Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) menggelar pelatihan (workshop) metode pembelajar Al-Qur’an Braille atau Iqra’na. Pelatihan ini diikuti oleh 24 orang guru pengajar Al-Qur’an Braille dari berbagai lembaga pendidikan bagi tunanetra di sekitar Jabodetabek.
Penanggung jawab kegiatan, Ahmad Jaeni, MA, mengatakan, dalam pelatihan ini peserta dibekali tata cara atau metodologi pengajaran Al-Qur’an Braille menggunakan Iqra’na. Iqra'na (akronim dari kata Iqra’ bil Kitabah an-Nafirah) adalah buku panduan praktis membaca Al-Qur’an Braille.
“Peserta workshop ini adalah guru-guru pengajar Al-Qur’an Braille dari berbagai lembaga. Target kami setelah mengikuti kegiatan ini mereka bisa mengajarkan Al-Qur’an Braille kepada anak didiknya dengan menggunakan buku Iqra’na,” terang Jaeni, Selasa (02/04) di Jakarta.
Jaeni menambahkan, Iqra’na produk hasil kajian LPMQ bekerja sama dengan para ahli dan praktisi dari berbagai lembaga dan komunitas tunanetra muslim di Indonesia. Iqra’na disusun dengan mempertimbangkan kemudahan dalam mempelajari bacaan Al-Qur’an mengikuti prinsip pentahapan; dari yang mudah hingga yang sulit dengan cakupan materi yang lengkap; mulai dari pengenalan huruf hingga bacaan garib. Iqra’na terbit perdana pada tahun 2023 dan dilaunching secara resmi pada, Senin (01/04/2024) di Jakarta.
“Al-hamdulillah, Iqra’na telah dilaunching secara resmi oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI, Muhammad Ali Ramdhani, dalam giat Ramadan Show yang berlangsung di kantor pusat Kemenag, Jakarta, awal April 2024,” ungkap Jaeni menambahkan.
Pelaksanaan workshop metodologi pembelajaran Al-Qur’an Braille dengan buku Iqra’na dibimbing langsung oleh seorang pakar Al-Qur’an Braille, Dr. Ridwan Efendi. Kepada peserta workshop, Ridwan mengatakan Iqra’na merupakan buku panduan membaca Al-Qur’an Braille yang diperuntukkan bagi pemula. Materi pertama yang diajarkan dalam pedoman ini adalah konsep huruf hijaiyah dalam kode huruf Braille.
“Guru harus berhasil menyampaikan materi dasar ini kepada siswa. Tolak ukurnya adalah semua siswa mampu menyebutkan kode titik braille dari setiap huruf hijaiyah. Setelah itu, boleh dilanjutkan pada materi berikutnya,” terang Ridwan.
Untuk memaksimalkan penguasaan materi, workshop dilaksanakan dengan lebih mengedepankan praktik. Setiap teori pembelajaran yang disampaikan narusumber pada setiap bab langsung diikuti praktik oleh peserta. Tidak lupa, Ridwan berpesan, selain mengajar, guru-guru pengajar Al-Qur’an Braille harus terus belajar.
“Sensitifitas jari tunanetra berbeda-beda. Ini harus terus dilatih. Contoh kesalahan yang sering dialami adalah keliru dalam membedakan titik 3 dan titik 6 dalam kode Braille. Sebetulnya, ini lumrah tapi kemampuan kita harus terus diasah,” pungkas penyandang disabilitas netra yang memperoleh gelar doktoral dibidang Sastra Arab itu berpesan.
Editor: Mustopa