“Apakah sah shalat seorang tuna rungu wicara yang menggunakan bahasa isyarat ketika membaca surah Al-Fatihah?” demikian pertanyaan Gufron (PPDI), salah seorang peserta Sidang Penyusunan Pedoman Membaca Al-Qur’an Bagi Penyandang Disabilitas Sensorik Rungu Wicara. “Gerakan yang dilakukan 3 kali berturut-turut dalam pandangan Imam Syafii membatalkan shalat, namun dalam pandangan Imam Malik tidak membatalkan shalat, terlebih gerakan tersebut dilakukan dalam rangka limaslahatis-shalat, dilakukan untuk kebaikan shalat itu sendiri, dan karena memang itulah yang bisa dilakukan penyandang disabilitas rungu wicara dalam melafadzkan Al-Qur’an,” demikian disampaikan Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, MA yang bertindak sebagai pembicara pada acara yang diselanggarakan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) di Bekasi (16/03).
Persoalan lain yang dibahas dalam acara ini, misalnya, bisakah seorang tuna rungu wicara menjadi imam shalat? Menanggapi pertanyaan ini, Dr. Ahsin menjelaskan, bahwa jika di antara jamaah masih ada yang bisa membunyikan suara Al-Qur’an dengan baik dan benar, maka didahulukan yang bisa mengucapkan. Namun jika tidak ada lagi yang bisa, maka bisa saja penyandang tuna rungu wicara menjadi imam dalam shalat. Kyai Ahsin menambahkan, bahwa dalam agama, prinsip yang dikedepankan adalah at-taisir, kemudahan dalam beragama. Di dalam Al-Qur’an, taqwa diperintahkan dilaksankan sebatas kemampaun (mastatha’tum) seorang hamba.
Sesi tinjauan hukum ini penting disampaikan karena persoalan ini sering menimbulkan kegamangan di kalangan umat Islam, khususnya di kalangan penyandang disabilitas sensorik rungu wicara. Selain itu, bagian ini disampaikan dalam rangka melengkapi buku panduan membaca Al-Qur’an bagi disabilitas rungu wicara yang tahun ini sudah mulai dilakukan dan menjadi program unggulan LPMQ. [must]