Muchlis Hanafi: Moderasi Beragama Berbeda dengan Konsep Wasatiyyatul Islam

Menurut Dr. Muchlis M Hanafi, MA, moderasi beragama yang gencar diarusutamakan oleh pemerintah sudah menjadi istilah yang memiliki definisnya sendiri. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa term moderasi beragama di Indonesia memiliki perbedaan dengan wasatiyyatul Islam.

“Moderasi beragama adalah istilah yang sudah memiliki definisinya sendiri. Moderasi adalah bagian dari wasatiyatul Islam yang memiliki dimensi lebih luas,” jelas Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) periode 2015-2022 dalam kapasitasnya sebagai narasumber kegiatan Kajian Penyusunan Bahan Bacaan Tafsir untuk Penguatan Moderasi Beragama, Kamis (04/05) di Jakarta Selatan. 

Definisi moderasi beragama yang dimaksud Muchlis adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan bersama.

Dikatakan Muchlis, kata kunci dari definisi tersebut adalah menjaga kemaslahatan bersama dalam kehidupan beragama dan berbangsa. Hal itu dapat dimengerti karena moderasi beragama digulirkan merespon isu aktual soal tingginya sikap intoleransi di masyarakat dan adanya kecenderungan menurunnya tingkat kerukunan antar umat beragama di masyarakat.

“Perlu dilihat, sebab digulirkannya (asbab wurud) mengapa program moderasi ini muncul yaitu adanya sejumlah isu aktual perihal tingginya intoleransi di masyarakat dan rendahnya tingkat kerukunan antar umat beragama,” jelasnya.

Muchlis melanjutkan, yang dikehendaki dari moderasi beragama adalah mewujudkan masyarakat yang mampu menyikapi dan mengelola perbedaan dengan baik. Mampu menghargai pandangan orang lain yang berbeda meskipun tidak sependapat.

“Anda boleh memiliki keyakinanan apa pun, selama untuk diri anda sendiri, tetapi bila keyakinan itu disebarluasakan dan berpotensi merusak kebersamaan, maka sikap itu tidak moderat dan negara wajib mengatur,” tambah Muchlis menjelaskan.

Titik tekannya dalah pada aspek kemaslahatan bersama dalam beragama dan berbangsa. Terkait itu, negara memiliki tiga posisi; pertama, negara wajib mengatur pemberlakuan syariat agama terkait penegakan nilai-nilai universal yang kebenarannya diakui semua agama, kedua, negara boleh hadir mengatur bila terkait kebenaran yang diakui oleh agama tertentu, ketiga, negara tidak boleh mengatur baik mewajibkan atau melarang, terkait pemberlakuan syariat yang masih khilafiyah dalam satu agama atau hal-hal yang bersifat individual.

“Dalam hal ini, posisi negara tidak dalam upaya menggiring pada pandangan tertentu. Tetapi bagaimana menfasilitasi dan mengelola ragam pandangan yang ada dalam koridor kemaslahatan bersama,” terang putra Betawi yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Utama (Sestama) BAZNAS.

Mengomentari buku yang sedang disusun, Muchlis mengusulkan agar ada distingsi khusus yang membedakan dengan produk kajian serupa yang pernah dilakukan Badan Litbang dan Diklat. Menurutnya, pertanyaan-pertanyan yang dimunculkan masih banyak bersifat konseptual. Belum banyak mengakomodir pertanyaan-pertanyaan yang aplikatif dan praktis, seperti tentang salam lintas agama, memilih pemimpin non muslim, mangaminkan doa umat agama lain, dan lainnya.

“Buku tanya jawab moderasi beragama terbitan LPMQ harus ada distingsinya. Saya masih melihat banyak pertanyaan-pertanyaan yang bersifat konseptual, pertanyaan yang aplikatif dan praktis belum banyak diakomodir.” Tandas Muchlis. [bp]

Editor: Mustopa

Kontak

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an
Gedung Bayt Al-Qur`an & Museum Istiqlal
Jalan Raya TMII Pintu I Jakarta Timur 13560
Telp: (021) 8416468 - 8416466
Faks: (021) 8416468
Web: lajnah.kemenag.go.id
Email: lajnah@kemenag.go.id
© 2023 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an. All Rights Reserved