Prof. Darwis Hude menegaskan bahwa penyempurnaan Tafsir Kementerian Agama (Kemenag) merupakan langkah penting yang harus terus dilakukan tanpa rasa takut terhadap kritik. Hal ini ia sampaikan dalam kegiatan Penyempurnaan Al-Qur’an dan Tafsirnya yang diadakan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) di Jakarta Timur, Kamis (6/3/2025).
Dalam kesempatan tersebut, Prof. Darwis mengenang keterlibatannya di awal penyusunan Tafsir Kemenag. Ia bercerita bahwa sejak tahun 1977, saat mendapat beasiswa di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, ia telah mendampingi Kyai Amin Nasir, salah satu penulis tafsir era 1970-an.
“Tahun 1977, saya ke Jakarta mendapat beasiswa PTIQ. Saat itu, Kyai Amin Nasir meminta saya mendampinginya. Beliau membaca tafsir Al-Maraghi, sementara saya mengetiknya dengan mesin ketik,” ungkap Darwis.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ada anggapan bahwa Tafsir Kemenag banyak merujuk pada Tafsir Al-Maraghi. Namun, Darwis menegaskan bahwa tafsir tidak bersifat mutlak. “Yang mutlak benar adalah teks Al-Qur’an. Tafsir adalah upaya manusia dalam memahami makna Al-Qur’an. Maka, jangan khawatir jika ada kritik. Dalam penyempurnaan, pasti ada kekurangan, yang terpenting adalah membenahi hal-hal mendasar yang memang keliru,” jelasnya.
Dalam forum tersebut, Prof. Darwis menyampaikan beberapa masukan bagi tim penyusun Tafsir Kemenag, di antaranya:
- Tafsir negara harus berperan dalam menjaga keharmonisan masyarakat, menghindari pemaknaan yang berpotensi menimbulkan perpecahan.
- Istilah-istilah yang dapat menimbulkan perdebatan sebaiknya dieliminasi atau dijelaskan dengan bijak.
- Bahasa Al-Qur’an bersifat statis, sedangkan bahasa Arab dan bahasa Indonesia terus berkembang. Oleh karena itu, pilihan diksi dalam tafsir harus menyesuaikan dengan perkembangan bahasa agar mudah dipahami oleh pembaca masa kini. Contohnya, kata-kata seperti kisanak, belabas, dan al-mari dalam bahasa Indonesia sudah jarang digunakan dan sebaiknya diganti dengan istilah yang lebih familiar.
Selain itu, ia juga menekankan pentingnya keselarasan antarproduk LPMQ agar tidak terjadi kontradiksi. “LPMQ sudah memiliki tafsir ringkas, itu harus menjadi bahan utama. Jangan sampai ada perbedaan mendasar antara Tafsir Ringkas dan Tafsir Kemenag,” tambahnya.
Ia pun menyarankan agar Tafsir Kemenag ditulis dalam bahasa ilmiah populer agar dapat menjangkau berbagai kalangan, tidak hanya akademisi tetapi juga masyarakat umum. “Bahasa yang digunakan harus lebih komunikatif dan tidak terlalu kaku, sehingga pesan dalam tafsir dapat lebih mudah diterima oleh masyarakat luas,” imbuhnya.
Kegiatan ini turut dihadiri oleh anggota Jabatan Fungsional Pengembang Tafsir Al-Qur’an (JF PTQ) dan Jabatan Fungsional Pentashih Mushaf Al-Qur’an (JF PMQ). Kedua jabatan fungsional tersebut diharapkan dapat berkolaborasi dalam proses penyempurnaan Tafsir Kemenag.