Tulisan ini berangkat dari salah satu penjelasan Gus Baha dalam ceramahnya[1] ketika beliau menyinggung ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang bumi, air, tumbuhan, dan tanggung jawab manusia sebagai pengelola alam. Dengan gaya beliau yang khas: ringan, logis, tetapi sarat kedalaman, uraian Gus Baha menunjukkan bahwa isu lingkungan hidup bukanlah temuan modern, melainkan bagian dari pesan ilahi sejak wahyu pertama kali diturunkan. Artikel ini mencoba mengolah, merangkai, dan menarasikan ulang pemikiran beliau ke dalam bentuk tulisan, tanpa mengubah esensi gagasan yang disampaikan.
Gus Baha memulai penjelasannya dengan menyoroti Surah al-Mulk ayat 16–17. Pada ayat itu, Allah mempertanyakan apakah manusia benar-benar merasa aman dari kemungkinan bumi dibenamkan atau badai batu dikirimkan kepada mereka. Tafsir Tahlili Kemenag menegaskan bahwa ayat tersebut merupakan teguran bagi manusia yang bersikap pongah terhadap kekuasaan Allah, seakan-akan hidup mereka akan baik-baik saja meskipun mengabaikan aturan dan peringatan-Nya.[2] Ketika Gus Baha membacakan ayat ini, beliau memberi penekanan yang khas: ancaman tersebut bukan hanya ancaman metafisik, tetapi memiliki makna yang sangat nyata. Beliau menjelaskan bahwa mayoritas kitab tafsir sepakat mengartikan kata tamūr sebagai at-taḍrību wa-tartafi‘u fawqakum, yakni “bumi yang bergelombang dan menggeliat di atas kalian.” Artinya, ayat ini menggambarkan sebuah situasi di mana bumi bisa tiba-tiba bergerak, berguncang, atau mengamuk ketika manusia melampaui batas. Ini adalah refleksi mendalam bahwa ketika manusia merusak alam dan menyalahi etika hidup, keseimbangan bumi bisa terganggu secara nyata.
Setelah menggambarkan ancaman ekologis itu, Gus Baha mengarahkan perhatian pada Surah al-Mulk ayat 30, yang mempertanyakan bagaimana jika air sebagai sumber kehidupan utama, tiba-tiba menghilang, terserap ke dalam tanah, dan tak seorang pun mampu mendatangkannya kembali. Gus Baha menekankan bahwa ayat ini seharusnya membuat manusia hati-hati dalam mengelola bumi. Sehingga beliau sangat berbahagia dengan gerakan-gerakan menyelamatkan bumi.
Penjelasan Gus Baha berlanjut dengan membacakan Surah ‘Abasa ayat 24–32, yang memerintahkan manusia memperhatikan makanan mereka, sebuah ajakan merenung yang mungkin terkesan sederhana, tetapi sangat dalam. Rangkaian ayat ini menjelaskan bahwa Allah tidak sekadar menyuruh manusia bersyukur, tetapi mengarahkan kita untuk menyadari proses ekologis yang rumit di balik sebutir makanan: dari hujan yang dicurahkan berlimpah, tanah yang dibelah, kecambah yang muncul, lalu pohon yang tumbuh hingga menghasilkan buah, sayuran, dan rerumputan. Tafsir Kemenag bahkan menguraikan aspek ilmiah dari proses ini, seperti pergerakan partikel tanah akibat air dan bagaimana tanah menyimpan air seperti reservoir alami sebelum benih siap berkecambah.[3] Menurut Gus Baha, uraian detail ini menunjukkan betapa telitinya Allah dalam mengatur ekosistem bumi dan ini merupakan suatu “prestasi” ilahi yang sering kita abaikan.
Sebagai penguat dimensi ibadah dalam penjagaan alam, Gus Baha membawa hadis Nabi tentang keutamaan menanam pohon. Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah menyatakan bahwa siapa pun yang menanam pohon, lalu dimakan manusia, hewan, atau makhluk lain, maka baginya pahala sedekah.[4]. Gus Baha menilai bahwa hadis ini membuktikan bahwa betapa besar perhatian Islam terhadap kelestarian alam. Menanam pohon bukan hanya kerja sosial, tetapi ibadah yang pahalanya terus mengalir. Bahkan beliau juga mengutip perkataan Ulama “takhalluq bi akhlāqillāh” artinya: berusaha meniru akhlak Allah yang memberi kehidupan dan manfaat bagi seluruh makhluk.
Sebaliknya, Gus Baha juga mengingatkan bahaya sebaliknya: ketika manusia merusak bumi, mereka pada dasarnya sedang melakukan fasad, kerusakan yang dikecam dalam Surah al-Baqarah ayat 205. Ayat itu menggambarkan sosok yang menipu dengan kata-kata manis, tetapi ketika berkuasa merusak tanaman, membinasakan ternak, dan menebarkan kekacauan. Tafsir Tahlili menjelaskan bahwa kerusakan ini adalah bukti kerusakan hati.[5] Contoh fasad dalam kehidupan modern misalnya dalam bentuk penebangan hutan, pencemaran air, hingga eksploitasi alam yang mengorbankan generasi mendatang. Dalam perspektif Al-Qur’an, merusak lingkungan berarti merusak tatanan yang Allah ciptakan dengan sempurna, dan itu tidak disukai-Nya.
Dari penjelasan Gus Baha terlihat jelas bahwa menjaga bumi bukan sekadar program sosial atau gerakan aktivis, tetapi bagian dari iman. Setiap ayat yang berbicara tentang air, tumbuhan, tanah, dan bumi adalah ajakan untuk merenungkan betapa rapuh sekaligus berharganya alam yang kita tempati. Allah memberi manusia amanah untuk mengelolanya, bukan menguasainya secara semena-mena. Dengan merawat bumi, manusia sedang merawat akalnya, jiwanya, dan hubungannya dengan Sang Pencipta.
KESIMPULAN
Gagasan Gus Baha tentang ekologi dalam Al-Qur’an menunjukkan bahwa ajaran Islam menempatkan lingkungan sebagai bagian tak terpisahkan dari iman. Peringatan tentang bencana alam dalam Surah al-Mulk, refleksi tentang air dalam ayat 30, uraian ekologis dalam Surah ‘Abasa, serta hadis tentang menanam pohon semuanya membentuk satu kesadaran bahwa manusia adalah penjaga bumi. Merusak alam berarti merusak amanah, sedangkan merawatnya adalah ibadah yang pahalanya terus mengalir. Di tengah krisis lingkungan global, pesan-pesan ini menjadi semakin relevan dan mendesak untuk dipraktikkan.
[1] Disampaikan dalam acara International Conference on Islamic Ecotheology for the Future of the Earth (ICIEFE) 2025 yang digelar di Jakarta, Senin malam (14/7/2025). Berikut Linknya: https://youtu.be/uKykDouuDlU?si=ouB_46fsb1-jhvak
[2] Lihat Kemenag RI,. Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 10 (2012). Hal. 244-245
[3] Lihat Kemenag RI,. Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 10 (2012). Hal. 553-555
[4] Hadis hadis tentang keutamaan menanam pohon bisa juga dilihat dalam tulisan Alhafiz Kurniawan: https://islam.nu.or.id/ilmu-hadits/hadits-seputar-keutamaan-menanam-pohon-YmVMN
[5] Lihat Kemenag RI,. Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 10 (2012). Hal. 278