Tanda tashih adalah selembar surat resmi yang dikeluarkan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) kepada penerbit Mushaf Al-Qur’an sebagai bukti bahwa master mushaf Al-Qur’an yang akan diterbitkannya sudah ditashih oleh tim pentashih LPMQ. Pihak penerbit harus menyertakan surat tanda tashih itu dalam produk Al-Qur’an cetakannya. Umumnya diletakkan dibagian depan, setelah sampul, ada juga yang meletakkan di bagian belakang.
Tanda tashih memiliki kekhasan tersendiri. Berbeda dengan surat-surat resmi yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah yang lain. Kekhasan itu khususnya pada aksara yang digunakan. Tanda tashih mengunakan ‘aksara Arab berbahasa Indonesia’. Banyak yang menyebutnya dengan huruf pegon, meskipun penyebutan itu menurut saya kurang tepat, karena huruf pegon dipergunakan untuk aksara Arab berbahasa Jawa, biasanya disertai pemberian tanda baca pada huruf tertentu. Mungkin, lebih tepatnya disebut dengan aksara Jawi atau aksara Arab berbahasa Indonesia (Melayu). Tanpa harakat atau gundul.
Format penulisan surat tanda tashih secara berurutan pada setiap paragrafnya, sebagai berikut: diawali dengan kalimat basmalah, kemudian tulisan tanda tashih, nomor surat dan kode surat, tulisan pernyataan LPMQ telah mentashih mushaf Al-Quran ‘jenis tertentu’ yang dikeluarkan oleh ‘penerbit tertentu’, nama percetakan, ukuran mushaf, tempat dan waktu pencetakan, dan diakhiri dengan bubuhan tanda tangan oleh kepala LPMQ beserta sekretaris dan dilengkapi dengan stempel LPMQ. Semua keterangan dalam surat tanda tashih ditulis dengan aksara Arab berbahasa Indonesia. Kecuali nomor surat dan kode surat, berakasara Latin.
Pada pelaksanaan Sidang Reguler Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Rabo (22/03) di Bogor, Muchlis M. Hanafi selaku kepala LPMQ) menyampaikan prihal format baru tanda tashih tahun 2017 yang mengacu pada PMA NO. 44 tahun 2016. Menurut Muchlis, dalam PMA No. 44 tahun 2016 tersebut ditetapkan bahwa tanda tashih ditulis dengan menggunakan huruf pegon. Sedangkan yang bertanda tangan dalam tashih adalah atas nama pejabat kantor. Kepala LPMQ dan sekretaris. Berbeda dengan tanda tashih yang dahulu, yang dikeluarkan atas nama anggota tim pentashih yang berjumlah 29 orang.
“Tahun ini 2017 tanda tashih akan kita rubah. Kita harus taat aturan, sesuai dengan PMA terbaru No. 44 tahun 2106. Tanda tashih akan kita kembalikan lagi seperti dahulu”, jelas Muchlis.
Tetang penggunaan huruf pegon, sebagaimana intruksi PMA 44 tahun 2016. Menurut Muchlis, sebetulnya ada sedikit persoalaan yang dilematis dan sempat dibahas cukup panjang, yaitu soal substansi dan fungsi penulisan dengan huruf pegon tersebut.
“Saat ini, tidak semua orang menguasi cara baca huruf pegon” terang Muchlis.
Tentang hal ini, dia menceritakan sebuah kejadian nyata yang pernah dialaminya, ada serombongan pegawai dari sebuah instansi pemerintahan yang datang ke LPMQ dan menanyakan tanda tashih dalam Al-Quran terbitan Kementerian Agama. Saat itu, sedang terjadi polemik terjemah surah al-Maidah 51. “saya tunjukkan tanda tashihnya, baru mereka tahu” seraya tersenyum. Selama ini mereka tidak mengerti karena tidak menguasai cara baca huruf pegon.
Atas kejadian tersebut Muchlis berinisiatif menambahkan terjemah huruf Latin dalam surat tanda tashih, untuk mempermudah orang-orang yang belum menguasai cara baca huruf pegon. Dengan demikian, “huruf pegon tetap dipakai dalam surat tanda tashih”, jelas Muchlis.
Adapun nama-nama anggota tim pentashih juga tetap dicantumkan, meskipun surat tanda tashih yang dikeluarkan itu atas nama kantor. Artinya yang bertanda tangan di situ sebetulnya cukup kepala kantor dan sekretaris.
Namun demikian, Muchlis tetap menginginkan nama-nama pentashih . Sambil bercanda dia mengatakan, “kalau ada apa-apa dengan mushaf Al-Qur’an, biar tidak saya sendirian yang disalahkan masyarakat” ucap Muchlis disambut tawa peserta sidang. bp