Kepedulian Indonesia terhadap tuna rungu wicara khususnya dalam penyediaan bahasa isyarat, tak terkecuali dalam kajian Islam terbilang kurang. Demikian salah satu poin yang disampaikan Surya Sahetapy, salah seorang aktivis pejuang tuna rungu di Indonesia yang menjadi narasumber pada acara Penyusunan Pedoman Membaca Mushaf Al-Qur’an untuk Penyandang Disabilitas Sensorik Rungu Wicara, Kamis (24/9) di Gedung Pusdiklat Kementerian Agama, Tangerang.
Menurutnya, keberpihakan pemerintah bisa dimulai misalnya dengan kebijakan tentang akses bahasa isyarat dan teks di tempat ibadah dan media sosial. Di tempat ibadah kepedulian tersebut misalnya dilakukan dengan menyediakan penerjemah bahasa isyarat pada khutbah yang disampaikan khatib agar pesan-pesan taqwa juga bisa tersampaikan pada kalangan disabilitas rungu wicara. Hal lain yang bisa dilakukan, terangnya, adalah pelatihan juru bahasa isyarat tentang cara menjurubahasakan kajian Islam. Demikian beberapa poin yang disampaikan Surya langsung dari New York, Amerika Serikat melalui sambungan zoom meeting.
Narasumber lain pada acara ini adalah Dr. H. Muchlis M. Hanafi MA, Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ). Islam, menurut Muchlis, punya perhatian yang tinggi terhadap kalangan disabilitas. “Al-Qur’an Surah an-Nur ayat 61misalnya memberikan apresiasi yang tinggi terhadap penyandang disabilitas. Negara dalam hal ini berkewajiban menjamin kebebasan beragama terhadap semua warga negara, tak terkecuali untuk kalangan disabilitas rungu wicara,” sambungnya. Termasuk hak dalam hal ini adalah akses terhadap kitab suci Al-Qur’an, dan karena itu Lajnah dalam hal ini berkomitmen dan akan serius menyusun pedoman ini. (Must)