Menafsirkan A-Qur’an dengan pendekatan sains atau dikenal dengan tafsir Ilmi sudah lama diperdebatkan oleh para ulama dari masa klasik hingga abad modern. Hal itu disampaikan oleh Dekan Fakultas Ushuludin Universitas Al-Azhar Mesir, Prof. Dr. Abdul Fattah yang berkesempatan menjadi salah satu narasumber dalam Seminar Internasional bertema “Menyingkap Mukjizat Ilmiah Al-Qur’an” yang diselenggarakan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ), Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI secara virtual pada hari Rabu, (30/9) di Jakarta.
Beberapa ulama yang diidentifikasi mendukung bolehnya menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan sains antara lain, Imam al-Gazali, Imam as-Suyuthi, Imam ar-Razi, dan al-Mursyi. Sementara kelompok yang menolak di antaranya Imam asy-Syatibi. Dari kalangan ulama modern mereka yang mendukung antara lain seperti, Muhammad Abduh, Tantawi Jauhari, dan Ahmad Hanafi, yang bersebrangan di antaranya Mahmud Syaltut, Amin al-Khulli, dan Abbas Aqqad.
Menurut Abdul Fattah, mereka yang mendukung seperti al-Gazali, misalnya mengatakan bahwa Al-Qur’an mencakup segala ilmu pengetahuan. Bahkan, Abdul Aziz Maqismail, ulama Islam kekinian yang berlatar belakang sains, menyatakan, mungkin pada suatu saat nanti, orang yang mulia adalah kalangan saintis yang berhasil mengaitkan temuan-temuan sains dengan Al-Qur’an hingga mempertebal keimanan umat Islam. Adapun mereka yang menentang mengatakan, teori-teori atau temuan-temuan ilmiah yang digali dari Al-Qur’an itu relatif kebenarannya. Yang sekarang benar, bisa jadi besok salah. Karena itu adalah hasil pemikiran manusia yang tidak bisa dipastikan kebenarannya. Sesuatu yang bersifat nisbi tidak bisa dijadikan sandaran sebagai hasil dari penafsiran Al-Qur’an.
Menyikapi dua pendapat ulama ini, Abdul Fattah memilih berada di tengah. “Saya berada di tengah, di antara dua kecenderungan pendapat yang menolak atau menerima. Bila dikatakan bahwa Al-Qur’an tidak mengandung isyarat ilmiah sama-sekali, itu adalah sikap yang ekstrim, dan sebaliknya, mengatakan Al-Qur’an mengandung segala bentuk ilmu pengetahuan, juga tidak benar,” urainya, seperti disampaikan oleh Muhammad Arifin, MA, selaku penerjemah dalam kegiatan ini.
Abdul Fattah selanjutnya menyampaikan tiga syarat diterimanya pendekatan sains dalam menafsirkan Al-Qur’an, pertama, hasil penafsiran Al-Qur’an tidak boleh keluar dari tujuan utama diturunkannya Al-Qur’an, yaitu sebagai kitab hidayah. Apa pun upaya penafsiran ilmiah atau temuan i’jaz Al-Qur’an harus diarahkan kepada hidayah. Kedua, harus ada unsur yang menunjukkan keagungan Al-Qur’an. Jangan sampai upaya membahas tafsir ilmi malah merendahkan Al-Qur’an bila dibandingkan dengan temuan-temuan sains yang sedemikian maju. Ketiga, pastikan tidak ada kontradiksi antara ayat-ayat kauniyah yang menjadi dasar pengembangan temuan ilmiah dengan Al-Qur’an dan sains.
Dengan mantab Abdul Fattah mengatakan, “Kita boleh manafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara ilmiah, menggali ilmu pengetahuan dengan berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an, dan boleh menghubungkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan hasil-hasil temuan sains dengan tiga persyaratan di atas,” tegasnya.
Pernyataan itu kemudian ia lanjutkan dengan memberi argumen tambahan, “Dahulu Al-Qur’an dikaji oleh para ulama dalam aspek kemukjizatan tata bahasa, satra, atau balagah-nya, hal itu menjadi tepat bagi mereka yang berbahasa Arab. Sedangkan bagi mereka yang tidak memahami Bahasa Arab akan kesulitan merasakan kemukjizatan Al-Qur’an dalam aspek itu. Padahal Rasulullah Saw diturunkan untuk semua umat manusia. Maka, pada aspek ilmu pengetahuanlah, semua orang, baik orang Araba atau non Arab memiliki kesempatan yang sama. untuk memahami kemukjizatan Al-Qur’an,” pungkasnya. [bp]