Para mufasir sepakat memasukkan surah al-Buruj ke dalam kategori Makiyah. Hal ini dinyatakan, misalnya, oleh al-Bagawi, Ibnu ‘Atiyyah, ar-Razi, al-Qurtubi, al-Khazin, Ibnu Kasir, dan as-Suyuti.  Surah yang terdiri atas 22 ayat berdasarkan kesepakatan para ulama ini menempati urutan turun ke-27, yakni setelah surah asy-Syams dan sebelum surah at-Tin. Tidak dijumpai riwayat yang menjelaskan latar belakang turunnya surah ini.

Sudah menjadi konsensus para mufasir bahwa surah ad-Duha turun sebelum hijrah Nabi ke Madinah. Hal ini dikemukakan, misalnya, oleh Ibnu ‘Atiyyah, Ibnu al-Jauzi, al-Qurtubi, dan Ibnu ‘Asyur. Surah yang terdiri atas sebelas ayat berdasarkan kesepakatan para ulama ini menempati urutan turun ke-11, yakni setelah surah al-Fajr dan sebelum surah asy-Syarh.

Riwayat al-Bukhari, Muslim, dan al-Hakim menunjukkan bahwa surah ini turun pada masa awal kenabian. Pada saat itu, Nabi sudah cukup lama tidak mendapatkan wahyu dari Jibril, dikenal dengan masa fatrah al-wahy. Hal ini membuat Nabi sangat bersedih. Di sisi lain, kaum kafir Mekah makin meragukan kebenaran klaim beliau sebagai rasul. Setelah sekitar empat puluh hari berlalu, turunlah surah ad-Duha kepada beliau.

Sudah menjadi konsensus para mufasir bahwa surah al-Qari‘ah turun sebelum hijrah Nabi ke Madinah. Hal ini dikemukakan, misalnya, oleh al-Mawardi, Ibnu ‘Atiyyah, al-Qurtubi, asy-Syaukani, dan Ibnu ‘Asyur. Surah yang terdiri atas sebelas ayat dalam hitungan al-kufiyyun (ad-Dani, 1414 H.: 285) ini menempati urutan turun ke-30, yakni setelah surah Quraisy dan sebelum surah al-Qiyamah. Tidak ada keterangan mengenai latar belakang turunnya surah ini.

Surah al-Kafirun, yang terdiri atas enam ayat, diturunkan sebelum hijrah Nabi ke Madinah. Surah yang menempati urutan turun ke-18 ini, menurut al-Wahidi dan aṭ-Ṭabari, dilatari turunnya oleh ajakan sejumlah pemuka kaum kafir Mekah kepada Nabi untuk bertukar sembahan selama satu tahun. Tujuannya adalah agar kedua pihak sama-sama pernah merasakan penyembahan terhadap tuhan pihak lainnya. Dalam pandangan kaum kafir, tidak peduli tuhan siapakah yang benar, pertukaran tersebut akan memberi kesempatan bagi tiap pihak untuk setidaknya pernah merasakan berada di jalan yang benar (al-Wahidi, 1412 H.: 467). Terlepas dari kualitas sanad riwayat ini, sesungguhnya surah ini berisi penegasan kepada kaum kafir bahwa Nabi tidak setuju untuk membersamai mereka dalam kekufuran, baik pada masa sekarang maupun masa mendatang. Islam yang dibawa oleh Nabi tidak memberi ruang bagi kesyirikan.

Sebagai upaya memasyarakatkan ragam qira`at Al-Qur`an di Indonesia, Kementerian Agama RI melalui Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an menerbitkan mushaf Al-Qur`an qira`at dalam bentuk mushaf riwayat Hafs dari Imam Ashim yang diberi catatan pinggir (hamisy) riwayat Qalun dengan thariq Syathibiyyah. Mushaf yang diterbitkan tahun 2021 ini merupakan mushaf qiraat pertama yang diterbitkan Kemenag sebagai upaya pemerintah untuk melestarikan dan mengenalkan ragam qiraat selain riwayat Hafs dari Imam Ashim yang merupakan satu dari  tujuh imam qiraat yang mutawatir. Enam imam qiraat lainnya antara lain: Imam Nafi` Al-Madani, Abdullah Ibnu Katsir Al-Makky, Abu Amr Al-Basri, Abdullah ibn Amir Asy-Syami, Hamzah Al-Kufi, dan Ali Al-Kisai Al-Kufi.   

Kontak

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an
Gedung Bayt Al-Qur`an & Museum Istiqlal
Jalan Raya TMII Pintu I Jakarta Timur 13560
Telp: (021) 8416468 - 8416466
Faks: (021) 8416468
Web: lajnah.kemenag.go.id
Email: lajnah@kemenag.go.id
© 2023 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an. All Rights Reserved