Jakarta (27/02/2020). Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama menerima kunjungan PPL Mahasiswa IAT UIN Sultan Thaha Saifudin Jambi ke Bayt Al-Qur’an TMII. Kunjungan ini diterima langsung oleh Kepala Lajnah, Dr. H. Muchlis M. Hanafi, MA, didampingi Dr. H. Zainal Arifin Madzkur, MA. dan H. Jhonny Syatri, MA. Kunjungan ini dilakukan dalam rangka rihlah ilmiah dan satu rangkain dengan kegiatan di Pusat Studi Al-Qur’an. Selain ingin mengetahui profil LPMQ, peserta kegiatan juga ingin belajar bagaimana mengembangkan Museum Al-Qur’an dalam konteks living Al-Qur’an.
Dr. Muchlis M. Hanafi yang juga Kepala Lajnah dalam sambutannya menyambut baik kunjungan para mahasiswa IAT UIN Sultan Thaha Saifudin Jambi. Dalam kesempatan tersebut Muchlis menjelaskan tugas dan fungsi Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an dan pentingnya trilogi literasi Al-Qur’an. Menurutnya, selain tuntutan membaca dan menghafal, Al-Qur’an juga harus dilanjutkan dengan upaya serius untuk menghayati, memahami, mengamalkan, dan mendakwahkan. Hal ini penting agar tidak muncul orang-orang yang hanya mengandalkan semangat, namun tidak memiliki basis keilmuan yang memadai.
Lebih lanjut Muchlis menegaskan, bahwa di era disrupsi ini proses penguatan literasi Al-Qur’an bahkan keagamaan mutlak diperlukan. Hal ini dibutuhkan agar tidak muncul pemahaman-pemahaman instan yang kerap kali berujung pada persoalan yang lahir dari pemahaman-pemahaman yang aliterasi. Untuk itu, upaya-upaya penguatan literasi Al-Qur’an melalui semangat moderasi beragama juga harus menjadi misi utama agar tercipta pemahaman-pemahaman yang humanis dan menghargai keragaman.
Narasumber kedua, Zainal Arifin menyampaikan tema rasm dan dhabt dalam Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia (MSI). “MSI telah ditetapkan pada tahun 1984 dan baru disempurnakan pada tahun 2016-2018. Upaya penyempurnaan tersebut dilakukan untuk mengukuhkan dan merespons masukan-masukan dan kritikan dari berbagai pihak terkait MSI,” jelasnya. Lebih lanjut, ia juga menegaskan titik krusial perbedaan MSI dan Mushaf Timur Tengah secara umum adalah terkait konsistensi dan afiliasi riwayat yang dipergunakan pada masing-masing mushaf. “Ditimbang dari aspek kesesuaiannya dengan rasm usmani, semuanya rasm usmani,” demikian tutupnya.
Narasumber lainnya, Jhonny Syatri menjelaskan tentang pengalamannya meneliti manuskrip mushaf kuno di berbagai daerah di Indonesia. Dalam paparannya, Jhonny menjelaskan pentingnya mushaf kuno diteliti dengan pendakatan ulumul Qur’an, seperti qira’at, rasm, dhabt, adul-ayi, makky-madani, dan lain-lain. Disiplin ilmu ini tentu sudah banyak dikembangkan di IAT dan perlu diaplikasikan dalam meneliti mushaf-mushaf kuno yang belum banyak tergarap. (znl)