Ada tiga alasan pembuangan alif dalam penulisan kata di dalam mushaf Al-Qur’an, yaitu isyārah, ikhtiṣār, dan iqtiṣār. Pernyataan ini disampaikan oleh Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad dalam Focus Group Discussion (FGD) tentang kajian rasm mushaf Al-Qur’an yang diselenggarakan oleh Bidang Pentashihan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) di aula Bayt Al-Qur’an & Museum Istiqlal (BQMI), Selasa, 27 November 2018.
Dalam pemaparannya, Kiai Ahsin menjelaskan bahwa dari enam bab dalam ilmu rasm usmani (al-ḥażf, az-ziyādah, kitābat al-hamzah, ibdāl, al-qaṭ’u wa al-waṣlu, mā fīhi qirāatāni wakutiba alā iḥdāhuma), al-ḥażfu adalah bagian yang paling banyak menyita perhatian para ulama rasm usmani. “Al-ḥażfu artinya membuang huruf. Ada lima huruf yang biasa dibuang (alif, waw, ya, la dan nun) dan alif adalah yang paling banyak. Inilah yang menjadi ciri khas rasm usmani,” kata Kiai Ahsin.
Dalam kitab Al-Muqni‘ fī Ma’rifati Marsūm Maṣāḥif Ahl al-Amṣār karya Abū ‘Amr ‘Uṡmān bin Saʻīd ad-Dānī, bab Żikru mā rusima fī al-maṣāḥif bi al- al-hażfi wa al-iṡbāti, Kiai Ahsin menjelaskan bahwa ada tiga alasan pembuangan huruf alif dalam mushaf Al-Qur’an rasm usmani, yaitu isyārah, ikhtiṣār, dan iqtiṣār.
“Pertama, isyārah, adalah manakala di dalam suatu kalimat, alif dibuang karena dalam rangka mengakomodasi bacaan kedua dan ketiga. Contohnya seperti maliki yaumiddin. Setelah huruf mim tidak ada alif. Tulisannya hanya mim lam kaf. Ini bisa dibaca māliki yaumiddin (dengan ma panjang) dan maliki yaumiddin (dengan ma pendek). Jadi penulisannya dapat mengakomodasi dua bacaan. Dalam hal ini, Imam Ibn al-Jazari dalam karyanya al-Nasyr fī al-Qirā'at al-'Asyr, menjelaskan bahwa ḥużifat al-hurufu liyaḥtamila ar-rasmu alā al-qirā’at as-sab’i aw alā al-aḥruf as-sab’i. Agar bisa mengakomodasi ahruf sab’ di mana Al-Qur’an diturunkan. Kalau dibaca maliki berarti sesuai dengan rasm, sedangkan jika dibaca māliki (dengan ma panjang) berarti ihtimal bahwa ada bacaan lain selain maliki.” terang Kiai Ahsin dalam menjelaskan alasan pertama.
“Kedua, ikhtiṣār, artinya ringkas. Jadi sengaja untuk meringkas saja, seperti al-ālamīn dan semua jama’ mużakar salim dan muannaṡ salim yang ada alif-nya,” lanjut Kiai Ahsin menguraikan alasan kedua.
Ketiga, ḥażfu iqtiṣār, pembuangan alif yang tidak ada kaitannya dengan bacaan atau qiraat lain. “Aṣ-Ṣā’iqatu adalah contoh ḥażfu iqtiṣār. karena aṣ-Ṣā’iqatu tidak ada bacaan yang kedua.” Jelas mantan Rektor Institut Ilmu Al-Qur’an ini.
Selanjutnya, pakar ilmu Al-Qur’an Indonesia tersebut menerangkan bahwa prinsip dalam menulis wahyu adalah mengakomodasi qiraat. “Pada masa sahabat Usman, metode yang diterapkan oleh para penulis mushaf adalah apabila suatu bacaan itu memiliki beberapa bacaan lain dan bisa disatukan dalam satu bentuk tulisan, maka ditulis dengan satu bentuk tulisan saja. Tapi seandainya bacaan-bacaan tersebut tidak bisa disatukan dalam satu bentuk tulisan, maka dibagi, untuk mushaf ini menggunakan tulisan ‘begini’, mushaf itu pakai tulisan ‘begitu’, seperti wasāriū ilā magfiratin min rabbikum dan sāriū ilā magfiratin min rabbikum.” Pungkas Kiai Ahsin. (MZA)