Jakarta - Kerja seorang mufasir seperti halnya dengan kerja orang yang menyajikan hidangan. Al-Qur’an adalah ‘ma’dubatullah’ yang berarti hidangan atau jamuan Allah. Maka kerja orang yang menafsirkan Al-Qur’an adalah sama dengan menghidangkan jamuan Allah.
Demikian paparan pembuka tentang tafsir tematik oleh Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Dr. H. Muchlis M. Hanafi, MA, ketika menjadi pembicara pada acara Halaqah Al-Qur’an dan Kebudayaan Islam yang diselenggarakan di Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal, TMII, Kamis (5/4/2018), di hadapan mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati, Cirebon.
“Karya-karya tafsir terdahulu pada umumnya tebal. Mereka menyajikan seperti menyajikan makanan prasmanan, semua disajikan. Asbabun nuzul, qira’at, i’rab, nahwu, dan lainnya. Semua disajikan. Bahkan kadang-kadang i’rab atau pembahasan nahwunya pun panjang lebar. Ada mazhab Kufiyyin, ini mazhab Mishriyyin. Jadi kalau prasmanan mungkin penuh mejanya,” urainya. “Pada zaman modern ini, orang-orang ingin yang praktis seperti halnya ingin makanan, sudah tersaji menu-menu berbeda. Mau cari buku tentang bagaimana Al-Qur’an berbicara tentang perempuan, tinggal buka saja ada buku dengan judul peran dan kedudukan perempuan. Mau tahu bagaimana Al-Qur’an bicara tentang lingkungan hidup, ada buku berjudul pelestarian lingkungan hidup,” tambahnya.
“Dalam tafsir tematik, ayat-ayat yang terkait tentang suatu tema tertentu sudah kita kumpulkan di situ. Ini kelebihan tafsir tematik. Praktis, cepat. Hanya kadang-kadang sesuai bujet. Kalau yang menafsirkan keilmuannya pas-pasan, ya rasanya pun pas-pasan. Tapi kalau yang menafsirkan itu bekalnya banyak, bujetnya tinggi, latar belakang keilmuannya kuat, maka sajiannya pun akan matang,” jelasnya.
Selain cara penyajian, ia menyampaikan terkait dengan dua metodologi yang digunakan menyusun tafsir tematik. Pertama, tafsir tematik berangkat dari konsep-konsep yang ada di dalam Al-Qur’an. Misalnya, Al-Qur’an berbicara tentang keadilan, maka ayat-ayat yang berkaitan dengan keadilan dikumpulkan, yaitu al-‘adl, al-qist, al-wazn, al-mizan, dan seterusnya, dianalisis, lalu jadilah konsep tentang keadilan.
Namun, karena keterbatasan kosakata atau pembahasan di dalam Al-Qur’an, dibutuhkan metodologi lainnya. Misalnya kita mau menemukan Al-Qur’an berbicara tentang ketenagakerjaan, human trafficking, pendidikan keterampilan, dan sebagainya.
“Banyak tafsir berbicara min an-nash ila al-waqi’. Dalam tafsir tematik kita perlu melihat apa persoalan yang ada di masyarakat. Kita mempunyai persoalan ketenagakerjaan, human trafficking, kebangsaan, cinta tanah air, kebhinekaan, dan seterusnya. Nah, persoalan ini kita identifikasi, kemudian kita cari petunjuk-petunjuknya di dalam Al-Qur’an. Ini min al-waqi’ ila an-nash, dari persoalan masyarakat lalu diambilkan petunjuknya dalam Al-Qur’an,” tegasnya.
Oleh karena itu, tema-tema dalam tafsir tematik yang disusun oleh LPMQ sebagian besar berdasarkan persoalan yang dihadapi masayarakat. Misalnya buku berjudul Pembangunan Ekonomi Umat, Al-Qur’an dan Pemberdayaan Kaum Dhuafa, Komunikasi dan Informasi yang berbicara tentang hoaks, dan lainnya.
“Kita berangkat dari permasalahan-permasalahan yang ada. Sebab prinsip dalam tafsir tematik, ‘Ajaklah Al-Qur’an berbicara untuk menuntaskan berbagai persoalan yang kita hadapi,” pungkas alumni Al-Azhar Mesir ini. (Athoillah)