Sebagai satuan kerja (satker) yang menangani kegiatan pentashihan mushaf Al-Quran, naskah mushaf yang masuk ke Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran (LPMQ) terbilang sangat banyak dan beragam. Di antara varian mushaf yang terkadang menjadi persoalan di tengah masyarakat adalah mushaf Al-Quran bertransliterasi Arab-Latin. Mushaf transliterasi ini memiliki varian yang beragam, ada mushaf dan transliterasi, mushaf terjemah dan transliterasi, mushaf per kata dan transliterasi, mushaf tajwid dan transliterasi, dan beberapa varian lainnya. Sebagian masyarakat, termasuk sejumlah tokoh agama, menghendaki agar LPMQ tidak meloloskan mushaf transliterasi, karena dinilai membodohi. Tetapi di sisi lain, tingkat kebutuhan masyarakat pada muhaf jenis ini terlihat meningkat. Grafik peningkatan ini setidaknya terlihat pada data pengajuan naskah mushaf Al-Qur’an transliterasi yang masuk ke LPMQ yang diajukan oleh penerbit.
Hasil penelitian yang dilakukan LPMQ juga menguatkan bahwa penggunaan transliterasi cukup banyak di masyarakat, mulai dari kalangan anak-anak dan remaja di tingkat sekolah, masyarakat perkotaan, hingga masyarakat di perdesaan. Termasuk pengguna juga dalam hal ini adalah para mualaf yang memang baru mengenal Islam. Penggunaan transliterasi di kalangan masyarakat ini memiliki latar belakang yang beragam. Di kalangan anak-anak dan remaja, khususnya di sekolah, kebutuhan akan transliterasi lebih dipicu oleh tuntutan sekolah yang mengharuskan siswa didiknya hafal juz 30, di kalangan menengah lebih didasari oleh pengenalan Islam yang terlambat, sementara di kalangan orang dewasa perdesaan lebih karena ketiadaan waktu dan faktor usia. Di luar itu, tentu masih banyak faktor yang melatari seseorang menggunakan transliterasi.
Lalu bagaimana hukumnya? Jumhur ulama bersepakat bahwa penggunaan transliterasi untuk membaca Al-Qur’an tidak diperbolehkan. Namun, tidak semuanya sepakat dengan pendapat tersebut. Imam ar-Ramli as-Shagir dalam fatwanya mengatakan bahwa menggunakan transliterasi dalam membaca Al-Qur’an diperbolehkan. Dari sini bisa dibuat batasan dan jalan tengah—dan ini tampaknya yang dilakukan LPMQ terkait dengan Al-Qur’an transliterasi—bahwa penggunaan transliterasi diperbolehkan hanya untuk orang-orang yang memang belum bisa membaca Al-Qur’an. Penggunaannya dalam hal ini lebih karena faktor darurat. Melalui transliterasi, masyarakat yang menggunakannya diharapkan terdorong mempelajari Al-Qur’an menggunakan huruf Arab. Untuk mendukung ini, LPMQ mensyaratkan bahwa penerbitan Al-Quran transliterasi yang diajukan penerbit harus menyertakan teks Arabnya. Ini dimaksudkan agar transliterasi betul-betul digunakan sebagai alat bantu bagi masyarakat yang memang belum bisa membaca Al-Qur’an dalam huruf Arab. (Mustopa)