Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an (LPMQ) menggelar Diseminasi Hasil Kajian Al-Qur'an dan Pameran Karya Intelektual Ulama Nusantara dalam Bingkai Moderasi Beragama di Universitas Indonesia (UI), Depok, Kamis (28/11/2024). Kegiatan ini menjadi ruang diskusi intelektual untuk menggali warisan keilmuan Islam Nusantara sekaligus menegaskan pentingnya moderasi beragama di tengah keberagaman.
Acara tersebut dihadiri sejumlah tokoh, antara lain Kepala LPMQ Abdul Aziz Sidqi, dosen agama Islam UI, mahasiswa Fakultas Kedokteran, Kepala Makara Art Center UI Dr. Ngatawi Elzastrow, serta tamu undangan lainnya.
Dalam sambutannya, Kepala Makara Art Center UI Dr. Ngatawi Elzastrow menggarisbawahi keunikan ekspresi keberagamaan di Nusantara. Menurutnya, meskipun Islam memiliki satu Tuhan dan satu kitab suci, yaitu Al-Qur'an, cara umat Islam dalam mengekspresikan ajaran agama ini sangat beragam.
"Agama Islam itu hanya satu. Tuhannya satu, kitab suci juga satu, yaitu Al-Qur'an. Namun, ekspresi dalam pengamalan ajarannya berbeda-beda. Ada yang salat memakai sarung, ada yang memakai gamis, ada pula yang memakai surban atau peci," kata Elzastrow.
Ia menjelaskan bahwa keberagaman ini dipengaruhi oleh konteks sosial, budaya, dan tradisi masyarakat setempat. Hal tersebut tercermin dalam berbagai karya ulama Nusantara yang dipamerkan pada acara tersebut.
"Islamnya satu, tetapi cara mengajarkannya beragam. Di Arab, Islam diajarkan di masjid-masjid. Sementara di Indonesia, dakwah dilakukan di surau dengan berbagai metode, seperti syair, salawatan, karya sastra, hingga macapatan," tambahnya.
Dr. Elzastrow juga memaparkan sejumlah karya intelektual ulama Nusantara yang telah diakui secara internasional. Salah satunya adalah tafsir Al-Kahfi, yang merupakan karya tertua ulama Nusantara yang ditemukan oleh sarjana Belanda pada 1627 M dan kini tersimpan di Cambridge Library.
Selain itu, beberapa karya lain yang disebutkan adalah: Tafsir Tarjuman Mustafid karya Abdul Rauf Singkel (abad ke-17, berbahasa Melayu), Tafsir Marah Labid karya Syekh Nawawi al-Bantani (abad ke-19), Tafsir Al-Ibriz karya Kiai Bisri Mustofa (berbahasa Jawa) Sabilal Muhtadin karya Syekh Arsyad al-Banjari, dan lainnya.
"Karya-karya ini menjadi sumber rujukan otoritatif bagi ulama dunia di zamannya. Generasi muda, khususnya mahasiswa, harus mengenal dan memahami warisan intelektual ini. Jika tidak, kita bisa dengan mudah disusupi referensi lain yang belum jelas kebenarannya," tegasnya.
Menurut Elzastrow, kurangnya pemahaman terhadap karya ulama Nusantara dapat membuat generasi muda terjebak pada paham-paham yang tidak sesuai, seperti takfiri, liberalisme, atau bahkan ideologi khilafah.
Elzastrow menekankan, bahwa memahami warisan intelektual ulama Nusantara dapat memperkaya wawasan keislaman sekaligus membuat umat Islam Indonesia lebih percaya diri dan nyaman dalam menjalankan ajaran agama.
"Kadang kita merasa beragama itu sulit, sempit, dan rumit karena kurangnya referensi. Padahal, para ulama Nusantara memiliki strategi yang luar biasa dalam memahami, menjalankan, dan mendakwahkan Islam secara terbuka, tidak sempit," ujarnya.
Ia mengajak para peserta untuk melihat langsung karya-karya ulama yang dipamerkan sebagai bukti nyata kontribusi intelektual mereka dalam membangun peradaban bangsa.
Namun, Dr. Elzastrow mengingatkan bahwa mata air pengetahuan yang menjadi warisan ulama Nusantara kini mulai mengering akibat tersumbat oleh sampah peradaban.
"Nampaknya, sekarang sumber mata air pengetahuan itu agak mengering karena tersumbat. Ada sumbatan sampah peradaban, dan tidak ada generasi muda yang mempelajari karya-karya ini," ungkapnya.
Ia berharap LPMQ dapat berperan sebagai pembersih sumbatan tersebut sekaligus membuka kembali akses menuju khazanah keilmuan Islam yang kaya.
"Semoga LPMQ bisa membuka sumbatan itu, sekaligus membersihkan gorong-gorongnya," tandas Elzastrow.
Sementara itu, Kepala LPMQ, Abdul Aziz Sidqi, dalam sambutannya, menekankan pentingnya memahami moderasi beragama sebagai bagian dari ajaran Islam itu sendiri. Aziz menjelaskan bahwa yang moderat itu adalah ajaran Islam itu sendiri. Karenanya, yang dimoderasi bukanlah ajaran agamanya, melainkan cara pandang dan perilaku umat dalam menjalankan agama.
“Ajaran Islam pada dasarnya sudah moderat, tetapi perilaku sebagian umatnya sering kali perlu disesuaikan agar lebih mencerminkan nilai-nilai tersebut,” jelas Aziz. [bp]