Penafsiran Al-Qur’an selalu menjadi medan yang menuntut kehati-hatian. Para ulama sejak dahulu memahami bahwa menafsirkan firman Tuhan berarti memasuki wilayah makna yang sangat luas, sementara kemampuan manusia selalu terbatas. Itulah sebabnya Gus Baha[1] sering mengingatkan bahwa tafsir bisa saja mempersempit makna Al-Qur’an. Apa yang dipahami oleh seorang mufasir hanyalah salah satu sudut kecil dari keluasan makna ayat. Karena itu, kata beliau, penafsiran bisa saja salah, tetapi ayatnya sendiri tidak pernah salah.[2] Titik rawan kesalahan itu tidak mungkin berada pada teks suci, tetapi pasti terletak pada manusia yang menafsirkannya—baik karena kurang teliti, keliru membaca, atau hanya mengandalkan rujukan sekunder.
Salah satu hal yang tampaknya sederhana tetapi sesungguhnya sangat penting dalam dunia tafsir adalah ketepatan menyebutkan nama tokoh. Dalam banyak kasus, sebuah kesalahan kecil dalam penyebutan nama dapat menimbulkan efek domino: jalur periwayatan berubah, kredibilitas riwayat bergeser, dan kesimpulan penafsiran menjadi tidak berdiri di atas landasan yang benar. Gus Baha menyoroti hal ini dengan sangat serius. Beliau menjelaskan bahwa banyak peneliti atau sarjana modern begitu bersemangat membuat analisis panjang dan menarik, tetapi justru kurang memperhatikan ketepatan data dasar seperti nama perawi atau ulama yang dirujuk. Padahal, dalam tradisi keilmuan Islam, mengenali tokoh adalah bagian dari disiplin ilmu yang sangat kuat, seperti ilmu rijāl al-hadist yang digunakan untuk mempelajari biografi para perawi hadis.
Gus Baha pernah mencontohkan kekeliruan yang ia temui: misalnya ada penulis yang mencantumkan nama “Ali bin Abi Thalib dan al-Auf bahwa Ibnu Abbas…”[3], padahal riwayat yang dimaksud berasal dari tokoh lain, yakni “Ali bin Abi Thalhah”. Sepintas perbedaan ini terlihat sepele, tetapi dampaknya tidak kecil. Ali bin Abi Thalhah adalah salah satu perawi jalur tafsir Ibn ‘Abbas yang sering dicatat dalam kitab-kitab besar seperti Tafsīr al-Tabarī dan Tafsīr Ibn Kathīr. Ketika namanya tertukar dengan Ali bin Abi Thalib—tokoh besar dalam Islam—maka konteks riwayat berubah, penilaian sanad menjadi salah, dan pembaca mendapat gambaran yang keliru mengenai siapa sumber asli tafsir tersebut. Kesalahan dalam nama berarti kesalahan pada riwayat, dan kesalahan pada riwayat berarti kesalahan pada tafsir.
Menurut Gus Baha, akar masalah ini sering muncul karena para akademisi modern lebih tertarik pada pembahasan besar seperti teori, hermeneutika, atau analisis sosial, tetapi kurang sabar untuk memeriksa detail teknis yang justru menjadi fondasi keilmuan. Mereka banyak menggunakan ringkasan, terjemahan, atau kutipan dari penulis lain tanpa kembali memverifikasi kitab primer. Padahal, tradisi ulama klasik menuntut ketelitian tingkat tinggi: tidak ada satu nama pun yang boleh disebut tanpa bukti, tidak ada satu riwayat pun yang boleh dipakai tanpa memastikan sumbernya. Ketelitian seperti ini hanya bisa dijaga bila peneliti merujuk kitab-kitab muktabarah yang memang sudah lama menjadi standar keilmuan, seperti Tafsīr al-Tabarī, al-Itqān karya as-Suyuthi, al-Burhān karya al-Zarkasyi, Tahdzīb al-Tahdzīb karya Ibn Hajar, atau Siyar A‘lam al-Nubalā’ karya al-Dzahabi.
Kitab-kitab tersebut bukan hanya berisi penjelasan tentang ayat, tetapi juga informasi detail tentang para tokoh—siapa guru mereka, siapa murid mereka, bagaimana reputasi mereka, dan dari mana riwayat itu berasal. Tanpa pengetahuan ini, penafsiran menjadi goyah karena berdiri di atas data yang tidak jelas. Tradisi akademik Islam sejak berabad-abad lalu sudah menekankan prinsip bahwa kesalahan sekecil apa pun dalam penyebutan nama dapat berujung pada kesalahan besar dalam pemahaman agama. Karena itu, ketelitian bukan hanya sifat kerja ilmiah, melainkan amanah moral dan intelektual.
Pada akhirnya, pesan yang ingin ditekankan Gus Baha adalah bahwa penafsiran Al-Qur’an harus dilakukan dengan penuh kerendahan hati. Bila tafsir hanyalah salah satu pintu kecil dari keluasan makna Al-Qur’an, maka setiap langkah dalam proses penafsiran wajib dilakukan dengan kehati-hatian penuh. Kesalahan dalam menyebutkan tokoh, meskipun terlihat sederhana, dapat mengacaukan bangunan tafsir dari akar sampai pucuknya. Semangat analisis memang penting, tetapi ia harus didampingi oleh ketelitian, verifikasi, dan kejujuran ilmiah. Tanpa itu, penafsiran hanya akan menambah panjang daftar kekeliruan yang seharusnya bisa dihindari.
Kesimpulan
Narasi yang diingatkan oleh Gus Baha menunjukkan bahwa akurasi dalam menyebutkan tokoh adalah bagian dari fondasi penafsiran Al-Qur’an. Ketelitian bukan hanya aspek metodologis, tetapi bagian dari integritas keilmuan. Kesalahan dalam penyebutan nama dapat menggoyahkan keseluruhan bangunan tafsir, karena identitas tokoh terkait dengan kredibilitas riwayat, konteks sejarah, dan penilaian sanad. Oleh sebab itu, verifikasi melalui kitab-kitab primer dan sikap hati-hati dalam pengutipan menjadi bagian tak terpisahkan dari amanah ilmiah seorang penafsir. Tafsir memang bisa salah, tetapi Al-Qur’an tidak pernah salah; karena itulah manusia wajib berhati-hati dalam setiap langkah memahami dan menjelaskan ayat-ayat-Nya.
[1] KH. Ahmad Bahauddin Nursalim atau pupuler dengan sebutan Gus Baha menjadi salah satu pakar tafsir yang di jadikan Kemenag RI melalui LPMQ sebagai rujukan dalam penyempurnaan Tafsir Tahlili.
[2] Disampaikan pada ngaji tafsir di PP. LP3IA pada tanggal 29 November 2025
[3] Lihat Al-Qur’an dan Tafsir Tafsirnya, Jilid 3, Cet. 2011, hal. 249. Namun perlu diketahui, catatan ini menjadi temuan Gus Baha dan akan disempurnakan oleh Tim Pengembang Tafsir Kemenag RI untuk percetakan selanjutnya.

