Jakarta (06/07/2017) - Gagasan penyusunan naskah akademik Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia (MQSI) sudah lama diwacanakan. Namun baru pada tahun 2017 ini wacana tersebut secara bertahap mulai direalisasikan. Naskah akademik yang dimaksud adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah terkait semua aspek yang terkandung di dalam MQSI berdasarkan al-maraji’ al-ashliyyah (sumber-sumber primer) atau kitab-kitab yang muktabar (diakui) dalam khazanah keilmuan Islam. Di antara aspek utama yang menjadi bagian pokok dari MQSI, yang perlu segera dikaji adalah masalah Rasm (batang tubuh ayat), Syakl (harakat), Dhabt (tanda), al-Waqf wa al-Ibtida (tanda waqaf dan ibtida’), ‘Addu al-Ay (jumlah ayat) dan adadu as-Sajdat. Ini adalah tugas penting yang harus diselesaikan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ).
Hal itu disampaikan disampaikan oleh Dr. Ahsin Sakha Muhammad, MA, dalam kegiatan Pembinaan Internal Pegawai di Aula Gedung Bayt Al-Qur’an Lt. 3, Jakarta, Rabu (05/07) pagi hari. Menurut Ahsin, “rasanya baru saat ini kita seperti dihentakkan dalam persoalan rasm utsmani. Sebelumnya kita tenang-tenang saja. Karena kerjaan kita mencocokan saja dengan MQSI. Padahal kita memiliki tugas penting yang belum kita selesaikan yaitu menyusun naskah akademik MQSI”. Jelas mantan Rektor Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta tersebut.
Selama ini, bila ada yang bertanya seputar persoalan rasm ustmani dalam MQSI kita selalu berargumen bahwa MQSI adalah mushaf yang disusun oleh para ulama Al-Qur’an Indonesia dalam Musyawarah Kerja (Muker) yang berlansung selama 9 tahun, mulai tahun 1974-1983. Atau pun besandar pada Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 25/1984 dan KMA No. 7/1984 yang berisi penetapan MQSI sebagai pedoman dalam pentashihan. Jawaban yang sesungguhnya belum menjawab pertanyaan dan tidak memuaskan kalangan akademisi.
“Para ulama dalam Muker sepakat menulis MQSI dengan standar rasm Ustmani. Sedangkan, hingga saat ini rincian naskah akademiknya ternyata belum ada. Sebab itu, kita harus segera menyusunnya. Ini bersifat urgen. Dan kajian ini harus bisa dipertanggungjawabakan secara ilmiah. Karena bersifat akademik”. Tuturnya menambahkan.
Sejak awal tahun 2017 upaya tersebut mulai dilakukan oleh Bidang Pentashihan. Hingga saat ini kajian rasm utsmani dalam MQSI terus dikerjakan. Tahapan pertama yang dilakukan adalah menginventarisir seluruh kata dalam MQSI yang mengandung rasm. Kata-kata tersebut kemudian dibandingkan dengan beberpa Mushaf Al-Qur’an dari berbagai negara, antara lain: Al-Qur’an terbitan Bombay, Al-Qur’an terbitan Mujamma’ Malik fahd, Madinah, Al-Qur’an terbitan Iran, Al-Quran Jamahiriyah terbitan Libiya dan Mushaf Magribi (Maroko). Progres pengerjaan tahap pertama sudah mencapai 75%. Tahap berikutnya adalah memberikan argumen pada setiap kata yang mengadung unsur rasm utsmani berdasarkan kitab-kitab rasm yang mutabar. Utamanya al-Muqni’ fi Ma’rifati Marsum Masahif Ahl al-Amsar karya Abu ‘Amr ad-Dani (w. 444 H.) dan Mukhtasar at-Tabyin li Hija’ at-Tanzil karya Abu Dawud Sulaiman bin Najah (w. 496 H.). Keduanya dalam kajian rasm dianggap sebagai rujukan utama yang dikenal sebagai syaikhani fi ilm rasm. Sehingga, nantinya setiap kata atau kalimat dalam MQSI ada rujukannya.
Dalam kajian ini, tidak menutup kemungkinan akan ada beberapa penulisan rasm, syakl atau dhabt dalam MQSI yang akan dirubah berdasarkan argumen dalil yang lebih kuat. Perubahan ini tentunya akan dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Setelah mendapatkan pengesahan dari ulama pakar Al-Qur’an baik dari dalam maupun luar negeri dalam sidang pleno resmi dan disahkan oleh Menteri Agama.
Secara teknis Ahsin memberikan epistimologi panduan dalam penetapan dalil. “Seandainya ada kata yang sudah muttafaq alaih (disepakati syaikhani), maka itulah yang diambil. Bila kata itu mukhtalaf fih (diperselisihkan oleh syaikhani) maka dahulukan pendapat Abu Amr ad-dani.Dan jika kata itu mauquf alaih (Syaikhani tidak berpendapat atau tidak ada penjelasan dalam buku rasm) maka carilah dari kitab lain. Dari buku-buku yang mensyarah kitab syaikhani. Atau dari ulama-ulam rasm yang lain. Dalam hal ini kita bisa meniru mushaf Madinah yang menerapkan kaidah waqad yu’khadu min ghairi hima (mengambil pendapat selain dari syaikhani). Tapi tetap kita berikan catatan, siapakah ghairihima itu? Sebagai pertanggungjawaban”. Paparnya menjelaskan.bp