sebagai arsip statis.
Proses penataan arsip inaktif selanjutnya adalah memindahkan arsip yang ada di filling cabinet dipindahkan ke dalam boks arsip, untuk selanjutnya disimpan ke dalam rak arsip inaktif. Pemindahan arsip ke dalam boks arsip dilakukan dengan mengurutkan sesuai daftar, menyimpan dalam boks arsip, dan memberi label pada boks arsip. Mengingat pentingnya pemindahan arsip yang menyangkut pengalihan wewenang terhadap suatu arsip, maka dibuatlah Berita Acara Pemindahan Arsip. Dalam berita acara disebutkan waktu dan tempat pelaksanaan, jumlah dan jenis arsip yang dipindahkan, nama dan jabatan pelaksana, serta tanda tangan pimpinan Unit Kearsipan. Berita acara ini sebagai bukti bahwa sejumlah arsip telah dipindahtangankan, baik secara fisik maupun tanggung jawabnya.
Penyerahan Arsip Statis
Penyerahan arsip kepada ANRI dan Lembaga Kearsipan Daerah dilakukan sebagai betuk pertanggungjawaban nasional, karena arsip yang diserahkan adalah arsip statis yang mempunyai nilai guna kesejarahan (Jumiyati, 2010), sudah melampaui waktu penyimpanan, dan dipermanenkan sesuai pedoman retensi pencipta arsip. Arsip yang diserahkan juga harus dapat digunakan, utuh, terpercaya dan autentik (Riswati, 2014) sesudah diverifikasi oleh tim penilai.
Prosedur penyerahan arsip statis mengacu pada Peraturan Kepala ANRI Nomor 37 tahun 2016 tentang Pedoman Penyusutan Arsip. Proses penyerahan arsip dilaksanakan dalam beberapa langkah atau tahapan. Langkah pertama yaitu penyeleksian arsip yang dituangkan dalam pembuatan daftar arsip usul serah. Daftar tersebut berisi nomor dan kode klasifikasi, uraian informasi arsip, kurun waktu, serta jumlah arsip dan keterangan.
Tahap kedua adalah menilai daftar arsip usul serah dengan cara melaksanakan verifikasi fisik, yang hasilnya dibuat secara tertulis oleh penilai arsip. Tahap ketiga dalam prosedur penyerahan arsip statis adalah pemberitahuan kepada lembaga kearsipan disertai pernyataan bahwa arsip yang diserahkan merupakan arsip yang dapat digunakan, utuh, terpercaya dan autentik.
Prosedur keempat yang harus dijalankan adalah verifikasi dan persetujuan yang dilakukan oleh lembaga kearsipan atas arsip yang akan diserahkan oleh pencipta arsip. Dari hasil verifikasi tersebut, kepala lembaga kearsipan dapat memberikan rekomendasi apakah akan menerima atau menolak. Jika diterima, lembaga kearsipan memberikan persetujuan dengan menetapkan arsip yang akan diserahkan yang mengacu pada rekomendasi atau persetujuan dari lembaga kearsipan. Selanjutnya tahap terakhir dari prosedur penyerahan arsip statis adalah menyerahkan arsip statis yang dilampiri berita acara, daftar arsip usul serah, dan tentu saja arsip secara fisik.
Senada dengan uraian di atas, SZ Diamond (dalam Saeroji dkk, 2020), berpendapat bahwa penyusutan arsip dilakukan melalui 4 (empat) tahapan. Pertama, melakukan pendataan atau inventarisasi arsip untuk menentukan arsip apa yang dimiliki suatu lembaga, tersimpan dimana, berapa banyak, dan lainnya. Kedua, penilaian arsip untuk menentukan nilai guna arsip. Apakah arsip tersebut dapat dimusnahkan ataukah masuk dalam arsip statis, yang mempunyai nilai guna kesejarahan lembaga tersebut. Proses penilaian arsip mengacu pada fungsi dan substansi informasinya, serta karakteristik nilai instrisiknya (Peraturan Kepala ANRI No. 19 tahun 2011).
Ketiga, menentukan Jadwal Retensi Arsip (JRA). JRA merupakan pedoman untuk menentukan waktu penyimpanan arsip, dan rekomendasi penetapan arsip yang dinilai kembali, dimusnahkan, atau diselamatkan untuk dipermanenkan (Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU 43 tahun 2009 tentang Kearsipan). Retensi dihitung sejak waktu terciptanya dan ditentukan oleh pimpinan lembaga. Masa retensi dapat hanya beberapa hari, beberapa bulan hingga jangka waktu jauh lebih lama, misalnya 10 tahun, 20 tahun bahkan lebih (Martono, 1994). Adapun ketentuan tentang Jadwal Retensi Arsip pada lingkungan Kementerian Agama merujuk pada Keputusan Menteri Agama Nomor 120 tahun 2013 tentang Jadual Retensi Arsip Fasilitatif dan Substantif di Lingkungan Kementerian Agama.
Keempat, tahap pelaksanaan dan pengendalian. Secara teknis prosedural, penyusutan arsip ini diatur dalam Keputusan Kepala ANRI Nomor 9 tahun 2000 tentang Pedoman Penyusutan Arsip pada Lembaga-lembaga Negara dan Badan-badan Pemerintahan dan Peraturan Kepala ANRI Nomor 37 tahun 2016 tentang Pedoman Penyusutan Arsip.
Pelaksanaan prosedur penyusutan arsip yang benar akan mencapai tujuan dari dilakukannya penyusutan arsip. Selain itu penyusutan arsip hendaknya dilakukan secara berkala dan terjadwal. Tujuan umum dari penyusutan arsip adalah untuk menghemat ruang penyimpanan dan efisiensi pengelolaan, serta pemanfaatan arsip dinamis (aktif dan inaktif), penyelamatan bahan bukti kegiatan organisasi, serta memudahkan pengendalian dan pemeliharaan arsip yang masih diperlukan (Martono, 1994).
Penelitian ini dibatasi pada permasalahan prosedur penyusutan arsip sebatas yang dipahami oleh Arsiparis di lingkungan Kementerian Agama, yaitu Perguruan Tinggi Islam (UIN dan IAIN), Kantor Wilayah Kementerian Agama, Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota, Pusdiklat Admin dan LPMQ, berdasarkan pengalaman dan masa kerja responden. Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
- Bagaimana tingkat pemahaman Arsiparis di lingkungan Kementerian Agama terhadap prosedur penyusutan arsip?
- Apakah masa kerja Arsiparis mempunyai pengaruh terhadap tingkat pemahaman Arsiparis tentang prosedur penyusutan arsip?
- Apakah pengalaman dalam kegiatan penyusutan arsip di unit kerja Arsiparis mempunyai pengaruh terhadap tingkat pemahaman Arsiparis tentang prosedur penyusutan arsip?
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pemahaman Arsiparis di lingkungan Kementerian Agama tentang prosedur penyusutan arsip berdasarkan masa kerja dan pengalaman Arsiparis.
Pemusnahan Arsip
Untuk mengurangi sesaknya ruang penyimpanan, arsip seharusnya dimusnahkan jika sudah melewati masa retensinya dan tidak bernilai guna (Peraturan Kepala ANRI Nomor 25 tahun 2012). Ada dua nilai guna arsip jika ditinjau dari fungsinya. Pertama, nilai guna primer yang bermanfaat bagi pencipta arsipnya. Misalnya arsip yang berfungsi sebagai dokumen hukum, keuangan, pemanfaatan ilmu dan teknologi, serta administrasi (Mulyadi, 2018). Kedua, adalah nilai guna sekunder dari arsip statis yang dapat dijadikan sebagai bukti pertanggungjawaban nasional sekaligus memori kolektif bangsa (Mulyapradana dan Zulaekho, 2018) yang mencakup nilai evidensial (pembuktian), informasial, dan nilai guna intrinsik.
Pemusnahan arsip dilakukan dengan cara menghancurkan secara fisik dan meniadakan informasi yang melekat pada arsip tersebut sampai tidak dapat dipulihkan fungsinya (Riswati, 2014). Dalam melaksanakan pemusnahan arsip harus dilakukan secara cermat, teliti, dan hati-hati, mengingat arsip yang sudah dimusnahkan, tidak bisa diciptakan kembali sebagaimana sebelumnya. Oleh karena itu, pelaksanaan pemusnahan arsip harus melalui tahapan atau prosedur yang sudah ditentukan melalui peraturan. Berdasarkan Peraturan Kepala ANRI Nomor 25 tahun 2012 tentang Pedoman Pemusnahan Arsip, prosedur yang dilakukan dalam beberapa langkah atau tahapan. Tahap pertama adalah pembentukan panitia penilai oleh pimpinan pencipta arsip. Anggota tim penilai terdiri dari unsur Arsiparis, pimpinan unit pengolah, dan pimpinan unit kearsipan. Tahap kedua adalah penyeleksian arsip berdasarkan pada masa penyimpanannya.
Hasil dari proses penyeleksian tersebut, dibuatlah daftar arsip usul musnah. Daftar tersebut memuat nomor, tahun, jumlah, tingkat perkembangan, dan keterangan. Selanjutnya adalah penilaian dan verifikasi secara fisik terhadap arsip yang diusulkan musnah. Kelima, yaitu permohonan persetujuan pemusnahan dari pimpinan pencipta arsip. Permintaan persetujuan pemusnahan arsip perlu dilakukan agar tidak terjadi akibat hukum di kemudian hari, dikarenakan kesalahan dalam menentukan arsip yang dimusnahkan. Setelah mendapatkan persetujuan, selanjutnya ditetapkan arsip yang akan dimusnahkan.
Prosedur ketujuh, yakni pelaksanaan pemusnahan arsip, dengan cara membuat Berita Acara Pemusnahan beserta Daftar Arsip Usul Musnah. Pemusnahan arsip harus dilakukan secara total sehingga tidak dikenal lagi baik fisik maupun informasinya, sesuai dengan media simpan arsip tersebut. Sehingga pemusnahan arsip dapat dilakukan dengan pembuburan atau pulping, penggunaan bahan kimia, dibakar, dicacah maupun (Sugiarto dan Wahyono, 2005), dan mekanisme lainnya sampai arsip tersebut benar-benar musnah. Arsip baru yang tercipta akibat kegiatan pemusnahan arsip, harus disimpan oleh pencipta arsip.