Kesimpulan tersebut muncul dalam diskusi  pada acara Desiminasi Hasil Kajian Al-Qur'an Braille yang diselenggarakan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an (LPMQ) di Masjid Raya Syeikh Zayed Solo (Jumat, 21/07/2023).

Diskusi yang dimoderatori oleh Zainal Anwar tersebut menghadirkan 3 narasumber: Yayat Rukhiyat, anggota tim penyusunan Al-Qur'an Braille; Gus Karim, Imam Besar MRSZS; dan Widadi, aktivis tunanetra Solo Raya.

Dalam kesempatan pertama,  Yayat Rukhiyat yang juga pernah menjabat Ketua Umum DPP ITMI menceritakan sejarah panjang terkait eksistensi Al-Qur'an Braille hingga saat ini. Kementerian Agama, khususnya dalam hal ini LPMQ telah memberikan andil besar dalam memfasilitasi hadirnya Mushaf Al-Qur'an Standar Edisi Revisi dan Penyempurnaan. LPMQ selalu hadir dalam merespon setiap aspirasi yang muncul dari para praktisi maupun pakar Al-Qur'an Braille.

Di sisi lain, problematika yang dihadapi sahabat tunanetra dalam mengakses pembelajaran Al-Qur'an Braille tidak kecil. Widadi, mewakili para tunanetra Solo Raya berharap agar masjid menjadi tempat yang ramah terhadap penyandang  disabilitas dalam melakukan aktivitas beribadah dan belajar Al-Qur'an.

Sementara itu, Gus Karim, salah satu Imam Besar MRSZS mengutarakan hal yang senada. Untuk menciptakan inklusivitas dan kesetaraan, menurutnya masjid harus ramah dalam memberikan layanan ibadah kepada penyandang disabilitas, terutama dalam memberikan ruang dan fasilitas untuk mempelajari Al-Qur'an.

Diskusi yang diikuti oleh sahabat tunanetra dari sejumlah komunitas dan lembaga di Solo Raya serta undangan dari sejumlah pengurus masjid setempat menegaskan bahwa kehadiran produk-produk LPMQ, seperti Al-Qur'an Braille dan Al-Qur'an Isyarat dapat mendorong masjid menjadi tempat yang ramah untuk para penyandang disabilitas dalam mempelajari Al-Qur'an. (MRA)

Editor: Mustopa