Sebagai sumber ajaran Islam sekaligus petunjuk hidup bagi umat Islam, sudah sepatutnyalah setiap muslim membaca, memahami, mentadabburi dan sekaligus mengamalkan Al-Qur’an. Hal ini berlaku untuk semua umat Islam tak terkecuali bagi mereka yang tunanetra. Sama dengan umat Islam pada umumnya, kebutuhan akan Al-Qur’an (Braille) bagi tunanetra muslim juga merupakan kebutuhan yang utama. Dengan dapat membacanya, mereka diharapkan memahami ajaran agama dan dapat menjalankan aturan agama dengan pemahaman yang baik. Oleh karena itu, dibutuhkan pembelajaran membaca Al-Qur’an Braille secara masif, efektif, dan terus-menerus di kalangan tunanetra muslim.

Penelitian mushaf Al-Qur'an kuno tahun 2015 merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya, yaitu tahun 2011, 2012, 2013, dan 2014. Pada tahun 2011 telah berhasil dihimpun 128 naskah (Provinsi Aceh 40 naskah, Sulawesi Selatan 9 naskah, Surakarta 14 naskah, Semarang 15, Sulawesi Tenggara 6 naskah, Cirebon, Jawa Barat 18 naskah, Surabaya 7 naskah, Madura 8 naskah, dan Jakarta 11 naskah).

Penelitian mushaf Al-Qur'an kuno tahun 2014 merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya, yaitu tahun 2011, 2012, dan 2013. Pada tahun 2011 telah berhasil dihimpun 128 naskah (Provinsi Aceh 40 naskah, Sulawesi Selatan 9 naskah, Surakarta 14 naskah, Semarang 15, Sulawesi Tenggara 6 naskah, Cirebon, Jawa Barat 18 naskah, Surabaya 7 naskah, Madura 8 naskah, dan Jakarta 11 naskah).

Penyalinan Al-Qur'an di Nusantara diperkirakan telah dimulai sejak awal kedatangan Islam di rantau ini, atau sekurang-kurangnya, telah ada sejak sekitar akhir abad ke-13, ketika Pasai, di ujung timur laut Sumatra, menjadi kerajaan pertama yang memeluk Islam secara resmi. Ibnu Batutah (1304-1369) yang pernah singgah di Pasai sekitar tahun 1345 melaporkan bahwa Sultan sering menghadiri pembacaan Al-Qur'an dan diskusi keagamaan dengan rakyatnya. Meskipun demikian, mushaf tertua yang diketahui sampai saat ini berasal dari Johor tahun 1606 yang saat ini dalam koleksi Belanda.

Apa yang dilakukan Kementerian Agama dalam menetapkan mushaf standar Indonesia, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bukan tanpa dasar dan alasan. Di antara alasan penetapan tersebut adalah dalam rangka memudahkan masyarakat Indonesia yang memang bukan orang Arab untuk mengucapkan lafadz dan ayat Al-Qur’an yang notabene menggunakan Bahasa Arab. Faktor ‘azam inilah yang menjadi salah satu bahan masukan para ulama dalam merumuskan mushaf standar Indonesia. Bagi orang Arab, melafalkan ayat Al-Qur’an tentu akan lebih mudah karena menggunakan bahasa dan tulisan mereka sehari-hari, sementara masyarakat Indonesia tidak demikian.

Alasan untuk memudahkan masyarakat Indonesia dalam membaca Al-Qur’an seperti dijelaskan sebelumnya bukan sekadar diperkirakan atau diduga semata-mata, tapi dikukuhkan berdasarkan riset yang dilakukan peneliti LPMQ tahun 2013. Dalam penelitian tersebut terungkap, bahwa kecenderungan masyarakat dalam menggunakan mushaf standar Indonesia diantaranya adalah karena faktor kemudahan dalam membacanya. Kemudahan yang dimaksud dalam hal ini adalah kemudahan membaca sesuai dengan kaidah tajwid, seperti ketika terjadi bacaan idgam, ikhfa, iqlab, bacaan panjang, dan beberapa kaidah bacaan tajwid lainnya.

Kontak

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an
Gedung Bayt Al-Qur`an & Museum Istiqlal
Jalan Raya TMII Pintu I Jakarta Timur 13560
Telp: (021) 8416468 - 8416466
Faks: (021) 8416468
Web: lajnah.kemenag.go.id
Email: lajnah@kemenag.go.id
© 2023 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an. All Rights Reserved