Muchlis Hanafi: Moderasi Beragama Efektif Bila Al-Qur’an Dipahami Secara Komprehensif

Indonesia adalah negara yang bermasyarakat religius dan majemuk. Meskipun bukan negara agama, namun masyarakat Indonesia lekat dengan kehidupan beragama. Sehingga, kemerdekaan beragama di negeri ini dijamin oleh konstitusi. Untuk menjaga keseimbangan antara hak beragama dan komitmen kebangsaan, pemerintah menggupayakan dengan cara pengarusutamaan nilai-nilai moderasi beragama.

Menurut kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ), Dr. Muchlis M. Hanafi, MA, moderasi beragama yang dimaksud adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan kemaslahatan umum berdasarkan prinsip adil, berimbang, dan mentaati konstitusi sebagai kesepakatan bersama dalam berbangsa dan bernegara.

“Jadi, bukan agamanya, ya. Ajaran-ajaran agama sudah moderat. Yang perlu dimoderasi adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama penganutnya,” jelasnya dalam kegiatan Diseminasi Hasil kajian Al-Qur’an, kerja sama LPMQ dengan STAI Kharisma, Cicurug, Sukabumi, Senin, (14/03).

Dalam moderasi, semangat keberagamaan harus selaras dengan kecintaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena NKRI berdiri atas perjuangan dan pengorbanan para pendahulu bangsa, yang notabene sebagian dari mereka adalah para ulama kita, umat Islam.

“Dalam beberapa tahun terakhir, di Indonesia, muncul fenomena sejumlah kelompok yang semangat keberagamaannya tinggi, tetapi anti terhadap NKRI dan sistem pemerintahannya. Mengatakan Pancasila thagut, sistem pemerintahan thagut, hormat bendera haram, dan seterusnya. Bahkan mereka ingin mengganti sistem negara ini. Padahal, itu adalah hasil kesepakatan para ulama kita, pendiri bangsa. Hal ini, seharusnya tidak terjadi bila Al-Qur’an dipahami secara komprehensif,” tambahnya.

Menurut Muchlis ada tiga pola interaksi dengan Al-Qur’an: pertama, tilawatan wa hifzan (bacaan dan hafalan). Interaksi pertama ini sudah berkembang baik di Indonesia. Tetapi itu belum cukup. Harus ditingkatkan supaya Al-Qur’an berfungsi sebagai hudan (petunjuk) dan peradaban.  Sehingga perlu beranjak menuju bentuk interaksi kedua yaitu, fahman wa tafsiran (pemahaman dan penafsiran). Tetapi pola interaksi kedua ini saja belum cukup. Perlu ditingkatakan, supaya Al-Qur’an tetap hadir dan relevan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan, sekadar alat adu argumen dan berdebat. Tetapi semangat dakwahnya tidak ada. Maka perlu pola interaksi ketiga, yaitu, Ittiba’an wa amalan wa dakwatan (mengikuti petunjuk Rasulullah Saw, diamalkan, dan didakwahkan).

“Pola kedua dan ketiga saling terkait. Penerapan nilai-nilai Al-Qur’an dan dakwahnya harus didukung dengan pemahaman dan penafsiran yang benar. Di sinilah, pentingnya kita meningkatkan literasi Al-Qur’an. Literasi tidak sekadar baca tulis, tetapi bagaimana menjadikan bacaan itu sebagai kecakapan sumber inspirasi dan kecakapan hidup; bagaimana Al-Qur’an menjadi pijakan (manhaj) dalam kehidupan sehari-hari,” urainya menjabarkan.

Dengan pola interaksi Al-Qur’an yang komprehensif spirit moderasi beragama akan berjalan efektif.

“ini adalah tantangan dan pekerjaan rumah (PR) kita bersama. Karena sekarang ini, isu-isu keagamaan banyak dimanfaatkan untuk melakukan tindak kekerasan atas nama agama dan perbuatan yang merendahkan nilai-nilai kemanusiaan. Gampang sekali mencari potongan ayat Al-Qur’an (dengan penafsiran keliru); seperti ayat-ayat qital (perang) untuk dijadikan dalil tindak kekerasan. Seperti yang sudah terjadi di Timur Tengah,” ungkapnya. [bp]

Kontak

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an
Gedung Bayt Al-Qur`an & Museum Istiqlal
Jalan Raya TMII Pintu I Jakarta Timur 13560
Telp: (021) 8416468 - 8416466
Faks: (021) 8416468
Web: lajnah.kemenag.go.id
Email: lajnah@kemenag.go.id
© 2023 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an. All Rights Reserved