Jalin kerja sama dengan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ,) Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuludin Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor Ponorogo, gelar Seminar Nasional dengan tema Mushaf Al-Qur’an dan Rasm Usmani, Selasa, 27 Agustus 2024 di Ponorogo. Hadir pada acara ini Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin, Dr. Aqdi Rofiq Asnawi, Lc, MA. dan sejumlah narasumber, H. Muhammad Musadad, M.Ag., H. Achmad Khotib, MA, Anton Zaelani, MA. Hum dan Dr. H. Zaenal Arifin, MA.
”Seminar ini diharapkan bisa memantik minat para mahasiswa program studi Ilmu Al-Qur’an dalam kajian-kajian ilmu Al-Qur’an secara spesifik dan termotivasi menulis dan meneliti tema-tema Ulumul Qur’an yang masih belum banyak dielaborasi mahasiswa, seperti ilmu rasm usmani dan cabang ilmu-ilmu Al-Qur’an lainnya,” jelas Dr. Aqdi di awal sambutannya.
Muhammad Musaddad dalam paparannya menjelaskan bahwa diantara tugas dan fungsi LPMQ adalah melakukan pentashihan mushaf Al-Qur’an. Kegiatan pentashihan mushaf Al-Qur’an ini meniscayakan para pentashih yang disyaratkan harus hafal Al-Qur’an juga menguasi minimal tiga cabang ilmu Al-Qur’an; Rasm, Dhabt dan tanda waqaf. Dengan bekal ilmu tersebut mushaf-mushaf Al-Qur’an yang akan diterbitkan bisa maksimal dan terhindar dari kesalahan secara akademis. ”Semua materi pentashihan tersebut seharusnya sudah ada di Program Studi Ilmu Al-Qur’an,” tambah Musadad.
Sementara Ahmad Khatib menjelaskan dari aspek regulasi, bahwa bangsa Indonesia telah memiliki standar pentashihan mushaf Al-Qur’an yang semuanya merujuk pada Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 25/1984 dan Peraturan Menteri Agama (PMA) 44/2016.
”Faktanya, banyak terjadi kesalahan presepsi di masyarakat terkait isu rasm usmani pada mushaf Indonesia. Banyak yang menduga bahwa yang paling usmani adalah mushaf Madinah. Padahal rasm usmani Mushaf Madinah pada ranah ilmiah sebenarnya hanya salah satu dari riwayat rams usmani yang menginduk pada riwayat Abu Dawud saja. Selain itu, beberapa pengkaji salah memahami konsep rasm usmani yang mencampuradukkan dengan aspek dhabt-nya,” jelas Khotib.
Kajian lebih spesifik terkait rasm selanjutnya disampaikan Anton Zailani, terutama berkaitan dengan bagaimana pebedaan rasm itu bisa terjadi dan lazim dalam penulisan Al-Qur’an dan dapat dianalisis argumentasinya.
”Kenapa penulisan kata bi-aydin dalam surah Az-Zariyat/51: 47 ditulis dengan dua ya? Yang artinya, ”Langit Kami bangun dengan tangan (kekuatan Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskan(-nya).” Kenapa rasm-nya demikian? Menurut sebagian ulama rasm (syuyukh al-naql) diantara sirr-nya rasm usmani adalah ketika tulisannya ada penambahan (ziyadah) hal ini menunjukkan akan ziyadah juga dalam makna, dalam konteks ayat di atas adalah kekuatan,” jelas Anton.
Pada sesi terakhir, Zainal Arifin menjelaskan beberapa poin penting rasm Utsmani yang sering disalahfahami akademisi dan pemerhati Al-Qur’an. Pertama, bahwa rasm adalah jism al-harf (batang tubuh huruf) dengan menafikan titik dan harakat. Kedua, rasm usmani juga bukan kaligrafi atau ilmu khat. Penulisan kata nunji al-mu’minin dengan nun yang berdiri sendiri (al-Anbiya/21: 88), misalnya, bukan karena khattat-nya lupa menuliskan, akan tetapi karena memang periwayatan rasm-nya demikian. Terakhir, Zainal menegaskan bahwa penulisan Al-Qur’an dengan rasm usmani juga tidak bisa hanya mencukupkan dengan satu riwayat, namun tetap meniscayakan riwayat yang lain. Itulah kenapa Ibn al-Jazari dalam karyanya an-Nasyr mendudukkan rasm sebagai salah satu dari tiga rukun qira’ah sahihah. (znl)