Kajian Revisi dan Penyempurnaan Terjemahan Al-Qur'an Kemenag telah selesai dikerjakan oleh Tim Pakar pada akhir tahun 2018. Pada tahun 2019 hasil kajian tersebut memasuki tahap penyelarasan, utamanya terkait dengan pilihan diksi bahasa, agar cita rasa bahasanya lebih selaras, enak dibaca dan dapat diterima oleh lebih banyak kalangan.
Sejalan itu, Dr. Muchlis M Hanafi, MA, selaku Kepala LPMQ berkeinginan agar hasil kerja tim ini juga dapat diterima oleh kalangan millenial. "Selain fokus dalam aspek substansi, kita juga harus memperhatikan sola redaksi kebahasaan. Kita ingin karya ini dapat juga diterima oleh kalangan millenial." Jelasnya di Bogor, Selasa (12/02) di hadapan Tim Pakar kajian terjemahan. Kehadiran pembaca ahli mutlak diperlukan, mengingat kajian ini dikerjakan oleh 15 orang pakar yang dalam setiap sidang terbagi dalam dua kelompok kerja.
Kepala LPMQ merekomendasikan Dr. Zaim Ukharawi, MDM untuk melaksanakan tugas ini. Seorang jurnalis senior yang mengawali karirnya dalam dunia jurnalistik sejak tahun 1982. Rabu 13 Februari 2019, Zaim menghadiri sidang terjemahan Al-Qur'an Kemenag, untuk dengar pendapat dan menyamakan persepsi sebelum melaksanakan tugasnya. Selain itu, pada kesempatan tersebut, Zaim juga menyampaikan beberapa catatan setelah sebelumnya membaca beberapa juz terjemahan hasil kerja tim.
Beberapa point penting yang disampaikan antara lain: pertama, soal konsistensi orientasi "logika kebahasaan" yang dipakai. Apakah lebih dominan pada bahasa sumber atau bahasa sasaran?. Contoh, terjemahan surah al-Baqarah ayat 2. Hasil terjemahan tim, "Mereka berkata, "mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami...". Kata "kami" terulang dua kali. Kalau mengikuti logika Bahasa Indonesia, seharusnya berbunyi, "Mereka berkata, "mohonkanlah kepada Tuhanmu agar Dia menjelaskan kepada kami..."
Menanggapi hal ini, Abdul Ghafur Maimun, sebagai salah satu tim pengkaji menanggapi, "Tim ini bersepakat untuk berupaya setia terhadap redaksi bahasa sumber. Terkait contoh di atas, mengapa kata 'kami' terulang dua kali, karena dalam ayat ini kata 'lana' yang bermakna 'kami' terulang dua kali. "Qalu ud'u lana rabbaka yubayyin lana...".
Kedua, menurut Zaim, hasil terjemahan ini lebih bernuansa untuk kalangan santri ketimbang untuk kalangan masyarakat umum. Idiom-idiom keagamaan yang belum familiar di masyarakat umum masih banyak ditemukan, seperti: kata manasik, ulil amri, syafaat, dan sebagainya.
Menurut salah seorang tim, beberapa idiom Al-Qur'an sengaja dipertahankan dalam terjemahan. Bahkan ditulis sesuai dengan redaksi bahasa sumbernya, karena ingin mengajak masyarakat untuk tetap mengenal dan memahami kata dari bahasa sumber sebagaimana ejaan aslinya. Agar tidak terjadi desakralisasi bahasa keagamaan.
Ketiga, persoalan rasa bahasa. Menurut Zaim, soal bahasa bukan semata tentang kebenaran kaidahnya. Namun juga menyangkut rasa bahasa. Kata azab misalnya, publik tahu makna kata tersebut adalah siksa. Namun, di telinga masyrakat Indonesia kata itu kurang bertenaga. Karena 'azab' bukan bahasa ibu mereka. Kata 'siksa' menurut Zaim memiliki efek ke perasaan yang lebih kuat.
Kelima, perlunya memilih istilah dan penjelasan dengan konteks yang lebih pas dan akurat. Zaim meberi contoh, terjemahan kata al-falah atau al-muflihun yang selama ini diterjemahkan sebagai 'beruntung' dan 'orang yang beruntung'. Menurutnya lebih tepat bila diterjemahkan sebagai 'sukses' dan orang yang sukses. Terjemahan dalam bahasa Inggris pun 'successful' dan 'lucky'.
Di akhir presentasinya, Zaim menyatakan, "Catatan saya bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk menggali apa yang disepakati tim. Kalau sudah disepakati akan kita jaga konsistensinya," tegas pria yang pernah menjabat sebagai direktur Balai Pustaka tersebut. (bp)