Dalam kegiatan Diseminasi Hasil Kajian Al-Qur'an di UIN Sultan Thaha Saifuddin, Jambi, Senin (25/11), salah seorang mahasiswi bertanya kepada Dr. Muchlis M. Hanafi, MA, Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an (LPMQ) yang bertindak sebagai narasumber. "Pak, terus terang saya bingung untuk membedakan Islam manakah yang disebut sebagai Islam yang moderat. Beberapa kali saya membaca buku, penulisnya mengatakan beginilah ajaran Islam yang moderat, namun oleh penulis lain kandungan buku itu disebut sebagai Islam yang liberal. Begitu sebaliknya. Mohon penjelasan," pinta mahasiswi tersebut.
Muchlis senang dengan pertanyaan itu. Menurutnya, itu pertanyaan yang bagus. Ada banyak orang yang juga bertanya-tanya soal ini. Soal apa itu moderasi dalam beragama atau dikenal dengan Islam wasatiyyah. Sebuah konsep berislam yang akhir-akhir ini nyaring disuarakan oleh Kementerian Agama, di tengah maraknya peristiwa-peristiwa tindak radikal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan mengatasnamakan agama - dalam hal ini Islam.
Pertanyaan itu dijawab Muchlis dengan terlebih dahulu menyampaikan pendapat Imam Asy-Syatibi tentang pembagian kelompok dalam Islam dilihat dari cara mereka memaknai ayat Al-Qur'an. Pertama, kelompok adh-Dhahiriyyah, yaitu kelompok yang mengedepankan cara pandang tekstualis, yang cenderung kaku dalam memahami ayat. Bagaimana bunyi tekstual ayat, itulah yang mereka ambil. Ketika ada ayat berbunyi, "Siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka dia kafir." Karena 'kafir', oleh kelompok dhahiriyyah pelakunya berhak dibunuh. Kedua, kelompok al-Batiniyyah, atau sering disebut dengan kelompok liberal, yaitu mereka yang terlalu jauh menangkap makna di balik teks ayat. Saking jauhnya hingga melupakan makna ayat yang sesungguhnya. Ingin menangkap maqasid al-ayat tetapi teksnya ditinggal. Ketika ada ayat berbunyi, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal kebajikan, mereka akan mendapatkan surga-surga yang penuh kenikmatan," menurut kelompok ini, siapa pun yang beriman kepada Tuhan dan berbuat baik, tidak merusak, tidak mengganggu makhluk Tuhan dan alam semesta, mereka berhak mendapatkan surga. Tanpa dijelaskan, beriman kepada Tuhan siapa, apa agamanya. Ketiga, kelompok al-Aqlaniyyun, yaitu kelompok yang serba rasional. Semua teks dipaksa dimaknai secara nalar. Mereka mengabaikan bagaimana kaidah-kaidah yang berlaku untuk memahami Al-Qur'an. Keempat, Kelompok, ar-Rasikhuna fi al-ilm, yaitu kelompok yang komprehensif dalam mahami teks (sumul an-nadhar). Mereka yang mendalam dalam memahami teks. Melihat berbagai aspek yang terkait dengan metodologi pemaknaan ayat.
Menurut Muchlis, kelompok terakhir inilah yang mencerminkan karakter orang yang berislam secara wasatiyah atau moderat. Tanpa menyebut nama satu kelompok tertentu, selanjutnya Kepala LPMQ tersebut menyampaikan enam ciri berislam secara moderat. Pertama, memahamai realitas. Kedua, memahami prioritas. Ketiga, memahami prinsip gradualitas (sunnatu at-tadarruj) dalam segala hal. Keempat, memudahkan dalam beragama. Tidak ketat dan kaku. Kelima, mengedepankan dialog. Mau mendengar argumen kelompok lain dan tidak menganggap semua yang berbeda dengan pendapatnya pasti salah. Dan keenam, bersikap terbuka dengan dunia luar dan toleran.
Keenam sikap inilah, paling tidak yang bisa kita jadikan tolok ukur moderasi dalam beragama. Moderat berarti berada di posisi tengahan. Tidak ekstrem kiri atau ekstrem kanan. Ini posisi yang sulit. Rentan disalahkan oleh kelompok kiri dan kanan. Sebab itu, "Berislam secara wasatiyyah itu membutuhkan ilmu yang memadai. Harus belajar memahami ajaran agama secara utuh (syumul) dan komprehensif. Tidak cukup semangat beragama saja," jelas Muchlis. [bp]